Perspektif

KHGT: Upaya Muhammadiyah Membayar Hutang Peradaban Islam

6 Mins read

“Islam telah mencerahkan kehidupan manusia selama berabad-abad, tetapi sampai saat ini belum memiliki sistem pengorganisasian waktu (kalender) secara global. Ini adalah hutang peradaban Islam hingga saat ini,” Kurang lebih seperti inilah statement yang sering diutarakan Syamsul Anwar selaku Ketua PP Muhammadiyah dalam beberapa kesempatan seminar.

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaan pada abad pertengahan. Kala itu, Islam mampu menguasai hampir 2/3 wilayah dunia. Majunya peradaban Islam juga ditandai dengan berkembang pesatnya keilmuan, munculnya ulama, ilmuwan, berikut dengan penemuan yang spektakuler, juga arsitektur bangunan megah yang mencerminkan kemajuan peradaban Islam kala itu.

Ironisnya, setelah Islam berkembang selama kurang lebih 14 abad, peradaban Islam tidak memiliki kalender global. Sementara 6000 tahun sebelumnya, bangsa Sumeria telah memiliki satu sistem kalender yang sangat baik.

Kalender Hijriah di Masa Umar bin Khattab

Ketika Umar bin Khattab berkuasa sebagai khalifah yang kedua, umat Islam sebenarnya telah memiliki satu sistem kalender yang cukup baik, yaitu kalender Hijriah. Namun model kalender ini meskipun digunakan seluruh dunia Islam waktu itu, kalender ini bukanlah kalender global unifikatif. Mengapa hal ini dapat terjadi?

Berdasarkan fakta sejarah, setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi latar belakang mengapa kalender hijriah waktu itu tidak bersifat global. Pada masa tersebut, wilayah Islam masih terbatas di Jazirah Arab saja, sehingga upaya pembuatan kalender Islam global belum dirasa perlu.

Kemudian, intensitas masyarakat dalam bermobilitas kala itu masih terbilang rendah. Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini yang masyarakatnya bermobilitas secara intens-massif. Alasan lain adalah minimnya akses informasi yang cepat dan akurat karena masih belum adanya sarana dan prasarana teknologi yang memadai.

Pada masa keemasan Islam, persoalan kalender juga belum menjadi diskursus yang pelik. Faktor kesatuan umat Islam dalam satu naungan kesultanan kala itu menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi. Namun hal ini berbeda jika dibandingkan masa kini, di mana umat Islam tersebar ke berbagai teritorial di seluruh dunia. Sebagian menetap di wilayah yang memang secara konstitusional berdasar pada Islam, sementara sebagian lainnya menetap di negara-negara yang tidak berasaskan Islam (negara demokrasi, sekuler, maupun komunis).

Secara umum, tersebarnya umat Islam ini merupakan heterogenitas yang lumrah. Terlepas dari hal tersebut, tetap ada berbagai persoalan baru yang muncul, salah satunya adalah tidak adanya sistem kalender universal (global) yang dimiliki umat Islam.

Diskursus Awal Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT)

Perbincangan terkait KHGT sebenarnya telah muncul kurang lebih sejak seabad yang lalu. Menurut Syamsul Anwar, ide menyatukan kalender Islam justru bermula dari usulan seorang pakar hadis asal Mesir, yaitu Ahmad Muhammad Syakir pada tahun 1939. Sayangnya, apa yang dikemukakan Syakir masih sebatas argumentasi saja dan belum ada bentuk kalender konkritnya.

Baca Juga  Bagaimana Cara Menyantuni Anak Yatim dalam Islam?

Pada tahun 1978, Muhammad Ilyas menciptakan kalender Islam yang diklaim sebagai kalender internasional. Tetapi, kalender yang ia ciptakan tersebut bukan kalender unifikatif (satu hari, satu tanggal di seluruh dunia), melainkan kalender zonal. Ilyas membagi dunia menjadi tiga zona (Trizonal), yaitu Zona Barat (benua Amerika), Zona Tengah (Eropa, Asia Barat, dan Afrika), dan Zona Timur (Asia Tengah, Pasifik, dan Australia).

Selanjutnya, pada tahun 1993 Nidhal Guessoum dkk juga menciptakan satu sistem kalender beserta bentuk konkritnya. Sama dengan Ahmad Muhammad Syakir, kalender yang ia klaim sebagai kalender global ini ternyata bersifat zona.

Nidhal Guessoum membagi dunia menjadi empat zona dalam kalender yang ia ciptakan, yaitu pertama, 180˚ BT – 75˚ BT (Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara); kedua, 75˚˚ BT – 30˚ BT (Asia Kecil); ketiga, 30˚ BT – 1˚ BB (Afrika dan Eropa); keempat, 15˚ ˚˚˚˚˚ BB – 80˚ BB (Kawasan Atlantik dan Benua Amerika). Satu hal yang menarik dari Nidhal Guessoum ini, ia meninggalkan konsep kalender empat zona ini dan membuat kalender baru dengan sistem dua zona.

