IBTimes.ID – Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan. Upaya hilirisasi dan industrialisasi yang digencarkan pemerintah sering kali berbenturan dengan kepentingan pelestarian alam, wilayah adat, serta keberlanjutan sumber daya.
Sebagaimana dilaporkan Kompas.com (24/10/2025), kebutuhan ruang dan sumber daya alam untuk pembangunan sering tumpang tindih dengan kawasan konservasi dan hutan lindung. Ketidaksinkronan tata ruang serta lemahnya penegakan hukum menimbulkan konflik agraria yang meluas. Data Kementerian Kehutanan dan Global Forest Watch (2024) mencatat hilangnya 216.200 hektare hutan alam hanya dalam satu tahun, berdampak pada lebih dari 1.200 komunitas adat.
Dari catatan resmi, deforestasi netto Indonesia pada 2024 mencapai 175.400 hektare, sedangkan data Auriga Nusantara memperkirakan angka deforestasi nyata bisa mencapai 261.575 hektare, dengan Kalimantan sebagai penyumbang terbesar. Deforestasi juga menimbulkan dampak ekologi luas, termasuk hilangnya habitat satwa langka seperti orangutan, harimau, dan gajah.
Dalam dua tahun terakhir, total deforestasi nasional mencapai 1,93 juta hektare, melampaui target strategi FOLU Net Sink 2030. Pemerintah pun telah melakukan langkah hukum terhadap eksploitasi sumber daya alam ilegal. Termasuk penertiban sekitar 5 juta hektare perkebunan sawit bermasalah, di mana 3,7 juta hektare di antaranya melanggar hukum.
Menurut laporan Kompas.com, ketergantungan pada sektor ekstraktif membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Sementara biaya pemulihan lingkungan sering kali lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Hilangnya jasa ekosistem seperti air bersih, penyerapan karbon, dan potensi ekowisata juga mengancam keberlanjutan ekonomi.
Selain itu, regulasi global seperti EU Deforestation Regulation 2025 menuntut transparansi rantai pasok dan praktik industri berkelanjutan. Menempatkan Indonesia di bawah tekanan internasional.
Sebagai solusi, para ahli merekomendasikan beberapa langkah kebijakan, di antaranya penguatan tata ruang berbasis One Map Policy. Moratorium izin baru di kawasan konservasi tinggi, serta penerapan sistem zonasi dinamis berbasis data geospasial. Pemerintah juga diharapkan mendorong insentif bagi industri hijau, memperkuat partisipasi masyarakat adat, dan meningkatkan transparansi perizinan.
Kolaborasi lintas kementerian, pemerintah daerah, dunia usaha, dan komunitas lokal dinilai menjadi kunci keberhasilan menuju pembangunan yang adil, inklusif, dan berdaya saing global.

