Desember akhir tahun lalu adalah momen satu dekade terjadinya peristiwa besar di Timur Tengah. Arab Spring atau al-Tsaurat al-Arabiyah. Yakni, revolusi yang mengubah tatanan masyarakat serta pemerintahan Arab menuju ke arah yang ideal.
Peristiwa ini berawal dari bakar diri Mohammed Bouzaizi, seorang pedagang buah Tunisia, di depan pengadilan Kantor Dewan Regional Sidi Bouzid. Peristiwa ini memantik gelombang demokrasi terbesar yang pernah ada di Timur Tengah.
Selama berbulan-bulan, demonstran menuntut diakhirinya rezim yang telah lama memerintah dan dianggap korup. Demonstrasi-demonstrasi inilalu merembet ke Libya, Mesir, Yaman, dan Suriah. Gerakan ini menimbulkan pergolakan politik yang menyebabkan runtuhnya beberapa rezim. Tujuan revolusi adalah untuk menghadirkan demokrasi dalam sistem pemerintahan negara-negara yang telah lama berada dalam sistem autokrasi. Selama ini, demokrasi dengan Islam kerap dianggap tidak kompatibel satu sama lain, terutama di negara-negara dengan nilai-nilai Islam yang mengakar.
***
Namun setelah satu dekade berlalu, apakah tatanan sosial dan demokrasi Timur Tengah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan? Libya masih terlibat dalam konflik internal yang melibatkan berbagai negara. Suriah berangsur pulih pasca kekalahan telak ISIS pada tahun 2019. Sedangkan Yaman kerap terlibat konflik di perbatasan dengan Arab Saudi.
Nasib Mesir dan Tunisia lebih baik meskipun masih jauh dari cita-cita yang diharapakn saat revolusi. Seperti yang kita ketahui bersama, Timur Tengah memang kerap menjadi wilayah konflik politik yang senantiasa melibatkan pengaruh negara-negara besar. Posisi geopolitik dan geostrategi pada kawasan ini, menjadi sangat strategis sehingga mampu membuat keseimbangan politik dunia pada medio akhir ini.
Khilafah Sebagai Solusi
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, memberikan catatan khusus dalam kitab Konsepsi Politik-nya tentang kondisi Timur Tengah. Ia mengatakan bahwa berkumpulnya empat faktor ini dalam satu masalah, yaitu; Islam, minyak, tempat strategis, dan Israel, cukup menjadikan masalah Timur Tengah menjadi masalah yang paling berbahaya dan paling kompleks.
Paragraf tersebut ditutup dengan kalimat, “masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara khilafah Islam”. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani seperti yang diketahui bersama, menjunjung tinggi model kekhalifahan klasik sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan Islam yang sah. Yang diupayakannya untuk dihidupkan kembali bersama lembaga-lembaga yang menyertainya. Bahkan untuk mencapai tujuan ini, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyusun struktur yang merinci sistem politik Islam bagi sistem khilafah.
Sosialisme Arab Sebagai Solusi
Selain Syekh Taqiyudin an-Nabhani yang berhaluan teologis, ada pula Michael Aflaq yang mempunyai pandangan tentang Sosialisme Arab sebagai solusi bagi permasalahan dunia Timur Tengah. iI mendirikan gerakan Ba’ath yang bertujuan untuk me-rennesains-kan Arab. Gerakan Ba’ath sendiri kemudian berubah menjadi partai besar dengan slogan “Kesatuan, Kebebasan, dan Sosialisme” dan bertujuan menyatukan bangsa Arab dalam satu negara.
Penekanan terakhir, ‘sosialisme’ bukan arti sosialisme seperti yang diartikan di dunia Barat. Tetapi, lebih kepada bentuk khas dari sosialisme Arab. Aflaq mencanangkan kata sosialisme Arab untuk varian sosialismenya.
Menurut Aflaq, dalam bentuk aslinya di dunia Arab, sosialisme mula-mula datang pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Menurut Aflaq, satu-satunya cara untuk “memurnikan” negara-negara Arab tersebut adalah melalui gerakan revolusioner. Meskipun pandangan Aflaq dipengaruhi oleh Marxisme, ia sendiri cukup tajam mengkritik Marx. Aflaq menentang pandangan Marx bahwa materialisme dialektika adalah satu-satunya kebenaran. Akan tetapi, ia meyakini bahwa pengaruh kondisi ekonomi material dalam hidup adalah salah satu penemuan terbesar dalam sejarah modern.
Bagaimana Cara Menghentikan Konflik di Timur Tengah ?
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies Departemen Hubungan Internasional UGM, Dr Siti Mutiah Setiawati, mengatakan jika sebenarnya secara tradisional bangsa Arab sudah mewarasi erat persaudaran dan sikap ashabiyah dalam berkabilah. Apalagi dengan adanya Islam yang mengajarkan tentang semangat ukhwah Islamiyah, sejatinya menjadi modal persatuan paling penting.
Namun keterlibatan berbagai kekuatan asing turut mempengaruhi jalanya dinamika politik Timur Tengah. Lebih lanjut lagi, Drs. Nur Munir, Direktur Islamic and Middle East Research Center UI dalam kesempatan yang sama mengatakan, bahwa perdamaian di kawasan Timur Tengah terletak pada Isreal dan Palestina, sumber perdamaian dan sumber konflik ada dikedua negara tersebut, implikasinya, konflik ini sulit diselesaikan kecuali jika terbangun kembali semangat persatuan Arab atau timbulnya kesadaran Israel dan Amerika Serikat untuk menghentikan langkah-langkah konspirasinya demi kehidupan yang damai dan sejahtera di Timur Tengah.
Editor: Yahya FR