Pasca usulan Nidhal Guessoum, kembali muncul gagasan kalender global bizonal oleh Muhammad Shawkat Audah (Mohammad Odeh). Odeh membagi dunia menjadi dua zona (bizonal), yaitu Zona Timur yang meliputi Afrika, Eropa, Australia dan Asia; serta Zona Barat yang meliputi Benua Amerika.

***

Dari ketiga usulan tersebut, kesemuanya memang dianggap sebagai kalender global, tetapi belum bersifat unifikatif atau menyatukan seluruh dunia menjadi satu hari satu tanggal. Baru kemudian pada tahun 2004, Jamal Eddine Abderrazik (Jamaluddin Abd ar-Raziq) membuat kalender global unifikatif dengan kriteria ijtimak (konjungsi) sebelum pukul 12.00 UTC (GMT).

Kalender ini kemudian diuji selama beberapa waktu, dan menunjukkan adanya kelemahan dalam implementasinya. Sehingga kalender ini kemudian diperbaiki dalam konferensi internasional penyatuan kalender Islam di Istanbul, Turki pada tahun 2016.

Perkembangan tentang upaya penyatuan kalender Islam global ini kemudian mendapat sambutan yang positif dari berbagai lembaga maupun organisasi. Berbagai seminar dan konferensi kemudian muncul sebagai respon terhadap usulan-usulan tersebut. Di antara seminar atau konferensi tersebut adalah:

  1. Konferensi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Istanbul, Turki pada 26-28 Zulhijjah 1398 H/28-30 November 1978 M dengan tajuk “Conference for Determining the Beginning of Lunar Months”. Konferensi ini disebut juga dengan Konferensi Penetapan Awal Bulan Kamariah (Mu’tamar Tahdid Awa’il asy-Syuhur al-Qamari). Konferensi ini dihadiri oleh 19 negara dari kawasan Asia, Eropa dan Afrika.
  2. Ijtima’ al-Kubra as-Sani li ad-Dirasah wa at-Taqwim al-Islami yang digelar di Rabat, Maroko pada tanggal 15-26 Oktober 2008. Konferensi ini juga diprakarsai oleh OKI.
  3. Kongres dengan tema “The International Hijri Calendar Unity Congress” di Turki pada 28-30 Mei 2016.
  4.  Pasca munculnya berbagai konferensi tersebut, diskursus tentang kalender Islam semakin intensif. OKI kemudian merespon dengan memberi rekomendasi khusus pada satu pertemuan penting yaitu Sidang ke-43 (Session of Education and Englightement: Path to Peace and Creativity). Pertemuan ini diadakan di Tashkent, Uzbekistan pada 18-19 Oktober 2016.
Baca Juga  LGBT: Perspektif Islam, Hukum, dan HAM

***

Selain pertemuan internasional secara global, terdapat juga beberapa pertemuan yang diadakah secara regional Asia Tenggara dengan membahas topik yang sama. Pertemuan-pertemuan tersebut adalah:

  1. Seminar dan Bengkel Serantau Kalender Islam Antar Bangsa. Kegiatan ini diselenggarakan di Penang, Malaysia pada tanggal 7-8 Juni 1988.
  2. International Conference Towards Implementation of A Unified Islamic Calendar yang diselenggarakan di Penang, Malaysia pada tanggal 8-10 Oktober 1991.
  3. Pada tahun 1991 M/1412 H Jawatan Kuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam mengadakan Musyawarah Pertama di Pulau Penang, Malaysia. Pertemuan ini menyepakati kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS (kriteria yang digunakan di negara anggota MABIMS, yaitu Malaysia, Brunai Darussalam, Indonesia, dan Singapura).
  4.  Pertemuan MABIMS pada 11-13 Agustus 2013 M/12-14 Jumadilakhir 1424 H di Yogyakarta.
  5. Pertemuan MABIMS di Bali pada 27-29 Juni 2012 M/7-9 Sya’ban 1433 H.
  6. Pertemuan MABIMS di Teluk Kemang, Negeri Sembilan, Malaysia pada tanggal 2-4 Agustus 2016 M/28 Syawal-1 Zulkaidah 1437 H.
  7. Kementrian Agama RI mengadakan Seminar Internasional Fikih Falak pada 28-30 November 2017 M/9-11 Rabiulawal 1439 H. Dalam seminar ini, Kementrian Agama RI mengundang negara anggota MABIMS dan beberapa negara sahabat.
  8. Pertemuan Falak MABIMS dengan tajuk “Perkembangan Visibilitas Hilal dalam Perspektif Sains dan Fikih” di Yogyakarta pada tanggal 8-10 Oktober 2019 M/9-11 Safar 1441 H.

Upaya Muhammadiyah Membayar Hutang Peradaban Islam

Sejak awal berdiri, Muhammadiyah selalu membawa misi perubahan (tajdid). Proyek tajdid yang dilaksanakan Muhammadiyah ini telah menyasar pada berbagai aspek kehidupan, baik pendidikan, ekonomi, sosial dan pemberdayaan masyarakat, kesehatan, isu-isu strategis nasional dan internasional dan sebagainya.

