Biografi
Kyai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. beliau berasal dari keluarga santri sederhana dan taat beribadah. KH.Faqih Usman merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Masa kecil beliau dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dari ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja beliau belajar di pondok pesantren di Gresik tahun 1914-1918. Kemudian, antara tahun 1918-1924 beliau menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik.
Dengan demikian, beliau juga banyak menguaÂsai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. beliau juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemerÂdekaan. Apalagi, pada penghujung abad 19 dan awal abad 20 itu di dunia Islam pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
Setelah lulus pada tahun 1918, beliau belajar di beberapa pondok pesantren di luar Gresik. KH. Faqih Usman dikenal memiliki etos entreÂpreneurship yang kuat. Kegiatan bisnis yang dilakukan oleh beliau cukup besar dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, beliau juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik. Keterlibatan beliau dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925.
Awal di Muhammadiyah
KH. Faqih Usman sering mengikuti ayahnya menggeluti bidang perdagangan, pada saat yang sama juga ia belajar bahasa dan agama secara mandiri. Ketika organisasi islam modernis Muhammadiyah masuk ke Gresik pada tahun 1922, KH. Faqih Usman termasuk menjadi anggota pertamanya.
Dia sangat aktif di dalam Muhammadiyah Gresik, dalam waktu tiga tahun KH. Faqih Usman diangkat menjadi pemimpin diantara grup Muhammadiyah Gresik tepatnya pada tahun 1925. Beliau diangkat menjadi pemimpin di Muhammadiyah Gresik sebagai awal dari berdirinya Muhammadiyah tingkat cabang di kota Gresik, Jawa Timur.
Namun tidak lama setelah dia menjadi pemimpin di Muhammadiyah cabang Gresik, karena kepiawainya dan keuletannya atau kecerdasannya sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat menjadi ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur pada tahun 1932-1936. Majelis ini berpusat di Surabaya. KH. Faqih Usman juga aktif dalam politik. Pada tahun 1929Â beliau dipilih sebagai anggota Dewan Surabaya. Sementara, KH. Faqih Usman tetap aktif dalam perdangangan alat pembangunan dan mempunyai perusahaan pembuat kapal.
Ketika KH. Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, beliau menggantikan kedudukan KH. Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada tahun 1936, sekaligus menjabat sebagai redaktur majalah Muhammadiyah Bintang Islam dan Ketua Majelis Tarjih.
Dengan demikian aktifnya di Muhammadiyah mengharuskannya pulang pergi ke Surabaya menggunakan mobil pribadinya. Disamping itu beliau juga semangat dalam mengurusi usaha dagangnya. Dalam waktu luangnya beliau selalu memanfaatkan untuk belajar ilmu agama dan pemikiran para tokoh-tokoh pembaharu Islam.
Salah satunya buku yang di baca dan pelajari adalah bukunya Muhammad Abduh. Pada tahun 1937, Muhammadiyah, organisasi Islam Nahdatul Ulama (NU) dan Sarekat Islam serta sejumlah organisasi Islam lainnya bergabung untuk membentuk sebuah payung organisasi bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang berpusat di Surabaya.
Bergabung dengan Masyumi
KH. Faqih Usman menjadi bendahara di organisasi tersebut. Pada tahun 1938 KH.Faqih Usman menjadi ketua cabang Muhammadiyah Surabaya. Pada tahun 1940 beliau mengundurkan diri dari jabatan ketua cabang Muhammadiyah Surabaya dan menjadi anggota Dewan Kota untuk menjadi pemimpin sekretariat MIAI.
Setelah jepang menduduki Hindia Belanda pada awal tahun 1942, pada 9 Maret 1942 Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenboch Stachouwer dan ketua Koninjklik Nederland-Indische Leger Jenderal Hein Ten Poorten menyerah. Penguasa Jepang melarang semua jenis organisasi, sehingga MIAI terpaksa dibubarkan pada bulan Mei. MIAI terbentuk lagi pada 5 September 1942 dan pada akhir tahun 1943, diberi nama Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia, atau Masyumi.
Sewaktu menjabat di dewan Masyumi, KH. Faqih Usman menjadi anggota Syu Sangi In, dewan penasihat Jepang, di Surabaya. Beliau memegang jabatan ini hingga tahun 1945. Setelah serangan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945 pihak Jepang mulai mengundurkan diri. Setelah itu KH. Faqih Usman mulai membuka hubungan kerja dengan pihak pemerintah Republik.
Dari tanggal 7 hingga 8 November 1945 KH. Faqih Usman bergabung dengan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta, yang membawa hasil Masyumi dijadikan partai politik yang mewakili kepentingan Islam. Karena adanya Pertempuran Surabaya beliau dan keluarganya mengungsi ke Malang.
