Falsafah

Kisah Cinta Laila Majnun Perspektif Sufistik

4 Mins read

Siapa yang tak kenal kisah cinta yang satu ini. Hampir masyarakat di dunia mengenalnya dengan nama Laila Majnun yang berarti kegilaan dalam cinta. Naskah Laila Majnun merupakan terjemahan dari laylio Majnun karya Nizami seorang penyair sekaligus sufi dari Persia.

Kisah Laila Majnun adalah kisah seorang pemuda bernama Qais dan seorang wanita yang bernama Laila gadis terpandang dan terhormat serta kaya. Kisah cinta mereka berawal dari pertemuan Qais dan Laila saat berada di sekolah yang sama. Sayangnya Qais adalah pemuda biasa saja tanpa mempunyai status atau kedudukan yang tinggi sehingga orang tua Laila tidak menyetujui hubungan mereka.

Meski begitu saking cintanya Qais dengan Laila, sepanjang jalan ia membuat syair yang romantis dan indah untuk Laila. Ia tidak memedulikan pandangan orang terhadapnya karena baginya nafasnya dan raganya adalah Laila. Mendengar Laila dijodohkan orang tuanya Qais memilih menjadi pengembara , meninggalkan kabilahnya dan mengasingkan diri dari kehidupan manusia.

Lalu lalang orang yang melihat kondisi Qais yang selalu bersyair memuja Laila penuh dengan cinta dan senang menyendiri, membuat dirinya hanya mengingat nama Laila saja sehingga orang-orang menjulukinya menjadi Majnun yang berarti gila. Seorang pemuda gila karena cinta. Bagaimana tidak, bahkan Qais sangat mencintai apa saja yang menyangkut Laila. Ia mencintai tembok rumahnya bahkan ia mencintai debu yang melekat di dalam sandal Laila.

Ketika ia rindu kepada Laila Qais hanya berbicara kepada angin untuk menyampaikan rindunya yang mendalam dan ia hanya mampu menatap rumah Laila. Baginya menatap pagar dan tembok rumahnya sudah cukup untuk mengobati kerinduannya karena semua hal yang menyangkut Laila lebih dicintainya daripada dunia beserta isinya.

Baca Juga  Keadilan Sofistik Thrasymachus

Meski raga mereka tidak pernah bersatu tetapi cinta mereka tetap membara sepanjang hayat. Qais hanya menyendiri dan mengembara serta tinggal di hutan bersama tumbuhan dan hewan. Penampilannya semakin berubah seperti manusia yang meninggalkan segalanya dan badannya semakin kurus. Ia terus bersyair memuja Laila hingga akhir hayatnya. Ia pun sempat memberi kutipan surat kepada Laila yang diawali dengan doa.

“Duhai Tuhan pengetahuan-Mu meliputi segala sesuatu: kau mengetahui apa yang tampak dan tersembunyi karena kau telah menciptakan bebatuan maupun intan berharga yang terjebak didalamnya. Milik Mu lah apa yang ada dilangit beserta bintang-bintangnya. Kau menggabungkan malam ke dalam siang.”

“Rahasia dan misteri yang tersembunyi di dalam hati manusia terbuka pada Mu karena tidak ada satu pun yang terlepas dari penglihatan-Mu. Kau menyebabkan getah-getah tumbuhan mengalir pada hari-hari kebahagiaan di musim semi; kau menyebabkan darah mengalir melalui nadi kami hingga hari kematian kami dan kau adalah Dia yang mendengar dari mereka yang membutuhkan ketika mereka berpaling kepadaMu.”

Kemudian berlanjut kepada Laila;

“Aku menulis surat ini sebagai orang yang telah meninggalkan semua ikatan dengan dunia ini, sebagai orang yang terletak ditanganmu, sebagai orang yang darahnya adalah milikmu untuk kau jual semurah yang kau kehendaki.

Duhai belahan jiwa dalam mencintaimu usiaku berkurang bibirku memucat dan mataku ter butakan oleh air mata. Kau tidak membayangkan se-gila apa, se-majnun apa aku sekarang. Demi engkau tidak hanya aku telah kehilangan dunia-aku pun telah kehilangan diriku. Tapi jalan cinta sejati hanya ditempuh untuk mereka yang siap melupakan diri mereka; kalu tidak cinta mereka tidak berarti apa-apa.

Demikianlah kau menuntunku dengan menunjukkan kesetiaan sejati dari cintamu bahkan jika kesetiaan itu harus tetap tersembunyi kan dariku selamanya. Maka Brlah cintaku menjadi  pelindung rahasia-rahasiaku. Biarlah kesengsaraan yang dibawa oleh cinta membelai jiwaku. Apalah artinya bahwa penyakitku ini tidak memiliki penyembuh? Selama kau sehat penderitaanku tidaklah penting”.

Baca Juga  Tafsir Sufistik Ibnu 'Arabi: Menyingkap yang Tak Kasat Mata

Melihat kisah cinta mereka bukanlah kisah cinta biasa saja melainkan kisah cinta batiniah yang direpresentasikan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Majnun merepresentasikan simbol yang terkasih sedangkan Laila merepresentasikan simbol pencinta. Dalam tradisi sufi hubungan pencinta dan kekasih hanya dapat terhubung melalui mahabbah ( cinta). Cinta mereka sangatlah dalam sehingga mampu menjerumuskan ke dalam sumur kegelapan paling dalam.

Namun kegelapan dan penderitaan yang dialami keduanya tidak sebanding apa-apa bahkan serasa nikmat setiap harinya. Bila diibarahkan bisa menjadikan pelajaran bahwa seorang hamba yang mencintai Tuhannya, tidak sedikit pun ia terpengaruh oleh penderitaan dan tidak pula mengurangi rasa cinta itu.

Ia rela mengarungi lautan derita demi terkasihnya. Meski ujian dan cobaan selalu menerpa bagi para pencinta, nyatanya mereka tetap kokoh mereguk manisnya iman karena kecintaannya kepada Tuhan. Kisah Qais dan Laila juga menceritakan bahwa jasad mereka tidak bersatu.

Satu-satunya jalan yang menyatukan mereka adalah jalan ruhaniah dimana hanya dapat terjadi setelah kematian menjemputnya. Ini menjadi Ibarah atau pelajaran bahwa Tuhan dapat dicintai oleh semua umat manusia namun Dia tidak dapat dimiliki karena sifatnya yang gaib. Satu-satunya jalan yang dapat menghubungkan para pencinta kepada Tuhannya adalah jalan ruhaniah atau setelah kematian. Seorang hamba yang mencintai Tuhannya akan sangat merindukan kematian demi untuk bertemu kekasihnya. 

Mereka tidak peduli lagi tentang dunia dan seisinya karena yang ia rindukan hanyalah kematian agar bisa bersatu dengan -Nya. Mengetahui di dalam isi surat Qais untuk Laila bahwa dirinya telah meninggalkan semua ikatan yang menyangkut dunia beserta isinya. Dia lebih memilih menyerahkan dirinya kepada Laila dan menjelaskan se”Majnun” apa cintanya kepada Laila. Dalam hal tersebut bila diibarahkan bagaimana seorang pencinta meninggalkan segalanya demi yang dicintainya.

Baca Juga  Pembelaan Muslim Terhadap Filsafat

Seorang hamba yang menjadi pencinta Tuhannya, rela meninggalkan segalanya bahkan seluruh dunia beserta isinya. Yang dipunyainya hanyalah cinta dan iman. Seakan akan ia menjadi hina dan hanya berserah diri kepada Tuhannya. Entah bahagia atau derita mereka tidak memilih apa-apa hanya cinta yang ingin tersampaikan kepada -Nya. Mereka tidak lagi memikirkan surga atau neraka karena nikmat yang paling besar adalah ketika dapat bertemu dan melihat Tuhannya. 

sungguh cinta seperti itu sangat sulit ditanggung oleh kebanyakan manusia. Cinta yang selalu bersahabat dengan lautan duka, cinta yang mampu meninggalkan segalanya, bahkan cinta yang membuat diri mereka meleburkan diri demi kekasihnya, cinta tiada mengenal identitas dan cinta yang tidak bisa diukur seberapa besarnya.

Penderitaan bagi para pencinta tidak bisa dikatakan ‘ tragis’ tidak bisa diinterpretasikan dari sudut pandang moralitas konvensional. Penderitaan para pencinta meruntas pada belenggu sifat kemanusiaan sehingga memampukan mereka untuk bebas dari ‘diri’ yang terikat dari dunia fana.

Mereka tidak lagi memandang dunia beserta isinya karena di dalam hatinya hanya ada cinta dan cinta untuk kekasihnya. Sahabat yang dirahmati oleh Allah, itulah kisah cinta dua insan manusia yang dapat dijadikan Ibarah atau pelajaran dalam menapaki jalan Ketuhanan. Semoga kita termasuk manusia yang selalu berada dalam rahmat dan cinta-Nya.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

8 posts

About author
Alumnus Universitas Islam Lamongan. Gadis penyuka sastra dan petrichor. Selain itu ia gampang memiliki rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Hal yang menjadi favoritnya adalah suasana setelah hujan dan memandang cakrawala langit biru yang luas.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds