Michael Hart memasukkan nama Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia sepanjang peradaban. Dalam beberapa hadis, dijelaskan kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah bahwa ketika kelahiran beliau, keluar darinya cahaya yang terlihat sampai Syam (Lebanon, Suriah, Palestina, dan Yordania). Nabi mengalami satu peristiwa yang tidak dialami orang lain. Yaitu hati Nabi yang pernah dicuci oleh Jibril. ia menjadi role model bagi seluruh umat Islam tanpa terkecuali. Mengingat salah satu rukun iman dalam Islam adalah mengimani kenabian Muhammad SAW. Maka, tidak boleh tidak seorang muslim harus mengakui kenabian Muhammad SAW sebagai salah satu syarat menjadi muslim.
Menyikapi Perbedaan
Cara setiap muslim untuk menyikapi Nabi Muhammad SAW pun berbeda-beda. Hal ini merupakan hal yang biasa, mengingat perbedaan sebenarnya merupakan fitrah manusia. Imam Syafii mengatakan man istahsana faqod syara’a (barangsiapa yang melakukan istihsan, maka ia telah membuat syariat). Membuat syariat artinya mengambil hak Allah dalam membuat syariat. Atau ia telah kafir karena menyamakan diri dengan Allah.
Sedangkan Imam Abu Hanifah adalah ulama yang banyak sekali menggunakan istihsan. Ia hidup sebelum Imam Syafii hidup. Namun, Imam Syafi’i adalah orang yang sangat menghormati Imam Abu Hanifah. Terbukti ketika ia berada di lingkungan makan Imam Abu Hanifah, ia mengimami salat subuh tanpa qunut, sebagai penghormatan terhadap Imam Abu Hanifah yang tidak mewajibkan qunut. Selain itu, Imam Abu Hanifah juga menghalalkan minuman keras yang tidak terbuat dari anggur dalam kadar tidak memabukkan.
Perbedaan adalah keniscayaan. Tidak lebih tidak kurang. Dalam sejarah kekayaan peradaban Islam, Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah dapat menjadi contoh nyata bagaimana seorang ulama menghormati ulama yang lain, sekalipun pandangannya sangat berbeda. Bahkan bertolak belakang.
Islam memiliki sejarah toleransi dan perbedaan yang sangat baik. Pun dengan Indonesia. Indonesia pernah memiliki contoh perbedaan yang didialogkan dengan sangat baik. Persinggungan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dapat diselesaikan dengan kepala dingin. Padahal, kepentingan yang diperebutkan adalah dasar negara, suatu hal yang sangat fundamental dalam kehidupan sosial.
Sebelum perdebatan itu terjadi, sudah diawali dengan saling kritik-mengkritik antar tokoh bangsa, melalui tulisan yang diterbitkan di media yang ada pada waktu itu. Nasionalis diwakili oleh Soekarno. Pihak yang menginginkan berdirinya negara Islam diwakili oleh M Natsir. Perdebatan antar dua tokoh besar ini adalah perdebatan yang sehat, berkelas, dan berkemajuan.
Teladan Nabi dan Sahabat
Para sahabat juga pernah berbeda pendapat dalam menafsirkan perintah Nabi. Ketika Nabi meminta para sahabat agar segera pergi ke perkampungan Quraizah, Nabi meminta kepada mereka untuk tidak salat Ashar kecuali di perkampungan Quraizah. Ternyata, ketika masuk waktu salat ashar, mereka masih dalam perjalanan. Para sahabat ini pun bingung. Apakah mereka akan salat di awal waktu sebagaimana perintah Nabi pada umumnya, atau menunda salat Ashar hingga sampai di perkampungan Quraizah, yang berarti mengakhirkan salat.
Singkat cerita, para sahabat ini pun terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama salat di tengah perjalanan begitu masuk waktu ashar. Kelompok kedua salat Ashar di perkampungan Quraizah. Apa pendapat Nabi ketika mendengar hal ini? Nabi hanya tersenyum. Iya, tersenyum.
Pasca hijrah, ketika Nabi sudah sampai di Madinah, ada 2 kelompok umat Islam waktu itu. Yaitu Anshor, atau orang-orang Madinah yang sudah mapan dari segi ekonomi dan finansial, dan kelompok Muhajirin. Muhajirin adalah orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Muhajirin ini miskin papa, karena harta mereka banyak yang ditinggal di Makkah. Selain itu, status sosial mereka pun rendah, karena merupakan orang pendatang.
Nabi menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mempersaudarakan setiap Muhajirin dengan Anshor. Sehingga, kohesi sosial mudah terbentuk dengan sangat kuat. Banyak orang-orang Anshor yang memberikan hartanya untuk Muhajirin yang dipersaudarakan dengannya. Sehingga orang-orang muhajirin ini tidak menjadi warga kelas 2 dalam status sosial masyarakat Madinah yang baru saja lahir.
Hari ini, kita seakan buta terhadap teladan-teladan di atas. Betapa Nabi begitu toleran dengan orang Badui yang kencing di masjid. Betapa ia toleran terhadap orang yang menghinanya di Thaif. Bahkan sampai dilempari dengan kotoran hewan. Bahwa ia adalah orang pertama yang menjenguk orang yang setiap hari menghinanya. Bahwa ia selalu memberi makan orang tua Yahudi yang buta, yang setiap hari juga menghinanya.
Bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Bahwa ia diturunkan dengan misi li utammima makarim al-akhlak. Untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kita seolah lupa bagaimana orang Islam seharusnya menyikapi perbedaan. Dan kita lupa dengan teladan-teladannya yang seharusnya kita teladani.
Apakah Kita Menghina Nabi?
Semua orang Islam kiranya meneladani & menghormati Nabi. Namun bagaimana cara meneladani, itu sangat variatif. Ada yang menghormatinya dengan cara melantunkan solawat secara bersama-sama di tengah lapang. Ada yang meneladaninya dengan cara mengambil spirit kemajuannya dalam bidang pendidikan. Ada yang meneladaninya dengan cara memperbaiki akhlak, tanpa harus teriak-teriak paling mencintai Nabi. Ada juga yang secara terbuka mengaku cinta kepadanya dan menjadi pembelanya yang paling utama.
Dalam meyakini cerita Nabi, ternyata juga variatif. Ada yang meyakini bahwa seluruh aspek kehidupannya adalah sunah, termasuk cara berpakaian, cara makan, cara tidur, dan aspek manusiawi lainnya. Ada yang mengambil hanya hal-hal yang berhubungan dengan agama seperti akhlak, ibadah, dan lain-lain, dan menganggap aspek manusiawi Nabi adalah bukan sunah, namun merupakan kehidupannya sebagai manusia biasa.
Ada yang mengatakan bahwa seluruh fisik Nabi adalah sakral, sampai-sampai rambut dan giginya dimuseumkan. Ada yang meyakini tidak perlu sampai seperti itu, cukup meneladani dalam aspek kenabian, bukan fisik. Ada yang mengatakan bahwa seluruh kehidupan Nabi adalah sakral dan harus diteladani, ada yang hanya mengambil aspek-aspek substansial dalam agama.
Ada yang lebih condong ke aspek pembelaan Nabi terhadap mustadh’afin, kesetaraan hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Ada yang condong ke aspek pernikahan Nabi yang dengan gencar mengampanyekan poligami. Ada yang condong ke aspek akhlak Nabi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Saya sangat yakin, bahwa Nabi akan tersenyum melihat semua perbedaan umatnya ini.
Justru, ketika siapa pun di antara umat Islam yang memprovokasi, yang memecah belah barisan, yang berkonflik antar umat, mereka lah yang seharusnya kembali mengingat teladan Nabi dengan hati yang jujur, ikhlas, dan bersih. Kita harus bersama-sama dengan jujur melihat ke dalam diri kita. Sudahkah kita membela Nabi dengan cara meneladaninya dengan benar. Ataukah justru kita mengaku membelanya, tapi membuatnya marah dengan perpecahan yang kita ciptakan? Wallahu a’lam.