Di usia Muhammadiyah yang ke-113 tahun ini, mari kita menoleh lagi pada sosok yang lahir di sebuah gang kecil di Kauman, Yogyakarta, tapi idenya mampu melampaui abad: KH. Ahmad Dahlan. Kita sering menyebutnya Pendiri Muhammadiyah atau Pahlawan Nasional.
Tapi kalau kita pakai kacamata ilmu pembangunan sosial masa kini, dia adalah prototipe sempurna seorang Local Hero. Seorang manusia biasa dari kampung yang mampu mengguncang tatanan dunia lewat keresahan hatinya.
Dari keresahan itulah lahir revolusi. Bukan revolusi dengan senjata, tapi revolusi kesejahteraan, revolusi pikiran, revolusi harapan.
K.H. Ahmad Dahlan: Ketika Negara Belum Hadir, Ia Datang Membawa Solusi
Awal abad ke-20. Pemerintah kolonial Hindia Belanda sibuk mengurus kepentingan sendiri. Keraton pun belum mampu menyentuh seluruh rakyat kecil. Pendidikan modern? Hanya untuk segelintir orang. Rumah sakit? Nyawa rakyat jelata sering pasrah pada takdir.
Di tengah kekosongan itu, seorang kyai bernama Ahmad Dahlan memutuskan: “Kalau negara belum mampu, kita yang bergerak.”
Tahun 1912, Muhammadiyah lahir. Bukan partai politik, bukan pemberontakan bersenjata, tapi sebuah gerakan masyarakat sipil yang mengambil alih tanggung jawab kesejahteraan rakyat. Inilah yang hari ini kita sebut Welfare Pluralism: kesejahteraan bukan monopoli negara, tapi tanggung jawab bersama negara, pasar, dan yang paling penting masyarakat sendiri.
Dahlan membuktikan: seorang pedagang batik sekaligus khatib keraton bisa menjadi aktor pembangunan terbesar di zamannya hanya dengan memilih berdiri di pilar “masyarakat”.
- Dia bangun sekolah yang mengajarkan agama dan sains—di saat orang masih takut ilmu umum itu “haram”.
- Dia dirikan klinik dan rumah sakit (cikal bakal PKU Muhammadiyah) ketika orang sakit hanya bisa berdoa di rumah.
- Dia lahirkan ‘Aisyiyah—organisasi perempuan pertama yang berani bilang: “Perempuan juga punya hak belajar, berbicara, dan memimpin.”
Dia tidak menunggu izin kolonial. Dia tidak menunggu dana pemerintah. Dia hanya bertanya: “Apa yang bisa kita lakukan hari ini?”
Bukan Memberi Ikan, Bukan Mengajari Memancing Tetapi Membuat Orang Punya Laut Sendiri
Kalau Welfare Pluralism adalah medannya, maka Capability Approach (pendekatan kapabilitas Amartya Sen) adalah jiwa gerakannya.
Dahlan melihat kemiskinan bukan cuma soal kantong kosong. Kemiskinan sejati adalah ketika manusia tidak punya kebebasan untuk menjadi apa yang dia inginkan.
- Anak kampung tidak punya kebebasan belajar karena sekolah cuma untuk orang Belanda dan priyayi.
- Perempuan tidak punya kebebasan berpendapat karena “tempatnya di dapur”.
- Umat tidak punya kebebasan berpikir karena taklid buta masih diagungkan.
Maka Dahlan melakukan sesuatu yang sangat radikal: dia mengonversi kapabilitas dirinya sendiri (ilmu dari Mekah, wawasan pembaruan, keberanian berbicara) menjadi kapabilitas bersama.
Hasilnya?
- Sekolah Muhammadiyah → memberi anak kampung kebebasan untuk bermimpi besar.
- Rumah sakit Muhammadiyah → memberi rakyat miskin kebebasan untuk hidup sehat.
- ‘Aisyiyah → memberi perempuan kebebasan untuk keluar dari kungkungan rumah.
Dia tidak ingin umatnya jadi penerima bantuan selamanya. Dia ingin umatnya mandiri, punya agensi, punya martabat. Makanya dia mengajar dengan dialog, bukan doktrin. Makanya dia membenci ketergantungan baik pada kolonial, pada keraton, maupun pada dirinya sendiri.
K.H. Ahmad Dahlan Dahlan: Warisannya Masih Hidup dan Berjalan
Hari ini, ketika negara sudah kuat dan pasar sudah raksasa, Muhammadiyah tetap berdiri tegak dengan ribuan sekolah, ratusan rumah sakit, dan jutaan anggota yang terus bekerja tanpa harus diminta pemerintah.
Itu bukti: ide seorang kyai dari Kauman tahun 1912 ternyata lebih maju daripada zamannya dan masih relevan hingga kini.
KH. Ahmad Dahlan mengajarkan kita satu hal sederhana yang sangat berbahaya bagi status quo:
Kalau ada yang salah di sekitarmu, jangan tunggu “orang lain” yang memperbaiki. Kamu lah orang itu.
Dari gang kecil di Kauman, dia membuktikan bahwa seorang local hero bisa mengubah nasib satu bangsa bahkan satu peradaban.
Selamat Milad ke-113, Muhammadiyah.
Semoga kita semua tetap jadi local hero di kampung masing-masing.
Baladatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Negeri yang baik, Tuhan yang Maha Pengampun dimulai dari langkah kecil kita hari ini.
Editor: Assalimi