Di Malang, KH.Faqih Usman bergabung dengan Masjkur dan Zainul Arifin untuk membentuk kelompok revolusi yang dibentuk dari kelompok Sabilillah dan Hizbullah, yang pernah dilatih Jepang. KH. Faqih Usman sendiri menjadi wakil pemimpin satuan tersebut. Setelah Agresi Militer Belanda II diluncurkan pada bulan Desember 1948, KH. Faqih Usman dan keluarganya melarikan diri ke Surakarta. Di kota itu KH.Faqih Usman menjadi aktif dengan Muhammadiyah lagi. Beliau menjadi salah satu wakil ketua, pada saat kepemimpinan KH. Ki Bagus Hadikusumo. Pada masa ini beliau harus pulang pergi kerja antara Surakarta dan Yogyakarta.
Nota Faqih Usman
Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan oleh rezim Orde Baru, maka KH. Faqih Usman bersama dengan KH.Hasan Basri (mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru.
Nota politik ini kemudian dikenal dengan Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi dari partai terlarang. Pada akhir tahun 1949 pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan Konferensi Meja Bundar, yang berbuah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Ini menjadi salah satu penyebab dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari enam belas negara bagian. Pada 21 Januari 1950 KH. Fakih Usman menggantikan KH. Masjkur sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Halim, mewakili Republik Indonesia. Pada saat itu, republik terdiri dari Yogyakarta, Banten, dan sebagian besar Sumatra.
Bekerja sama dengan Menteri Agama RIS Wahid Hasyim, KH. Fakih Usman mulai menetapkan kurikulum pelajaran agama standar di sekolah umum dan memodernisasi pendidikan di sekolah berbasis agama. Sementara, mereka juga bekerja untuk menyatukan kedua kementerian agama.
Pada 17 Agustus 1950 RIS dan anggotanya menjadi satu republik, dengan Hasyim sebagai menteri agama. Di bawah Hasyim, KH. Faqih Usman bertugas sebagai pemimpin bagian pendidikan agama. Sementara, masing-masing anggota Masyumi berselisih pandang atas tujuan partai. NU beranggapan bahwa Masyumi sudah terlalu mengutamakan politik, sehingga dasarnya dalam Islam diabaikan.
Saat kabinet Natsir mulai runtuh dan akhirnya KH. Faqih Usman diajukan Masyumi sebagai calon Menteri Agama. NU mengundurkan diri dari Masyumi mulai 5 April 1952. KH. Faqih Usman dipilih dengan mayoritas lima suara, sementara kandidat lainnya, Usman Raliby, mendapatkan empat suara.
KH. Faqih Usman dijadikan Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo. beliau dilantik pada 3 April 1952. Setelah itu, beliau beserta keluarga berpindah ke Jakarta. Setiba di sana, KH.Faqih Usman mulai melakukan program reformasi dalam Kementerian Agama, termasuk meresmikan tujuan kementerian: untuk menyediakan guru agama, mempromosikan hubungan antar-agama yang baik, dan menentukan tanggal hari raya.
Kembali ke Muhammadiyah
Beliau juga berusaha untuk meninjau ulang struktur kementerian. Ini termasuk meresmikan hierarki kepemimpinan dan membentuk cabang di tingkat provinsi dan daerah. Kementerian juga melanjutkan peningkatan mutu pendidikan agama dan mengurus ribuan haji yang berangkat dari Indonesia ke Mekkah setiap tahun. Kabinet Wilopo bubar pada 30 Juli 1953, setelah adanya masalah imigrasi dan sengketa tanah di Medan, KH. Faqih Usman diganti oleh KH. Masjkur.
Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, Beliau masih tetap duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, beliau juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara.
Bersama dengan Mohammad Roem, beliau berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Beliau berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut.
Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaan tersebut, akhirnya KH. Faqih Usman kembali ke Muhammadiyah yang menjadi basis aktivitas kemasyarakatannya. Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH Faqih Usman merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan Kepribadian MuhamÂmadiyah.
Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, yang akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah, tak lama beliau dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggantikan KH.A. Badawi tepatnya pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971.
Namun, jabatan itu tak sempat diemban lama hanya beberapa hari saja, karena beliau dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. dan bisa dikatakan bahwa periode kepemimpinan KH. Faqih Usman adalah periode tersingkat dalam Muhammadiyah. Akan tetapi jasa beliau dalam Muhammadiyah masih dikenal sampai saat ini dan sampai masa yang akan datang. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh KH.Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda pada waktu itu.
Editor: Yusuf R Y