Perspektif

Kirab Kiai Tunggul Wulung (1): Cara Kasultanan Ngayogyakarta Menghadapi Wabah Penyakit

3 Mins read

Sejarahwan Ricklefs (2013) dalam bukunya, Mengislamkan Jawa, mencatat pada tahun 1876, 1892, dan 1918 ketika terjadi wabah penyakit melanda Kota Yogyakarta, maka pihak Kasultanan Ngayogyakarta mengadakan upacara kirab mengarak bendera pusaka Kraton yang bernama Kanjeng Kiai Tunggul Wulung di seputaran kota Yogyakarta (Baca: Keliling Beteng Kraton).

Demikian juga ketika pada dasa warsa 1930-an terjadi wabah penyakit yang menimpa seputaran Kotagede, bendera pusaka ini juga dikeluarkan untuk diarak keliling Beteng Kraton. Upacara kirab bendera Kiai Tunggul Wulung itu terjadi pada tanggal malam 21 hingga 22 Januari 1932 dan bertepatan dengan Malam Jumat Kliwon tanggal 13 bulan Ramadhan 1350 H atau Sasi Pasa Tahun Je 1862.

Dalam sebuah acara pada tahun 2015, Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah menyampaikan bahwa bendera Kanjeng Kiai Tunggul Wulung adalah warisan Kasultanan Demak pemberian dari Khalifah Utsmani yang bahannya dari potongan Kiswah (Kain penutup Ka’bah).

Sementara menurut Dr. Damardjati Supadjar (2011) dalam bukunya, Mawas Diri, potongan Kiswah itu adalah hibah dari Kasultanan Arabiah itu dipusakai dan diputrani (dibuat tiruannya) oleh Sinuwun HB I menjadi Kiai Tunggul Wulung. Dalam pemahaman simbolik, saya cenderung sepakat dengan pendapat Dr. Damardjati Supadjar.

Kiai Tunggul Wulung

Sekitar tahun 2016 dalam sebuah kesempatan saya pernah bertanya kepada KRT Jatiningrat, seputar pusaka Kraton Kanjeng Kiai Tunggul Wulung tersebut. Menurut pengageng Kraton Yogyakarta yang sering dipanggil Rama Tirun itu, Kiai Tunggul Wulung adalah sebuah panji, yaitu semacam bendera komando.

Dalam upacara menghadapi wabah, pusaka Tunggul Wulung tidak hanya diarak sendiri. Bersama Kiai Tunggul Wulung juga diarak Kiai Pare Anom. Rama Tirun menyebutkan adanya catatan di Kraton mengenai kirab dua panji tersebut pada tahun 1932.

Baca Juga  Di Balik Kunjungan Lima Aktivis NU ke Israel

Panji Kiai Tunggul Wulung berwarna dasar wulung (biru tua kehitam-hitaman) dan Panji Pare Anom berwarna dasar hijau. Dalam panji Tunggul Wulung ada tulisan lafadh dua kalimat syahadat, surah al-Kautsar, Asma ul-Husna, dan ornamen pedang Zulfikar milik Khalifah Ali bin Abu Thalib.

Sedang dalam Panji Pare Anom yang dominan adalah tulisan kalimah tauhid (Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rasulullaah). Panji Pare Anom ini, konon, baru dibuat pada masa Sultan Hamengku Buwono V.

Panji Kiai Tunggul Wulung dan Pare Anom tatkala diarak masing-masing dipasang pada sebuah tombak. Kiai Tunggul Wulung dipasang pada tombak Kiai Slamet dan Kiai Pare Anom dipasang pada tombak Kiai Santri. Dua panji itu dalam upacara dibawa oleh abdi dalem setingkat bupati yang sudah siap mati syahid terkena wabah setelah menjalani upacara. Sehingga sebelum upacara, abdi dalem tersebut sudah mengumpulkan keluarga untuk pamit.

Kirab Panji Tunggul Wulung

Pelaksanaan mengarak Panji Tunggul Wulung dilakukan pada malam Jumat Kliwon yang ditetapkan oleh Sultan. Seluruh abdi dalem yang bertugas sudah siap menjelang Maghrib di Masjid Panepen Kraton. Sebelumnya, mereka telah menjalani mandi besar seperti halnya kalau akan menjalani shalat Jumat. Sesudah shalat Maghrib para abdi dalem sebagian melanjutkan dzikir sampai Isya dan sebagian menyiapan perangkat upacara.

Perangkat upacara yang disiapkan antara lain adalah sesajen (sajian/hidangan) yang akan digunakan untuk kenduri beberapa abdi dalem dan pejabat yang akan berdzikir di Masjid Gedhe selama upacara. Juga disiapkan sesajen yang ikut diarak dan akan dimakan bersama oleh seluruh abdi dalem yang ikut keliling Bbeteng. Juga disiapkan Kebo Bule (Kerbau Albino) yang akan disembelih setelah Jumatan di tengah Alun-alun.

Baca Juga  Ini Daftar Hadist Shahih dan Dha’if tentang Wabah Covid-19

Rombongan pembawa Panji Tunggul Wulung dan Pare Anom mulai menjalani upacara kirab mengarak keliling Beteng setelah ada dhawuh dalem (perintah Sultan). Tidak semua abdi dalem ikut keliling Beteng Kraton, sebagian melaksanakan Kenduri di Masjid Gedhe, berdzikir, dan berdoa memohon kepada Allah SWT agar wabah penyakit bisa segera sirna. Demikian juga Sultan dan keluarga, semalam suntuk ikut berdzikir dan berdoa di Kraton.

Para pengarak pun selama berjalan juga berdzikir dalam hati, membaca tahlil. Di setiap persimpangan yang dilalui salah satu abdi dalem mengumandangkan adzan untuk mengingatkan agar warga Kasultanan tetap menjaga shalat di manapun berada. Selama perjalanan juga dibakar kemenyan yang merupakan bahan wewangian tradisional untuk menyebarkan citra keharuman dari misi yang diemban dengan kirab pusaka itu. Hingga kemudian sesampai rombongan di pagelaran, maka sesajen dimakan bersama.

Diakhiri Penyembelihan Kebo Bule

Setelah selesai upacara mengarak panji Tunggul Wulung, maka pada siang harinya sehabis shalat jumat dilakukan penyembelihan Kebo Bule (Kerbau Albino) betina. Penyembelihan dilakukan di tengah Alun-alun Utara sehingga bisa disaksikan oleh ribuan masyarakat.

Setelah disembelih, daging Kebo Bule itu dibakar dan dibagi-bagikan sebagai sedekah dari Sultan kepada masyarakat umum (yang dalam bahasa sekarang bisa disebut sebagai warga terdampak wabah).

Untuk membakar daging sudah disiapkan besi sepanjang kurang lebih dua meter dan untuk membaginya digunakan pisau-pisau baja yang tajam. Dalam upacara penyembilahan itu terdapat perlengkapan upacara berupa tempurung kulit kura-kura, tempurung penyu, dan sepasaang Mimi Mintuno, yang semuanya memiliki makna. Semua makna bisa kajarwa (diterangkan maksudnya) dengan memahami semiotika budaya Jawa. (Bersambung)

Editor: Arif

Avatar
2 posts

About author
Seorang Gerilyawan Literasi
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds