Para cerdik cendekia mengatakan bahwa satu teladan lebih baik daripada seribu nasehat. Sebagian dari kita lebih senang mendengar kisah-kisah inspiratif daripada mendapatkan nasehat yang terkadang membosankan. Pelajaran-pelajaran berharga justru sering kita dapatkan dari kisah sederhana namun penuh makna. Ada satu kisah menarik yang perlu kita simak bersama.
***
Mishbah duduk sendirian di sudut taman kecil. Di taman itu terdapat beberapa meja yang letaknya secara sengaja dibuat tak beraturan. Jalan kecil di tengah taman berkelok-kelok semau hati si pembuat taman. Hari mulai gelap, gerimis perlahan turun. Sayangnya, gerimis tersebut hanya bisa ia rasakan, tanpa ia lihat kehadirannya.
Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar seorang kakek melafalkan adzan. Meskipun suaranya terdengar udzur, namun sang muadzin sangat percaya diri. Ia mempraktekkan nasehat bahwa manusia hanya boleh mencari ridha Allah, bukan ridha manusia.
Nasehat klasik tersebut juga dipraktikkan oleh Mishbah. Sebagai anak muda, ia malu dengan semangat sang kakek yang datang sejak awal bahkan dengan semangat mengumandangkan adzan. Namun, ia tetap tidak beranjak dari kursi di sudut taman. Ia menunggu seseorang.
Tiba-tiba, ada tangan seorang perempuan yang menarik lengan bajunya. Perempuan itu ternyata tahu kebutuhan khusus Mishbah. Mishbah adalah seorang tuna netra. Ia membutuhkan orang lain untuk menuntunnya ke tempat wudhu dan ke masjid.
Perempuan itu menawarkan bantuan tanpa menyentuh tangannya, melainkan hanya dengan menarik bajunya. Hal tersebut bukan bermaksud tidak sopan, namun karena ia tau bahwa Mishbah seorang muslim yang taat, sehingga tidak ingin bersentuhan kulit dengan lawan jenis, begitu penjelasan perempuan itu.
Menariknya, perempuan yang peka memberikan bantuan tanpa diminta tersebut adalah seorang pendeta Kristen Protestan. Namanya adalah Pdt. Batsyeba Dias Prasentina. Ia menjadi pendeta di Gereja Kristen Jawa Karangasem, Surakarta. Kisah tersebut terjadi di PPRBM (Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Sumberdaya Masyarakat) Solo pada pertengahan September 2021. Ketika Imparsial, sebuah lembaga yang bergerak di bidang HAM menyelenggarakan kegiatan Youth Interfaith Camp (YIC).
Toleransi Menurut Pendeta Batsyeba
Pdt. Batsyeba bercerita bahwa dalam membantu orang lain, setiap orang tidak perlu melihat latar belakang suku, ras, hingga agama. Memberikan bantuan adalah nilai kebaikan universal yang bisa dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, kepada semua orang tanpa terkecuali.
Menurutnya, toleransi adalah menghargai perbedaan yang ada. Ia menyadari bahwa di mana-mana akan terjadi perbedaan. Maka, jalan paling bijak untuk mengatasi perbedaan tersebut adalah dengan saling menghargai.
Ia berharap masyarakat Indonesia bisa bersikap lebih toleran terhadap umat beragama lain dan juga terhadap segenap perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
“Indonesia ini kan negara Bhineka Tunggal Ika. Aku berharap Indonesia bisa tetap aman, bisa tetap nyaman, dan semakin damai,” ujar Batsyeba.
Kini, selain menjadi seorang pendeta, ia juga menjadi pegiat Bengawan Muda, sebuah komunitas yang lahir dari Imparsial, konsen pada isu-isu toleransi, perdamaian, dan lintas agama.
Reporter: Yusuf
Konten ini hasil kerja sama IBTimes dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.