IBTimes.ID – Jakarta (21/7), Sejumlah lembaga dikabarkan akan dibubarkan oleh pemerintah karena dianggap membebani anggaran negara (Kompas, 13/7). Diantara lembaga negara tersebut, Komnas Lansia sempat disebut-sebut sebagai kandidat utama karena dianggap sebagai lembaga yang tidak terdengar kinerjanya. Rencana itu sempat diamini oleh DPR yang merasa bahwa tidak pernah mendengar Komnas Lansia disebut saat rapat koordinasi dengan Kementrian Sosial.
Meskipun pada akhirnya Pemerintah tidak menyebut Komnas Lansia sebagai lembaga yang dibubarkan (Kompas, 20/07). Namun beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Kelanjutusiaan (KuMPul) tetap memberi catatan mendesak pada pemerintah mengenai Komnas Lansia.
Dalam Surat kepada Presiden yang disampaikan dalam Konferensi Pers yang digelar oleh KuMPuL secara online (21/7), Adhi Santika, pemerhati hukum dan lansia menyampaikan bahwa Komnas Lansia saat ini ibarat kapal, tapi tidak lagi ada nahkodanya. Jadi bagaimana mungkin kapal tersebut dapat berjalan. Ia menjelaskan bahwa Keppres No. 22 tahun 2012 diktum KEDUA menyatakan bahwa keanggotaan Komnas Lansia untuk masa jabatan tahun 2012–2014 adalah sampai dengan bulan Desember 2014, dan sejak saat itu tidak ada lagi peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang keanggotaan. Dengan demikian sejak 1 Januari 2015 sampai sekarang sudah tidak ada lagi keanggotaan Komnas ini karena tidak ada perpanjangan mandat keanggotaan maupun tidak dibentuk anggota yang baru.
Bukti Kehadiran Negara
Poin kedua yang disampaikan dalam surat KuMPul tersebut juga menjelaskan bahwa keberadaan Komnas Lansia merupakan satu bukti nyata bahwa Negara hadir dan bertanggungjawab penuh terhadap pemenuhan dan perlindungan hak. Perlindungan bagi lansia masih dipandang belum memadai, apalagi lansia masih banyak yang mengalami kekerasan.
Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti, menyampaikan bahwa kantor-kantor LBH APIK terutama Medan, Yogyakarta dan Bali mempunyai catatan khusus mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap lansia. Mayoritas kasus yang ditangani adalah penelantaran. Kasus lainnya adalah KDRT, perampasan harta, eksploitasi ekonomi, psikologis, bahkan kekerasan seksual.
Menurut pengalaman LBH APIK, kasus-kasus seperti ini seringkali dianggap urusan keluarga sehingga minim respon masyarakat. Terkadang pembiaran terjadi karena dianggap tidak penting lagi direspon. Bahkan kadang masyarakat tidak percaya bahwa ada kekerasan seksual terhadap lansia. Maka dari itu lansia minim mengakses bantuan hukum bisa jadi karena tidak tahu, merasa takut atau tidak memperoleh kesempatan.
Catatan lainnya yang disampaikan oleh Khotimun Sutanti adalah ketiadaan data terpilah bagi kasus-kasus kekerasan terhadap lansia. Selama ini sangat sulit ditemukan data-data tersebut. Tidak ada update tahunan secara komprehensif seperti halnya data kekerasan terhadap perempuan dan anak. Maka menurut Khotimun, soal mengawal data ini juga menjadi mandat bagi Komnas Lansia.
KuMPul yang saat ini terdiri dari 9 lembaga, yaitu Alzeimer Indonesia, Center for Aging Society (CAS) Universitas Indonesia, Yayasan Emong Lansia, Komunitas Rahmat Pemulihan, Women in Science Technology Innovation (WISTI), The Prakarsa, Asosiasi LBH APIK Indonesia, beserta LBH APIK Medan, LBH APIK Bali, dan LBH APIK Yogyakarta, Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Ragam Institute, menyampaikan bahwa Komnas Lansia harus diselamatkan. Harus direvitalisasi, dan terus diberdayakan. Ibu Ibnurini dari Komunitas Rahmat Pemulihan berpesan agar segera dilakukan pembentukan struktur baru Komnas Lansia agar berjalan Kembali. Keterlibatan lansia dalam penentuan kebijakan adalah hak lansia agar pembangunan juga menangkap suara-suara lansia.
Editor: Yusuf