Perspektif

Kitab Kuning: Rujukan Keilmuan Islam di Pesantren

3 Mins read

Kajian keislaman tidak bisa dipungkiri ditampilkan melalui literatur. Kebanyakan literatur tersebut berasal dari produk klasik. Sehingga, muncul sebuah istilah kitab klasik atau di dunia pesantren dikenal dengan istilah kitab kuning. Entitas kitab-kitab tersebut memiliki historis yang cukup panjang, ratusan hingga mungkin ribuan tahun. Meskipun waktu historisnya lama, kajian keislaman berbasis kitab klasik telah menjadi tradisi keilmuan.

Eksistensinya disebut dalam regulasi pesantren di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren telah didefinisikan bahwa kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren. Eksistensi kitab ini seolah menjadi menguat ketika disebutkan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Dalam sudut pandang kajian kepesantrenan, Martin van Bruinessen (1990) dalam Kitab kuning; Books in Arabic script used in the Pesantren Milieu, menyebutkan bahwa dalam pendidikan Islam di Indonesia, kitab kuning mengacu pada seperangkat teks tradisional Islam yang digunakan dalam kurikulum pendidikan Islam, terutama di madrasah dan pesantren. Cakupan kitab kuning meluas dari ushul fiqh, akidah, akhlak, tasawuf, nahwu, sharaf, tajwid, studi hadis, tafsir, studi Al-Qur’an hingga ilmu-ilmu sosial. Kitab kuning juga dikenal dengan sebutan kitab gundul karena isinya yang berbahasa Arab tidak menggunakan tanda baca (harakat), tidak seperti Al Qur’an.

Melirik Kembali Sejarah Kitab Kuning

Sebagian besar manuskrip keilmuan Islam yang diproduksi setelah Kekhalifahan Rasyidin ditulis dalam bahasa Arab tanpa menggunakan harakat secara umum, tidak seperti Al Qur’an. Orang-orang yang menguasai aturan tata bahasa Arab, mereka tidak diharuskan menggunakan harakat dalam bacaan mereka. Di Indonesia, kata Geertz (1989) dalam The Religion of Java mengemukakan bahwa teks-teks keagamaan yang dibaca oleh orang-orang ini kemudian secara khusus disebut sebagai kitab gundul untuk membedakannya dengan kitab yang ditulis dengan alat bantu diakritik.

Baca Juga  Muhammadiyah Kehilangan Maestro Dakwah, Drs. KH. Muchtar Adam

Kitab gundul kemudian disebut sebagai kitab kuning, karena sebagian besar kitab-kitab tersebut diterbitkan di atas kertas berwarna kuning. Hal ini dikarenakan kertas kuning dianggap lebih nyaman dan mudah dibaca dalam kondisi remang-remang. Ketika penerangan masih terbatas di masa lalu, terutama di desa-desa, para santri harus terbiasa belajar di malam hari dengan penerangan yang minim, dan kitab-kitab yang terbuat dari kertas kuning dapat mengurangi tekanan tersebut.

Saat ini, meskipun akses terhadap penerangan sudah menjadi hal yang biasa, beberapa buku masih diproduksi di atas kertas kuning. Ada alasan lainnya pula yaitu referensi untuk buku-buku klasik berubah menjadi lebih kekuningan, warna yang lebih gelap karena paparan lilin ke udara dan sinar matahari, dan cahaya lilin yang dapat memadamkan warna kuning (Geertz, 1989). Pada perkembangan saat ini, kitab-kitab kuning sebagian besar dikonversi ke dalam file buku elektronik, seperti pdf, dan didistribusikan melalui perangkat lunak komputer di antara para santri di pesantren modern.

Eksistensi Kitab Kuning

Perhatian terhadap kitab kuning terus meningkat. Meskipun banyak literatur lain yang bisa jadi rujukan, eksistensinya semakin menguat. Eksistensi kitab kuning menjadi sebuah tradisi keilmuan Islam yang melekat hingga hari ini, di samping banyaknya moda literatur keislaman lainnya. Hal ini cukup logis, karena teori-teori baku keislaman banyak diambil dari kitab kuning. Di samping itu, pemahaman isi kitab kuning pun menjadi kebanggaan bagi orang yang menjuarai perlombaannya. Seperti halnya MTQ, dalam tradisi kitab kuning terhadap lomba membaca isi kitab atau dikenal dengan Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK).

Kitab kuning menarik untuk dibahas. Hal ini bukan karena warna kertasnya yang kekuningan, tetapi ciri khasnya bahwa untuk memahami kitab-kitab tersebut, diperlukan keahlian khusus yang perlu dikuasai dengan baik untuk penguasaan bahasa Arab.

Baca Juga  Dulu Jihad Berperang Sekarang Jihad Berdamai

Sebuah pemahaman umum di kalangan pengamat pesantren, kitab kuning selalu dianggap sebagai kitab kajian pokok berbahasa Arab sebagai produk pemikiran ulama masa lalu yang ditulis dalam format yang khas pra-modern. Terkait hal ini, kitab kuning adalah kitab-kitab yang: a) ditulis oleh orang Arab dan menjadi rujukan turun-temurun oleh para ulama Indonesia, b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis ulama Indonesia sebagai karya tulis yang berdiri sendiri, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai sebagai syarah atau terjemahan dari kitab karya ulama Timur Tengah yang menggunakan bahasa Arab (Arab Melayu).

***

Terkait hal ini, Ritonga (2012) menjelaskan ada tiga ciri umum kitab kuning. Pertama, penyajian setiap materi selalu dimulai dengan istilah-istilah yang didefinisikan secara tepat untuk membatasi pengertian secara jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman terkait yang dibahas. Kedua, setiap elemen dari materi yang dibahas dijelaskan dengan semua persyaratan yang terkait dengan objek yang dibahas. Ketiga, dalam menjelaskan isi, terdapat argumentasi penulis buku yang didukung dengan referensi yang kuat.

Kitab kuning memiliki hubungan yang penting dalam mengembangkan ajaran Islam di Indonesia. Kitab kuning yang merupakan buku yang berisi ilmu-ilmu agama Islam, dari berbagai kajian keilmuan yang ditulis atau dicetak dengan huruf Arab dalam bahasa Arab atau Melayu, Jawa, Sunda, dan lain sebagainya.

Terkadang lembaran kitab kuning tidak dijilid sehingga bagian-bagian yang diperlukan mudah diambil. Biasanya, ketika belajar santri hanya membawa lembaran-lembaran yang akan dipelajari dan tidak membawa kitab secara utuh. Hal ini sudah menjadi ciri khas dari kitab kuning itu sehingga menjadi kitab yang unik untuk dipelajari karena dapat membawa lembaran yang dipelajari tanpa harus membawa keseluruhan isi kitab.

Baca Juga  Lima Pesantren Modern Terbaik di Jawa Tengah, Berikut Daftarnya

Editor: Soleh

Avatar
38 posts

About author
Pembelajar Keislaman, Penulis Beberapa buku, Tim Pengembang Kurikulum PAI dan Diktis
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds