Konflik Palestina – Israel kembali menguat. Israel terus membombardir Jalur Gaza dengan serangan udara dan peluru artileri pada Jumat (14/5/2021). Israel juga meningkatkan pengerahan pasukan dan tank di dekat derah kantong Palestina yang terkepung.
Sekitar 119 warga Palestina, termasuk 31 anak-anak, telah tewas dan lebih dari 830 luka-luka sejak permusuhan berkobar sejak Senin (10/5/2021). Ratusan keluarga Palestina berlindung di sekolah-sekolah yang dikelola PBB di Gaza utara untuk menghindari tembakan artileri Israel.
Konflik Palestina – Israel adalah salah satu perang yang masih berlanjut hingga awal abad ke-21. Perang yang dianggap sebagai perang agama Islam VS Yahudi ini membuat geram sebagian besar umat Islam di berbagai penjuru dunia. Meskipun sebagian analis menyebut bahwa perang tersebut bukan perang agama, melainkan perang ekonomi, namun dunia Islam relatif geram dengan Israel.
Di sisi lain, di era Utsmani, kelompok beragama baik Islam, Kristen, dan Yahudi hidup secara damai di tanah Palestina tersebut. Hanya saja, pasca munculnya Zionis, keadaan menjadi berbeda. Hamdan Basyar, Peneliti Senior Kajian Timur Tengah dan Islam LIPI menyebut bahwa Zionis adalah sekelompok orang yang menginginkan tanah di Palestina dengan memanfaatkan agama Yahudi.
Terlepas dari hal itu, perang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ribuan bahkan jutaan masyarakat sipil yang tidak tahu-menahu harus menjadi korban dari kepentingan segelintir elit. Perang merubah hampir keseluruhan aspek kehidupan mereka.
Masyarakat yang layaknya mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang layak harus kehilangan itu semua. Bagaimana seseorang akan berpikir soal pendidikan jika di atas mereka ada puluhan jet tempur yang menghujani bom? Bagaimana seseorang akan berpikir soal karir kehidupan yang lebih baik jika puluhan tetangganya mati di tangan tentara? Perang, atas nama apapun, adalah sebuah kejahatan.
Kabar baiknya, angka peperangan dari waktu ke waktu selalu berkurang. Dalam sebagian besar sejarah manusia, perang adalah rutinitas. Sedangkan perdamaian adalah gencatan senjata. Dalam setiap perdamaian, masyarakat harus bersiap karena sewaktu-waktu perang bisa meletus.
Steven Pinker dalam bukunnya Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress menyebut bahwa selama 450 tahun terakhir, perang yang melibatkan kekuatan besar menjadi lebih singkat durasinya dan lebih jarang. Di sisi lain, pasukan mereka menjadi lebih baik dan lebih terlatih. Perkembangan teknologi membuat senjata militer menjadi jauh lebih mematikan.
Maka, perang besar terakhir (Perang Dunia II) berlangsung cukup singkat namun sangat mematikan.
Setelah PD II berakhir, frekuensi, durasi, dan jumlah korban perang menurun secara bersamaan. Pada periode ini, dunia memasuki long peace period meskipun menyisakan duka di Palestina dan sebagian wilayah Timur Tengah.
Konflik bersenjata antara tentara berseragam dari dua negara menjadi usang. Sejak tahun 1945, perang antar negara tidak pernah terjadi lebih dari 3 kali dalam satu tahun.
Di Asia Timur, penaklukan Jepang, perang sipil Tiongkok, dan perang di Korea dan Vietnam pada pertengahan abad ke-20 membunuh jutaan nyawa. Namun, saat ini, Asia Timur dan Tenggara hampir sepenuhnya bebas dari pertempuran antar negara.
Sejarawan Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century menyebut bahwa di masyarakat agrikultur awal, kekerasan manusia menyebabkan 15 persen kematian manusia. Sedangkan pada abad ke-20, hal tersebut hanya menyebabkan 5 persen kematian manusia. Sedangkan saat ini, perang hanya menyebabkan 1 persen kematian dari seluruh kematian yang ada di atas muka bumi. Menurutnya, jauh lebih banyak orang yang mati karena bunuh diri daripada mati karena peperangan.
Pada tahun 2012, kematian mencapai angka 56 juta. Dari 56 juta tersebut, 120 ribu disebabkan karena perang, 500 disebabkan oleh kejahatan manusia, 800 ribu bunuh diri, dan 1,5 juta diabetes. Betapa peperangan jauh lebih sedikit daripada bunuh diri, kejahatan manusia non perang, bahkan diabetes.
Masyarakat dunia memang tetap harus bersimpati kepada korban perang Palestina. Bahwa segelintir elit yang bersalah atas perang tersebut harus dihukum secara tegas oleh dunia internasional. Pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan harus terus dilakukan.
Namun, agar kita tidak hidup di dalam pesimisme dan melihat peradaban dengan begitu muram, kita patut merenungkan data yang menunjukkan bahwa bumi, dari waktu ke waktu, semakin damai. Bahwa ke depan, nilai-nilai kejahatan seperti perang akan benar-benar jatuh ke angka nol ketika kita terus-menerus mendayagunakan ilmu pengetahuan dan hati nurani dengan jujur.