IBTimes.ID – Polemik di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kian berlanjut. Berbagai macam isu miring menerpa sejak periode awal Nadiem Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud RI). Hingga yang terbaru mengenai Program Organisasi Penggerak (POP) yang dirasa publik tidak tepat sasaran dan bermasalah dalam seleksi penerima bantuan.
Buntut panjang dari carut marutnya seleksi POP Kemendikbud berujung mundurnya 3 organisasi kemasyarakatan besar dari program tersebut. Berawal dari Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, disusul LP Ma’arif PBNU hingga yang terakhir PB PGRI menyatakan tidak ikut bergabung dalam POP.
Menanggapi berbagai isu miring yang menerpa Kemendikbud belakangan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM), Najih Prastiyo mengatakan kesalahan yang terjadi di dalam Kemendikbud sudah dalam tingkatan yang fatal. Menurut Najih, Mendikbud Nadiem Makarim telah salah kelola dalam mengelola organisasi besar yang mengawal pendidikan di Indonesia tersebut.
“Nadiem Makarim dalam posisinya sebagai Mendikbud rasanya belum memahami seberapa besar tanggung jawab berat yang diembannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sudah fatal salah kelola yang terjadi di internal Kemendikbud”, ungkap Najih dalam keterangannya Sabtu (25/07/20).
Bukan tanpa alasan, Menurut Najih kesalahan terbesar yang dilakukan oleh Nadiem sebagai Mendikbud tidak mampu dalam menerapkan manajemen organisasi yang efektif di internal Kemendikbud. Nadiem memposisikan diri sebagai sumber satu-satunya referensi tanpa mau mendengarkan berbagai masukan dan usulan yang berasal dari bawahan. Termasuk mitra organisasi kemasyarakatan yang telah lama berkecimpung di dunia pendidikan. Jadi menurut Najih wajar apabila kemudian sebagai bentuk protes dari organisasi besar ini untuk memilih mundur dari program yang digagas Kemendikbud RI.
“Mas Nadiem ini tampaknya susah untuk mendengarkan masukan dari bawah. Dalam mengelola Kemendikbud akhirnya terkesan hanya semaunya sendiri saja. Harusnya membangun komunikasi yang efektif dong, ke organisasi kemasyarakatan yang punya track record jelas di bidang Pendidikan. Jangan semaunya sendiri”, kata Najih.
Nadiem Menteri Meja
Perihal model bekerja Nadiem, Najih memiliki catatan khusus. Menurutnya Nadiem saat ini lebih pantas dikatakan sebagai Menteri meja, tidak mau turun kebawah. Menurut Najih, aneh jika Mendikbud kemudian tidak mengetahui kondisi di bawah sebagai pertimbangan dalam membuat program Kemendikbud.
“Nadiem kesannya seperti menteri meja, tidak mau turun. Tapi suka kalau diundang talk show buat pencitraan. Ya tidak heran kalau Nadiem tidak tahu apa-apa, kalau di Indonesia banyak daerah yang belum ada listrik, sulit akses internetnya dan lain-lain”, kata Najih.
Najih pun memberikan contoh bagaimana Nadiem salah strategi untuk meningkatkan kompetensi tenaga pengajar yang menurutnya sarat akan kepentingan pengusaha. Menurut Najih, program baru seperti POP ini rasanya memang tidak perlu kalau tujuan tidak jelas dan terkesan buang-buang anggaran semata. Pada akhirnya menimbulkan kontroversi di masyarakat.
“Contoh aja sebelumnya kan sudah ada LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan red.) yang sarana dan prasarananya sudah dibangun dengan megah di daerah-daerah. Kenapa tidak memaksimalkan itu saja? Daripada bikin program baru yang menimbulkan kontroversi ditambah penerimanya ada yayasan yang di back up perusahaan besar”.
“Daripada dana POP yang besar itu dipakai untuk program yang tidak jelas peruntukannya, lebih bermanfaat apabila digunakan untuk membantu masyarakat untuk pengadaan akses internet sebagai kebutuhan belajar di tengah pandemi Covid-19”, pungkas Najih.
Editor: Yusuf