Penulis akan menanggapi pendapat saudara Rifqy Naufan Alkatiry tentang titik temu atau persamaan antara materialisme historis Karl Marx dan teologi Al-Ma’un KHA Dahlan. Karena persoalan membandingkan apalagi menyamakan, perlu melihat lebih spesifik lagi mengenai latar belakang hingga hasil buah pikir kedua tokoh tersebut.
Rifqy Naufan Alkatiry telah memaparkan latar belakang Karl Marx secara ringkas dan mudah. Karena jika melihat realita di negara ini, perbincangan tentang Marxisme begitu tabu. Tak heran apabila tulisan yang berjudul “Karl Marx dan Kiai Dahlan: Titik Temu Pemikiran” menuai berbagai pendapat kritis di kalangan aktivis melalui akun Facebook dan WhatsApp Group.
Namun, jika tetap dibiarkan dalam ranah tabu, akan menimbulkan banyak masalah dan mempersempit ruang intelektual. Setidaknya kita perlu menanyakan apa saja yang harus dibandingkan untuk menemukan persamaan Karl Marx dan Kiai Dahlan, supaya lebih menimbulkan pencerahan nalar.
KHA Dahlan dan Marx Berbeda
Muhammad Darwisy mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu Islam semasa ia pergi haji dan tinggal di Makkah. Gagasan pembaharuan Islam tersebut terinspirasi oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Ketika kembali ke kampungnya pada 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada masa kedua, Ahmad Dahlan juga berguru dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Pengalamannya dalam berorganisasi di Jamiatul Khair, Budi Utomo, dan Sarekat Islam juga mempengaruhi ide cemerlangnya. Dengan latar belakang pendidikan ‘santri’ ditambah banyak mengambil inti sari dari para ulama terkemuka dunia. Sehingga, pemikiran Ahmad Dahlan tumbuh tajam dalam menafsirkan pesan-pesan Ketuhanan.
Berangkat dari surat Ali Imran ayat 104, juga isyarat pengaplikasian tujuh ayat dalam surat Al-Ma’un, Kiai Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah. Melihat kondisi masyarakat saat itu mengalami kejumudan akibat penjajahan kolonial. Oleh sebab itu, Muhammadiyah hadir sebagai gerakan Islam (basis agama), gerakan dakwah (amar ma’ruf nahi munkar), dan gerakan tajdid (pembaharuan).
Sementara, Karl Marx membutuhkan beberapa tahun sampai mencapai pengertiannya yang khas, selanjutnya masih mengalami perkembangan lagi. Lazimnya lebih mudah dibedakan dengan “Marx Muda” dan “Marx Tua”. Marx muda terpesona oleh filsafat Hegel begitu tiba di Berlin sebelum ia mengkritiknya di kemudian hari.
Marx mulai mendalami filsafat Feurbach, yang lebih mengedepankan realita sosial di banding absolutisme (teosentris). Di sinilah babak baru dimulai, melihat penindasan yang dilakukan oleh borjuis dan apatisnya agamawan saat itu hingga dikatakanlah “agama adalah candu”, Marx menyadari bahwa pembebasan bisa diperjuangkan. Inilah yang disebut materialisme historis.
Dari sini kita melihat bahwa kedua tokoh sama-sama melakukan pembebasan atas dasar realita sosial dan kemanusiaan adalah kurang tepat. Kiai Dahlan menelaah atas tafsir ayat-ayat ilahiah yang menyeru untuk menengok realita sosial. Sedangkan materialisme historis yang dilakukan Marx mengesampingkan ranah teologi.
Meskipun ia mengungkapkan bukan agama satu-satunya faktor keterasingan tersebut. Maka Kiai Dahlan bukanlah seorang Marxis substansial.
Pengaruh Keyakinan
Keyakinan yang dianut kedua tokoh memang jelas berbeda. Ayah Karl Marx yang semula Yahudi beberapa tahun kemudian pindah agama menjadi Kristen Protestan. Sampai saat ini banyak yang mengatakan bahwa Marx itu ateis dalam praktiknya.
Yang jelas, keyakinan ini mempengaruhi pemikiran yang sebelumnya dikatakan sebagai “titik temu” itu. Prof. Yunahar Ilyas pernah mengatakan tidak sama antara berbuat kebaikan atas dasar amal saleh atau lillah dengan humanisme.
Sesuai dengan hadits Nabi SAW, “Sesungguhnya amalan tergantung niat”. Ibarat seorang mahasiswa baru (maba) gagal diterima masuk kampus melalui SNMPTN padahal nilai rapornya baik, akibat ia tidak melakukan registrasi/pendaftaran terlebih dahulu.
Iman dan amal saleh adalah frasa yang saling berkaitan. Iman merupakan syarat semua kebaikan bisa diterima dan membawa pelakunya ke surga. Perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah hanya akan panas di awal saja, tidak langgeng. Tentu dorongan spiritualah yang melandasi pembebasan atas keterpurukan sosial oleh KHA Dahlan, bukan sebaliknya. Jadi yang dilakukan Kiai Dahlan adalah amal saleh, bukan materialisme historis!
Buah Pemikiran (Output)
Di Rusia, seorang penganut muda sosialisme mengadopsi Marxisme sebagai bagian integral dalam ideologi revolusioner menyeluruh sebuah gerakan yang akan menjadi sistem kekuasaan totaliter paling dahsyat yang dikenal oleh umat manusia sampai sekarang. Pemuda itu bernama Lenin, gerakannya kemudian dikenal sebagai “komunisme”.
Semenjak runtuhnya Uni Soviet hampir semua orang mengatakan bahwa sosialis-komunis sudah gagal. Krisis di Venezuela juga mendorong banyak orang berteriak bahwa sosialis-komunis tidak dapat bertahan. Kejatuhan sosialisme Uni Soviet dianggap sebagai kegagalan dari teori dibaliknya, yakni teori Marxisme.
Marxisme hanya menjelma sebagai filsafat yang hanya rumit di alam idealita. Tetapi teologi Al-Ma’un merupakan nilai praksis sebagai aplikasi wahyu ilahi, sehingga menghasilkan kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Oleh karena itu, tulisan ini mungkin dapat menjadi pengembangan dari tulisan saudara Rifqy Naufan Alkatiry. Bahwa dalam sinkronisasi pemikiran Karl Marx dan Kiai Dahlan tidak cukup menggunakan ilmu cocokologi. Tulisan ini bukan mengajak ke arah konservatisme ataupun pengkaratan intelektual. Justru sebaliknya, diharapkan tulisan ini menjadikan kita lebih berwatak universal, mengakar, dan mencerahkan nalar.
Editor: Nirwansyah/Nabhan