Kiai Dahlan tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama. Dahlan juga seorang pendidik mumpuni. Ini dibuktikan dari cara ia mengajar ilmu agama maupun pengetahuan lainnya. Visualisasi dalam film Sang Pencerah hanya sebagian kecil dari betapa lembutnya Dahlan dalam mendidik murid-muridnya. Apa yang menjadi visi Dahlan sebagai pendidik diungkapkan oleh petuahnya yang akrab di kalangan warga Muhammadiyah yakni “ Dadio kjai sing Kemadjoean, adja kesel anggonmu njamboet gawe kanggo Moehammadijah.” Apa yang diucapkan oleh Dahlan ini ditangkap menjadi tujuan pendidikan Muhammadiyah kala itu (Arifin, MT, 1987 : 212)
Semula motif mendirikan sekolah di Muhammadiyah adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang waktu itu terkendala oleh biaya, tapi juga persoalan perbedaan kesempatan memperoleh pendidikan dari kaum pribumi. Selain itu, kebutuhan akan pengajaran bagi kaum pribumi muslim juga didorong oleh zending yang waktu itu membuka sekolah di Yogyakarta. Pada masa awal berdiri, Muhammadiyah telah mendirikan sekolah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (untuk tingkat dasar),Qismul Arqa (untuk tingkatan lanjut) pada 1918 (Muarif, 2012 :57).
Tantangan sekolah Muhamadiyah pada waktu itu adalah bagaimana membuat sekolah Muhamadiyah tidak kalah mutunya dibanding dengan sekolah zending maupun sekolah kolonial.
Tahun 1920-an atau delapan tahun setelah berdirinya Muhammadiyah, mulai timbul kesadaran untuk mengorganisir sekolah yang dimiliki Muhammadiyah lebih rapi.
KH Hisyam dan Perannya
KH Hisyam adalah murid Kiai Dahlan bahkan sebelum Muhammadiyah berdiri. Kiai Hisyam mendapatkan amanah menjadi pengurus bahagian sekolah di tahun 1920. Pada masa itu ada empat bahagian baru dalam Muhammadiyah. Bahagian tabligh dipimpin oleh H.Fachrodin, Taman Pustaka oleh H.M. Mochtar, dan bagian PKO oleh Kiai Sudja’.
Faisal Anas dalam penelitiannya Peran Kiai Hisyam dalam Pengembangan Pendidikan Muhammadiyah (2019) menyebutkan peranan KH Hisyam saat diangkat menjadi Ketua Bahagian Sekolahan. Pertama, terjadi pembaruan kurikulum. Kedua, meningkatnya jumlah sekolah Muhammadiyah. Ketiga, perubahan kualitas guru di sekolah.
Di tahun 1923, Kiai Ibrahim mengeuarkan maklumat pendirian MPM (Madjelis Pimpinan dan Pengadjaran Muhammadiyah) tujuannya adalah untuk mengawasi, mengatur, dan memperbaiki pengadjaran di sekolah Muhamadiyah.
Pola pendidikan Muhammadiyah disorot pula oleh MT Arifin di masa kepemimpinan KH Hisyam. Tujuan pendidikan menurut catatan Sahlan Rosyidi dalam bukunya Perkembangan Filsafat Pendidikan dalam Muhammadiyah (1975) diantaranya agar menunjang lahirnya : Pertama, manusia yang alim dalam ilmu agama. Kedua, yang berpandangan luas dengan memiliki pengetahuan umum. Ketiga, siap berjuang untuk Muhamadiyah dalam menyantuni nilai-nilai keutamaan dalam masyarakat.
Di tahun 1936, tujuan ini kemudian dimodifikasi menjadi “Rumus Betawi” : …. maka buat eerster periode Moehammadiyah membangoen pergoeroan-pergoeroan itoe dengan berdasar tiga tingkatan : 1. Menggiring anak-anak Indonesia mendjadi orang Islam jang berkobar-kobar semangatnja. Kedua, berbadan sehat, tetap bekerdja. Ketiga, hidoep tangannja mentjari rizqi sendiri, sehingga kesemoeanja itoe memberi faedah jang besar dan berharga hingga badannja dan djoega hidoep bersama.
Subsidi dari Pemerintah Kolonial
Kebijakan yang ditempuh Kiai Hisyam dalam pendidikan yang memicu kontroversi adalah usaha untuk mendapatkan subsidi pendidikan dari pemerintah kolonial. Hisyam berpendapat bahwa subsidi berasal dari pajak yang dibayar rakyat. Karena itulah subsidi pendidikan penting kembali ke rakyat, karena kalau tidak bisa digunakan keseluruhan untuk sekolah zending.
Konsekuensi dari subsidi itu adalah penyesuaian kurikulum pendidikan dengan kurikulum pemerintah. Muhammadiyah harus pula menyesuaikan pelayanan sebagaimana berlaku. Penyesuaian dengan sistem pendidikan resmi itu menyebabkan Pimpinan Muhammadiyah dihadapkan pada persoalan baru : Bagaimana harus menyesuaikan kurikulum dan sistem pelayanan yang berlaku pada sekolah pemerintah tanpa meninggalkan ciri pendidikan Muhammadiyah seperti yang telah dikembangkan sejak 1912.
Djarnawi Hadikusumo mengkritik sikap mau menerima subsidi dari pemerintah telah menyebabkan memudarnya jiwa keagamaan dari amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan (Arifin, MT, 1987 : 162).
Terlepas dari kontroversi dan juga kritik terhadap subsidi pendidikan dari pemerintah kolonial, Haji Hisyam telah memberi sumbangsih dalam pembaruan pendidikan di Muhamadiyah. Hisyam telah menetapkan Rangrang Pengadjaran (Leerplan) dan “Ketentoean oentoek Moehammadijah Bahagian Sekolahan tentang Sekolah-Sekolah Moehammadijah”. Di tahun 1936 pula di masa kepemimpinan Kiai Hisyam pada Kongres 25 tahun Moehammadiyah di Betawi telah berhasil dirumuskan dasar-dasar perguruan Muhammadiyah.
Pada masa kepemimpinannya, Kiai Hisyam telah berhasil merapikan sistem pendidikan Muhammadiyah dan membuat sekolah-sekolah Muhammadiyah dipandang sama dari sisi kualitas dibanding dengan sekolah dari kolonial dan juga sekolah zending.
Modernisasi pendidikan di masa Kiai Hisyam yang telah menggeser dari pelajaran keagaman kepada penyesuaian kurikulum modern sesuai dengan pemerintah kolonial di waktu itu. Kepemimpinan Kiai Hisyam dalam waktu tiga tahun (1934-1936) telah membawa pembaruan pendidikan di Muhammadiyah. Selama kepemimpinannya pula sekolah-sekolah Muhammadiyah mengalami perkembangan pesat. Ia memperoleh bintang jasa Ridder Orde van Orange Nassau bersama rekannya Dwidjosewojo, sekretaris Budi Utomo pada tanggal 31 Agustus 1937. Kiai Hisyam wafat di usia 61 tahun, 20 Mei 1945.
Editor: Nabhan