Di tengah arus robohnya tatanan moral bangsa, kita rindu keteladanan dan keadaban dari para pemimpin dalam kehidupan bernegara saat ini. Dalam dua tulisan, “Hukum, Alat Sandera Politik,” (Kompas, 04/07/2024), dan “Usaha Menemukan Kembali Indonesia”, (Kompas, 02/11/2023), Sukidi mengangkat isu krusial mengenai keteladanan dan keadaban yang semakin memudar di tengah masyarakat.
Indonesia Krisis Keteladanan
Sukidi mengungkapkan bahwa salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa kita saat ini adalah krisis keteladanan. Banyak pemimpin, baik di ranah politik, sosial, maupun ekonomi, yang seharusnya menjadi panutan, justru terjebak dalam praktik-praktik yang tidak terpuji. Keteladanan pemimpin yang seharusnya menjadi cermin dan panutan bagi masyarakat luas kini mulai tergerus melalui kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan.
Buya Syafi’i Ma’arif, dalam bukunya Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), menyatakan bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menurut Bung Hatta merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip Spriritual dan Etik ini memberikan bimbingan kepada semua untuk kebaikan pemimpin, rakyat dan bangsa Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktek. Dengan berpegang teguh kepada filsafat kemanusiaan ini, pemerintah negara Indonesia, kata Bung Hatta, jangan sampai menyimpang dari jalan lurus bagi keselamatan negara dan Masyarakat.
Di luar negeri, intelektual publik seperti John C. Maxwell, seorang penulis dan pembicara Amerika yang terkenal dengan karyanya dalam bidang kepemimpinan, juga menekankan pentingnya keteladanan. Dalam bukunya The 21 Irrefutable Laws of Leadership (1998), Maxwell menyatakan bahwa “pemimpin sejati harus memimpin dengan memberi contoh yang baik; kepatuhan diri terhadap tanggung jawab adalah keharusan”. Keteladanan bukan sekadar tampilan permukaan dengan citra yang baik, melainkan harus terwujud dalam tindakan yang konsisten. Lebih utamanya memiliki integritas yang selalu mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Sayangnya, banyak pemimpin yang abai terhadap tanggung jawab moral ini.
Keadaban Bangsa Tak Dapat Dipisahkan dari Keteladanan Para Pemimpinnya
Keadaban bangsa tidak dapat dipisahkan dari keteladanan para pemimpinnya. Ketika para pemimpin gagal menunjukkan sikap yang penuh keteladanan dan keadaban, masyarakat cenderung mengikuti praktik yang menyimpang. Sukidi mengingatkan kita bahwa keadaban adalah fondasi utama dari sebuah masyarakat yang harmonis dan berkeadilan. Ketika keteladanan hilang, keadaban pun ikut tergerus. Dalam konteks berbangsa, keadaban ini seharusnya tercermin dalam kebijakan yang adil, pelayanan publik yang tulus, dan sikap tegak menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sekitar setengah abad yang lalu, Shakespeare dengan cerdik mengomentari zamannya sendiri melalui kisah-kisah tentang tiran dari masa lalu. Pemikiran-pemikiran Shakespeare kini relevan kembali, seolah-olah berbicara dari masa lalu untuk menyoroti politik kelam Republik ini. Menurut Shakespeare, seorang tiran tidak peduli pada hukum; yang ia bicarakan hanyalah kemenangan.
Fenomena pemimpin bangsa Indonesia hari ini menunjukkan adanya krisis dalam keteladanan dan keadaban. Banyak pemimpin yang terlibat dalam kasus korupsi, nepotisme, dan skandal moral. Misalnya, beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi yang seharusnya menjadi panutan dalam penegakan hukum. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam di kalangan masyarakat dan menggerus kepercayaan publik terhadap pemimpin bangsa.
Robert Klitgaard, seorang ahli dalam masalah korupsi dan tata kelola pemerintahan, dalam bukunya Controlling Corruption (1988) menyatakan bahwa nepotisme adalah salah satu bentuk korupsi yang paling merusak karena merusak kepercayaan publik dan menurunkan standar moral dalam pemerintahan. Nepotisme, menurut Klitgaard, adalah bukti dari kurangnya integritas di kalangan pemimpin, yang pada akhirnya menghancurkan keteladanan yang seharusnya ditunjukkan oleh pemimpin kepada masyarakat.
Mengatasi Krisis Keteladanan dan Keadaban
Dalam mengatasi krisis keteladanan dan keadaban, kita perlu melakukan refleksi mendalam dan bertindak nyata. Ini menekankan pentingnya pendidikan karakter sejak dini sebagai salah satu solusi jangka panjang. Pendidikan yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter yang kuat, yang dapat melahirkan generasi yang berintegritas dan beradab.
Selain itu, masyarakat perlu lebih kritis dan aktif dalam menuntut keteladanan dari para pemimpin. Media massa dan lembaga pengawas memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengkritisi setiap tindakan pemimpin yang menyimpang. Tanpa kontrol sosial yang kuat, keteladanan dan keadaban akan sulit diwujudkan.
Mari kita tidak hanya mengkritik tetapi juga mengambil bagian dalam membangun kembali keteladanan dan keadaban bangsa. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, komunitas, hingga tingkat nasional. Dengan menumbuhkan kembali nilai-nilai keteladanan dan keadaban, kita dapat mewujudkan Indonesia yang lebih baik, bermartabat, dan berkeadilan.
Editor: Soleh