Kesempurnaan wujud manusia telah disematkan sejak pertama kali manusia diciptakan. Hal tersebut ditandai dengan berbagai kelebihan yang diberikan dibanding dengan makhluk lain manapun. Tentu manusia memiliki konsep dan karakteristik yang cukup berbeda hingga layak disebut sebagai manusia.
Muthahari dalam bukunya yang berjudul “Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya” mengatakan bahwa, selain daripada memiliki kemampuan untuk melintasi ruang dan waktu, manusia menjadi berbeda dari makhluk lainnya karena memiliki ilmu dan iman. Pandangan ini bukan tanpa landasan.
Penciptaan manusia tentu akan diiringi dengan penciptaan tempat di mana manusia akan tinggal. Sebab Allah Swt tidak akan menciptakan sosok manusia tanpa begitu saja lalu membiarkannya tanpa hunian. Begitu juga tidak mungkin Allah menicptakan alam semesta ini tanpa didasari alasan yang tepat termasuk juga pada kepentingannya dalam menciptakan manusia.
Begitu pentingnya keterkaitan antara manusia dan alam semesta ketika ditarik dari pendekatan spiritual. Fenomena tersebut, nampak dilihat dari berbagai doktrin, agama, sistemsosial, mazhab pemikiran, serta filsafat sosial sering kali didasarkan pada satu konsepsi tunggal terkait alam semesta.
Keterkaitan manusia dan alam semesta bukan lagi menjadi sebuah diskursus yang langka. Salah satunya kajian yang dilakukan oleh Toshihiko Izutsu yang menggunakan prinsip semantic kebahasaan dalam membahas relasi Tuhan dan manusia dengan mengaitkannya pada alam semesta.
Kemudian, salah satu pemikir asal Indonesia, Saras Dewi yang menilai kerusakan alam semesta terjadi akibat pemisahan diri manusia dengan alam sehingga menyebabkan ekuilibrum alam menjadi terganggu.
Pada tulisan Ananda Raja yang berjudul “Manusia dan Disekuilibrium Alam” menguraikan empat poin utama kelemahan narasi Saras Dewi. Pertama, terma manusia yang terlalu abstrak.
***
Kedua, konsepsi tentang alam kurang valid. Ketiga, konsep disekuilibrium yang menganggap keterpisahan manusia dengan alam tidak relevan pada problem aktual saat ini.
Pada tulisan kali ini akan difokuskan pada satu perspektif spiritual dalam menguraikan keterkaitan alam semesta dan manusia yang tentu akan relevan dengan problematika ekologi pada hari ini. Al-Qur’an sendiri mengindikasikan relasi antara manusia dan alam semesta kearah relasi yang afirmatif.
Konsep tersebut memiliki sebuah harapan terkait sinergitas antara manusia sebagai khalifah di muka bumi mampu berjalan secara optimal sesuai koridornya.
Hingga pada akhirnnya dapat melakukan eksplorasi alam tanpa melampaui batas. Sebagai salah satu alternatif yang ringan untuk dijadikan sandaran adalah konsep tentang epos antroposen.
Epos antroposen bukan saja sekedar mengamini dominasi manusia dengan alam. Hanya saja karna bumi telah berubah secara fundamental, maka yang harus dipikirkan adalah cara untuk menghadapi perubahan, bukan lagi tentang mengembalikan ekuilibrium yang tidak pernah ada.
Konsepsi Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an
Syati dalam bukunya “Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an” menguraikan istilah manusia dalam Al-Qur’an dalam tiga kata, yakni insan, ins, dan basyar.
Kata basyar ditujukan pada dimensi fisikal yang menyederhanakan pengertian manusia menjadi anak keturunan Adam. Secara sederhana yakni manusia dengan sifat-sifat manusiawinya.
Kata ins dan insan disimpulkan dalam kata yang memiliki kesamaan makna. Syati menyebutkan keduanya kata tersebut berasal dari akar kata a-n-s yang bermakna pada antonym dari kata “liar”, yakni “jinak”.
Secara spesifik dijelaskan unsur materiil manusia yang berbeda dengan wujud jin yang menurut landasan aslinya bersifat metafisik.
Sedangkan pada kata insan tidak selalu diposisikan berlawanan pada sifat materiil jin. Makna yang terkandung pada penggunaan kata insan tersebut dikaitkan pada ketinggian derajat manusia hingga layak dijadikan khalifah untuk tugas keagamaan serta amanat untuk sosial kemasyarakatan. Dengan itu pula lah manusia dianugrahi kelebihan ilmu pengetahuan, dapat berbicara, dan berfikir.
Prinsip Islam untuk menyuarakan egalitarian antara manusia sangatlah nyata. Pada QS.An-Nisa ayat 1 tercermin bentuk penciptaan manusia oleh Allah yang begitu rata dan tidak membeda-bedakan. Islam tidak membeda-bedakan antara rasul serta manusia biasa dalam hal yang berkaitan dengan kemanusiaan.
Manusia satu sama dengan manusia lainnya. Tidak ada keterpaksaan terhadap individu lain untuk hal apapun sekalipun urusan agama. Bahkan dalam kajiannya, Hamka berpendapat bahwa seluruh agama itu satu, yakni Islam. Islam di sini adalah Islam dengan bahasan luas, yaitu penyerahan total pada Tuhan.
Islam yang dimaksud Hamka di sini bukan Islam yang bersifat institusi melainkan Islam sebagai pandangan hidup tentang kebenaran. Semua dapat bersatu dalam mengemban amanah dan tanggung jawab Tuhan dalam membentuk masyarakat yang madani.
Konsepsi Alam dalam Perspektif Al-Qur’an
Dalam bukunya “Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-Qur’an”, Sirajuddin Zar mengungkapkan bahwa kata ‘alam pada Al-Qur’an yang ditujukan pada pemaknaan alam semesta tidaklah tepat.
Menurutnya, kata ‘alam tersebut merujuk pada kumpulan sejenis dari makhluk tuhan yang ber-akal atau memiliki sifat yang mendekati makhluk yang berakal.
Justru kata alam semesta dalam Al-Qur’an sering menggunakan kata al-samawat wa al-ardh wa ma bainahuma. Kata ini tepat mengandung makna di dalamnya mencakup banyak alam yang berbeda-beda bentuk serta hukum-hukumnya antara satu dan yang lain.
Fazlur Rahman (2017) berpandangan bahwa pembahasan Al-Qur’an mengenai kosmologi sangatlah sedikit. Terkait metafisika penciptaan, secara sederhana Al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta dan apapun yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terwujud dengan perintahnya.
Relasi Manusia dan Alam
Amanat untuk manusia yang terkandung dalam QS Al-Ahzab ayat 72 memiliki pemaknaan yang tidak sederhana. Tidak hanya terbatas pada praktik individual keberagamaan, namun juga pada praktik-praktik sosial kemasyarakatan. Termasuk juga untuk menjaga dan melestarikan alam semesta hingga menjadi hunian yang indah dan nyaman.
Dalam pandangan humanisme, kerusakan serta ketidakseimbangan lingkungan terjadi akibat dari manusia yang terlalu mengedepankan egonya dan ingin menguasai segala-galanya.
Allah memang menyematkan dua sifat yang bertolak belakang dalam diri manusia. Kedua sifat tersebut senantiasa akan terus berperang untuk saling mendominasi dalam diri manusia.
Oleh sebab itu, agar dominasi dimenangkan oleh sifat yang baik, harus selalu diasah dengan hikmah ilahiyah dan nilai spritualitas yang bersumber dari yang maha pengasih.
Jika melihat karakteristik dasar manusia yang aktif, inovatif serta perannya sebagai khalifah fil ardh, sudah semestinya dia memperlakukan alam raya yang bersifat pasif reseptif dengan perlakuan yang bersifat positif dan afirmatif. Perlakuan tersebutlah yang akan menjadi bentuk yang ideal antara relasi manusia serta alam semesta.
Akan tetapi, dalam konteks pembangunan (utamanya pada infrastruktur zaman sekarang) akan sangat sulit untuk menyingkirkan aspek non-dominasi secara totalitas.
Dalam artian, seberapapun usaha untuk membangun alam semesta ini pun akhirnya memiliki impact negative terhadap alam itu sendiri. Bisa dikatakan bahwa relasi negatif manusia dan alam tidak dapat dihindarkan.
Namun satu hal yang perlu diperhatikan lebih matang terkait kerangka pembangunan harus ada usaha untuk meminimalisir adanya kerusakan yang masif guna memperkecil relasi negatif alam dan manusia. Kajian yang mendalam terkait dampak ekologis perlu ditingkatkan dalam rangka pembangunan infrastruktur.
Ikhtiar ekologi seperti ini perlu mendapat perhatian khusus dari lembaga pembangunan yang bersangkutan. Nantinya dapat menjadi implementasi pembangunan yang menjadi aktualisasi makna dari kekhalifahan manusia di muka bumi tanpa menimbulkan dampak buruk yang cukup luas bagi alam semesta.
Editor: Yahya FR