Pada pertengahan Juni lalu, Rektor Al-Mustafa International University (MIU), Qum, Iran, Ali Abbassi beserta rombongan mengunjungi Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta. Kunjungan itu disambut langsung oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Syafiq Mughni beserta beberapa Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
Kunjungan dari Iran itu membuat perbincangan seputar Sunni-Syiah di jagat maya kembali riuh. Masyarakat dunia maya yang telah hidup secara damai kembali “bertengkar” dan terbelah. Mayoritas masyarakat muslim di Indonesia yang Sunni bersikap anti dan tidak suka dengan kunjungan saudara-saudara mereka yang Syiah.
Tak heran, menurut beberapa riset, toleransi umat Islam Indonesia terhadap agama lain justru lebih tinggi daripada toleransi terhadap kelompok minoritas di dalam Islam sendiri. Toleransi terhadap Syiah dan Ahmadiyah misalnya, jauh lebih rendah daripada toleransi terhadap Kristen Katolik, Kristen Protestan, hingga Hindu dan Buddha.
Kembali menguatnya isu Sunni-Syiah membuat kita dengan begitu mudah bisa melihat, betapa kebencian dan prasangka terhadap kelompok lain itu masih terus dirawat di alam bawah sadar masyarakat kita. Kebencian dan prasangka ini sejatinya adalah api dalam sekam. Ia adalah bom waktu yang siap meledak ketika dipantik oleh gesekan kecil. Ia juga merupakan duri dalam daging yang menjadi salah satu faktor penghambat kesuksesan pembangunan bangsa.
Akar Konflik Sunni-Syiah
Jika merunut sejarah, akar konflik Sunni-Syiah muncul ketika perang Shiffin pada tahun 657 Masehi. Buya Syafii dalam bukunya Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam mengurai konflik ini dengan begitu baik.
Wilayah kekuasaan Islam di masa Khulafaur Rasyidin, tulis Buya, semakin luas melalui ekspansi politik dan militer. Seiring dengan itu, konflik internal juga mulai muncul bersamaan dengan perluasan wilayah.
Pada 18 Juni 656 M, Khalifah Ali dibaiat di Masjid Kufah, Irak menjadi khalifah. Baiat itu dilakukan sehari setelah kematian Khalifah Utsman. Aisyah marah karena Ali tak kunjung mencari pembunuh Khalifah Utsman. Kemarahan itu berujung pada pemberontakan. Belum genap satu tahun umur kekuasaan Ali, pada 8 Desember 656, terjadi Perang Unta di Kota Basra, selatan Irak.
Perang Unta adalah perang antara Aisyah, istri Nabi SAW melawan Khalifah Ali. Beruntung, Ali dapat meredam perlawanan dari Aisyah. Aisyah selamat meskipun perlawanan itu mengakibatkan sekitar 6.000 muslim terbunuh.
Setengah tahun pasca perlawanan Aisyah, pemerintahan Ali kembali bergejolak karena Perang Shiffin. Perang ini jauh lebih dahsyat. Kali ini giliran Gubernur Suriah, Muawiyah bin Abu Sufyan yang memberontak. Ia ingin mengambil tahta kekhalifahan. Muawiyah masih satu marga dengan Utsman.
***
Bukan hanya marah karena Ali tak kunjung mencari pembunuh Utsman, Muawiyah justru menuduh bahwa Ali lah dalang di balik pembunuhan Utsman. Tak tanggung-tanggung.
Perang itu berlangsung selama tiga bulan. Muawiyah keluar sebagai pemenang. Namun, umat Islam terlanjur terbelah. Tidak lagi solid seperti sebelumnya. Dari perang ini, muncul tiga faksi besar umat Islam yang hingga kini masih terus diwarisi. Yaitu Sunni sebagai pendukung Muawiyah, Syiah sebagai pendukung setia Ali, dan Khawarij sebagai kelompok yang kecewa dan menolak kepemimpinan keduanya.
Menurut Buya Syafii Maarif, peperangan yang terjadi itu adalah murni perang karena faktor politik muslim Arab. Ia tidak memiliki hubungan sama sekali dengan agama.
“Perang inilah yang memicu munculnya sekte-sekte yang merusak seluruh perjalanan sejarah umat Islam selama sekitar 14 abad,” tulisnya.
Sayangnya, hampir seluruh umat Islam di dunia dewasa ini masih mengagungkan sekte-sekte yang muncul akibat konflik politik elit Arab 14 abad silam. Umat Islam di seluruh dunia tidak bisa move on dari eskalasi politik yang dialami oleh para pendahulunya.
Padahal, konflik-konflik Sunni Syiah awal Islam itulah yang sejatinya memperkosa nilai-nilai luhur yang telah diajarkan oleh Nabi SAW. Mereka -aktor-aktor perang itu- dengan penuh kebanggaan menginjak-injak nilai luhur Islam bahkan ketika tanah kubur Nabi SAW belum berubah warnanya. Nilai-nilai luhur itu adalah nilai perdamaian, persaudaraan, persatuan, dan kasih sayang.
Hanya beberapa tahun setelah Nabi yang mulia mengajarkan perdamaian dan persaudaraan, elit-elit politik Arab yang menjadi penerusnya seolah lupa. Lebih jauh lagi, mereka menggunakan simbol-simbol agama untuk menjatuhkan lawan politik dan untuk meraih ambisi kekuasaan. Syahwat kekuasaan nampaknya telah menjadi Tuhan baru di dunia Arab saat itu.
Menjadi Muslim di Indonesia
Hal yang juga tak kalah aneh adalah kita semua yang masih mau saja mewarisi konflik elit Arab itu. Kita, muslim di Indonesia, bisa mengambil intisari nilai Islam yang murni yang bersenyawa dengan tradisi dan budaya Indonesia. Nilai-nilai luhur itu seyogyanya menjadi nilai yang memandu kita dalam membangun bangsa dan agama.
Muslim di Indonesia, baik Sunni maupun Syiah, seyogyanya segera keluar dari kotak-kotak sekte yang diwarisi oleh elit Arab nun jauh di sana. Arab Saudi bersama sekutu tak akur dengan Iran. Kedua aktor ini memainkan proxy war di Yaman. Membuat Timur Tengah menjadi kepingan neraka di atas muka bumi. Mereka terus saling membunuh sebagaimana pendahulunya juga saling membunuh.
Maka, muslim di Indonesia tidak seharusnya larut dalam pusaran yang tak ada habisnya itu. Jangan biarkan negara kita yang damai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini menyimpan bara di tengah tenunan persaudaraan abadi. Para pendiri bangsa, mulai dari Soekarno, Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, dan tokoh-tokoh lain telah meletakkan fondasi yang kokoh agar kita tidak terus-menerus berseteru.
Kerja sama dengan semua pihak, dialog, dan pertemuan harus terus dibangun. Mari bersama-sama keluar dari kotak-kotak Sunni-Syiah yang tidak berhubungan sama sekali dengan identitas kita sebagai sebuah bangsa.