Persoalan unifikasi kalender satu di antara sekian banyak isu internasional yang sedang diperjuangkan oleh Muhammadiyah. Semenjak isu unifikasi kalender hijriah ini mencuat, Muhammadiyah kemudian memberikan respon dengan melakukan berbagai kajian melalui forum-forum ilmiah, baik yang diselenggarakan secara umum maupun internal Muhammadiyah saja.

Perjalanan panjang Muhammadiyah dalam mengupayakan terwujudnya Kalender Hijriah Global Terpadu (KHGT) ini dimulai pada tahun 2007, dalam sebuah acara simposius internasional yang bertajuk “The Effort Towards Unifying the Islamic International Calendar”. Pasca simposius tersebut, Muhammadiyah semakin memasifkan proyek penyatuan kalender ini dengan mengadakan sosialisasi kepada masyarakat. Puncaknya, gagasan unifikasi kalender Islam ini didukung secara resmi oleh Muhammadiyah pada perhelatan Muktamar Muhammadiyah ke-47 Tahun 2015 di Makassar.

Baca Juga  Khilafah HTI, Khulafaur Rosyidin dan NKRI Bersyariah

Dalam muktamar tersebut, wacana unifikasi kalender Islam masuk dalam salah satu rekomendasi bagian “Muhammadiyah dan Isu-Isu Strategis Keummatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal.” Dan sejak muktamar inilah, Muhammadiyah benar-benar berkomitmen untuk mewujudkan Kalender Hijriah Global Terpadu (Unifikatif).

***

Bagaikan gayung bersambut, pasca Muktamar Muhammadiyah ke-47 ini, Diyanet Isleri Baskanligi mengadakan muktamar internasional di Turki dengan tajuk “Mu’tamar Tauhid at-Taqim al-Hijry ad-Dauly” atau Muktamar Penyatuan Kalender Hijriah Internasional pada tahun 2016.

Muktamar tersebut dihadiri oleh ratusan negara Muslim dan menghasilkan keputusan penggunaan kalender Hijriah tunggal (uhady). Keputusan ini diambil berdasarkan voting dari seluruh peserta muktamar. Keputusan dalam muktamar ini, benar-benar menjadi “angin segar” bagi Muhammadiyah untuk semakin fokus dalam ‘menggarap’ proyek unifikasi kalender Islam.

Muhammadiyah kemudian merespon hasil Muktamar Turki 2016 tersebut dengan mengadakan seminar dan diskusi untuk merumuskan implementasi konsep kalender Turki tersebut.

***

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta, wacana Kalender Hijriah Global Tunggal masuk pada salah satu poin “Risalah Islam Berkemajuan”. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan yang sangat pesat dalam proyek unifikasi kalender Islam ini. Meninjaklanjuti hasil muktamar ini, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Malang, dengan salah satu tajuk pembahasan ialah tentang implementasi Kalender Hijriah Global Tunggal.

Dalam Rakerpus tersebut, MTT PP Muhammadiyah menyepakati peluncuran dan penggunaan KHGT pada saat Majelis Tarjih dan Tajdid genap berusia 1 Abad. Selain itu, komisi yang membahas persoalan KHGT dalam Rakerpus juga memberikan poin-poin rekomendasi terkait implementasi KHGT.

Salah satu poin rekomendasi yang cukup penting dalam Rakerpus itu adalah memperbanyak dan memasifkan sosialisasi KHGT dengan mengadakan seminar, ceramah, diskusi, maupun pengkajian konsep KHGT. Poin ini kemudian ditindaklanjuti dengan segera oleh MTT PP Muhammadiyah, dan akan diselenggarakan di seluruh wilayah nusantara.

Sampai saat ini, agenda sosialisasi dan seminar nasional KHGT telah terlaksana tiga kali, yaitu Regional Sumatera yang bertempat di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat yang bertempat di Universitas Muhammadiyah Mataram, serta Area Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang bertempat di Universitas Ahmad Dahlan.

Tentu langkah-langkah strategis yang diambil Muhammadiyah dalam mewujudkan KHGT ini bukanlah hal yang mudah. Namun Muhammadiyah memandang bahwa KHGT ini merupakan salah satu hutang peradaban Islam yang harus dibayar segera.

Dan ketika KHGT ini sanggup terwujud di seluruh dunia, maka tentu hal ini menjadi amal jariyah tersendiri bagi Muhammadiyah dan umat Islam seluruhnya. Bahkan tantangan merumuskan KHGT ini sejalan dengan perjuangan sejarah KH Ahmad Dahlan, yaitu pada awalnya mendapat respon negatif dari berbagai kalangan masyarakat, namun seiring berjalannya waktu akan diterima oleh masyarakat.

Editor: Soleh

Ahmad Muchlis
1 posts

About author
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds