Perspektif

Khairu Ummah: Islam Indonesia Menuju Umat Terbaik

3 Mins read

Dalam Al-Qur’an, umat Nabi Muhammad saw. dijuluki umat terbaik ‘khairu ummah’ oleh Allah Swt.  Sebutan umat terbaik tersebut masih menyisakan tanda tanya, kepada umat Islam yang mana dan umat Islam yang punya prestasi apa yang layak digelari sebagai umat terbaik? Pertanyaan tersebut sekaligus menjadi bahan renungan bagi umat Islam di Indonesia saat ini untuk berkaca kembali terkait hal tersebut: apakah umat Islam masih layak disebut umat terbaik?

Kritik terhadap Realitas Umat Islam Sekarang

Generasi umat Islam awal pada zaman Nabi Muhammad saw. dan para sahabat diyakini sebagai generasi yang dikatakan umat terbaik tersebut. Setelah generasi awal tersebut, berlalunya julukan umat terbaik ini menjadi teka-teki. Misalnya Buya Syafii, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang dalam bukunya Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Muslim, beliau mempertanyakan kedudukan umat terbaik yang diberikan untuk umat Islam tersebut.

Buya mengatakan bahwa dalam realitas sejarah, banyak peristiwa di kehidupan umat Islam yang tidak merefleksikan bahwa umat Islam adalah ‘khairu ummah’. Pernyataan Buya sekaligus merupakan kritik bagi dunia muslim yang hingga detik ini masih terjebak dalam  lingkaran konflik masa lalu.

Di penghujung periode kepemimpinan khulafaur rasyidin, misalnya, terjadi konflik berdarah-darah antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan ummul mukminin,  Siti Aisyah. Ia disusul konflik berdarah-darah antara pasukan Ali dan Muawiyah bin Abi Sofyan dalam Perang Shiffin. Peristiwa kelam tersebut merupakan krisis pertama di dunia muslim sekaligus menjadi bahan evaluasi.

Akibat konflik masa lalu umat Islam tersebut, hingga kini umat Islam terus menerus terfragmentasi dalam berbagai aliran alias kotak-kotak keagamaan. Aliran Islam tersebut mewarisi konflik masa lalu dan hingga kini masih terus memanas dan menjadi biang keladi perpecahan sesama umat Islam.

Baca Juga  Harun Nasution: Titik Temu antara Filsafat dan Tasawuf

Selain itu, konflik berkepanjangan seperti Arab Saudi dan Republik Islam Iran yang hingga kini terus menerus memanas menunjukkan rapuhnya ukhuwah Islamiyah kolektif internal umat Islam. Konflik yang dilatarbelakangi paham keagamaan yang berbeda ditambah keinginan untuk saling berebut pengaruh di Timur Tengah.

Belum lagi diskriminasi yang banyak dilakukan terhadap umat muslim seperti penganiayaan muslim Rohingya, Uighur, India dan Palestina yang menambah catatan merah solidaritas sesama umat Islam yang remuk tersebut. Tidak salah bila hingga detik ini sisa-sisa keanehan masih ada dalam diri umat Islam terkait bagaimana sebenarnya kedudukan umat terbaik ini.

Umat Terbaik dalam Ayat ‘Khairu Ummah’ Menurut Kuntowijoyo

Umat terbaik di dalam Al-Qur’an diidentifikasikan sebagai mereka yang senantiasa mempraktikkan dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar, yaitu mengajak pada kebaikan dan mencegah pada yang munkar (keburukan). Disusul kemudian dengan indikator beriman kepada Allah Swt atau mereka yang senantiasa tu’minuuna billahi secara konsisten. Keterangan tersebut disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110.

Kuntowijoyo dalam buku Paradigma Islam setidaknya menyatakan bahwa ayat tersebut mengandung tiga aspek nilai yaitu nilai liberasi, humanisasi dan transendensi. Mengacu pada argumentasi tersebut, khairu ummah setidaknya harus memiliki tiga kandungan nilai di atas. Pertama, nilai liberasi (pembebasan). Umat terbaik berkarakter pembebasan artinya membebaskan manusia dari segala belenggu baik secara ekonomi, politik dan keagamaan.

Usaha mengaktualisasikan Islam sebagai ajaran pembebasan sudah dilakukan oleh banyak tokoh Muslim seperti Hassan Hanafi dengan gagasan oksidentalisme dan pendekatan antroposentrisme-nya, teologi pembebasan Asghar Ali Enginer. Di Indonesia, ada KH. Ahmad Dahlan dengan spirit Teologi al-Maun dan KH. Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad tahun 1945.

Baca Juga  Santri Indonesia sebagai Duta Perdamaian Dunia

Kedua, nilai humanisasi. Nilai humanisasi yang dimaksud adalah menghargai setiap individu dengan kedudukan yang sama di hadapan manusia lainnya karena nilai kemanusiaan yang dimilikinya. Nilai ini harus senantiasa didengungkan karena dalam kenyataannya, masih ada manusia yang dipandang sebelah mata dan dianggap rendahan bahkan disamakan dengan hewan.

Merebaknya sikap rasialisme dan rasisme merupakan bukti konkret betapa kebiasaan merendahkan sesama manusia itu ternyata masih banyak. Sehingga,  tidak dikatakan sebagai umat terbaik bila umat tersebut masih belum bisa menghargai derajat kemanusiaan seseorang. Karena satu-satunya yang membedakan antar sesama manusia hanyalah ketakwaannya di hadapan Allah Swt.

Ketiga, nilai transendensi. Umat terbaik tentu harus mampu menyerap nilai-nilai ilahiah yang termanifestasi dalam praktik keagamaan. Baik saleh secara individual yang hubungannya vertikal langsung kepada Allah Swt. dan saleh secara sosial yang hubungannya kepada sesama manusia. Ketiga nilai tersebut menggambarkan kriteria umat terbaik yang menjadi cita-cita bersama umat Islam saat ini.

Umat Islam Indonesia dan Realisasi Umat Terbaik

Di tengah ketertinggalan umat muslim dewasa ini, seruan menuju konsep khairu ummah menjadi urgen dan mendesak. Umat Islam di Indonesia punya modal besar untuk merealisasikan konsep umat terbaik tersebut. Ada beberapa alasan penting terkait hal tersebut. Pertama, umat Islam Indonesia sudah lama menjadi harapan umat Islam lainnya di seluruh dunia untuk menjadi corong peradaban Islam kontemporer. Alasan ini cukup rasional, mengingat Islam di Indonesia memiliki karakter Islam yang moderat (wasathiyah), toleran (tasammuh) dan seimbang (tawazzun).

Kedua, paham keislaman terus bertranformasi menjadi aksi-aksi kemanusiaan yang konkret seperti kemajuan dalam pendidikan, kesehatan dan gerakan ekonomi. Aksi-aksi konkret tersebut seperti yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah dengan membangun ribuan sekolah dan ratusan perguruan tinggi serta rumah sakit yang tersebar di seluruh belahan bumi Indonesia.

Baca Juga  Kuntowijoyo, Sastrawan yang Cemerlang

Ketiga, umat Islam di Indonesia tidak kering pemahaman keagamaan dan wacana keislaman. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di Indonesia banyak bertaburan wacana keislaman yang masif dan menarik perhatian dunia muslim lainnya. Misalnya, wacana ‘Islam Berkemajuan’ yang diinisiasi Muhammadiyah dan ‘Islam Nusantara’ yang diinisiasi Nahdlatul Ulama (NU) yang beberapa tahun belakangan memantik api intelektualisme di dunia Muslim.

Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka umat Islam Indonesia mempunyai keuntungan yang besar menuju umat terbaik seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.

Editor: Shidqi Mukhtasor
10 posts

About author
Penulis adalah Ketua Bidang Riset Pengembangan Keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Bandung Timur dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sains Fisika (HIMASAIFI) UIN Bandung.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds