Ada banyak sekali leteratur hadits yang berbicara mengenai syafa’at para Nabi atas dosa umatnya. Khususnya syafa’at Nabi Muhammad atas umatnya. Bahkan dalam pemahaman islam yang populer, ‘wali’ pun dapat memberi syafa’at.
Diantara teks hadits yang berbicara mengenai syafa’at adalah hadits riwayat al-Bukhari dari Jabir yang artinya:
“Aku diberi lima perkara yang tidak pernah diberikan seorangpun sebelumku: aku diberi pertolongan Allah dengan ditumbuhkan rasa takut di hati musuh sejauh jarak perjalanan sebulan. Tanah dijadikan oleh Allah untukku sebagai masjid dan alat bersuci; barangsiapa diantara umatku menjumpai waktu salat, salatlah ditempat itu. Rampasan perang dihalalkan Allah untukku dan tidak pernah dihalalkan untuk seorangpun sebelumku. Aku diberi hak pertolongan atas umatku. Nabi sebelumku diutus kepada kaumnya saja, tetapi aku diutus kepada umat manusia seluruhnya.”
Makna Syafa’at
Al-Jurjani dalam kitabnya at-Ta’rifat mengatakan bahwa syafa’at berarti minta ampun atas kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa kepada yang dilanggar hak-haknya.
Al-Asfihani dalam kitabnya al-Mufradat mengatakan bahwa arti syafa’at ialah menggabungkan diri kepada orang lain untuk menolong dan memintakan sesuatu untuknya.
Dalam kebanyakan penggunaannya, syafa’at berarti bergabungnya orang yang lebih tinggi kedudukan atau derajatnya kepada yang lebih rendah.
Dengan kata lain, berdasar pengertian yang diberikan al-Asfihani itu, syafa’at berarti memintakan sesuatu untuk orang lain dengan maksud memberi pertolongan. Dan yang meminta lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan yang dimintakan pertolongan.
Konsep Syafa’at ala Fazlur Rahman
Di dalam bukunya, Major Themes of the Qur’an, Fazlur Rahman jelas-jelas menolak adanya ‘juru selamat’ dalam al-Qur’an. Sebagai implikasinya, al-Qur’an juga menolak adanya syafa’at. Meski literatur hadits dipenuhi dengan berbagai rujukan mengenai pertolongan para Nabi atas dosa kaumnya, nampaknya al-Qur’an tidak menyinggung hal tersebut.
Sebaliknya, al-Qur’an secara konsisten membicarakan bagaimana Allah pada hari penghakiman membawa tiap-tiap Nabi sebagai saksi atas perbuatan umatnya.
“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (4:41)
“Dan Kami datangkan dari tiap-tiap umat seorang saksi, lalu Kami berkata ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu’, maka tahulah mereka bahwasanya yang haq itu kepunyaan Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulunya mereka ada-adakan.” (28:75)
Karakter al-Qur’an secara keseluruhan adalah menentang syafa’at. Sebab pertama, “Manusia tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”.
“..Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya..” (2:233)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (2:286)
Sebab kedua, “Rahmat Allah melingkupi segala sesuatu”.
“Allah berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”.(7:156)
“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,” (40:7)
***
Berdasarkan keyakinan muslim ortodoks, ketika keyakinan tersebut mengkristal pada abad ke-2/3 H (8/9 M). Syafa’at tidak mungkin berlaku bagi orang kafir atau non-muslim secara umum. Tapi hanya berlaku bagi kalangan muslim yang berdosa.
Namun , ditunjukan disini ada ayat Qur’an yang secara tegas menentang segala bentuk syafa’at , bahkan bagi kaum muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (2:254, lihat juga 2:48, 123; 6:51, 70; 39:44, 23)
Bagaimanapun al-Qur’an menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun yang dapat memberi syafa’at “kecuali atas izinnya” (2:255). Dan di sinilah ortodoks mengambil gagasan bahwa syafa’at dimungkinkan dengan asumsi bahwa Allah memberi izin kepada Nabi Muhammad untuk memberi syafa’at kepada umatnya.
Namun, menurut Fazlur Rahman, ungkapan mengenai pemberian izin dalam konteks ini tidak bisa dipahami secara literal. Ini hanya sebuah gaya retorik untuk menggambarkan kemahakuasaan Allah. Sedangkan makhluk tidak bisa menolong dirinya kecuali dengan rahmat-Nya.
“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.” (78:38)
Syafa’at dengan izin Tuhan hanyalah sebuah konsep yang tidak dapat dipahami. Sebab, sebagaimana ditunjukan ayat 78:38, jika kata-kata al-Qur’an dipahami secara literal di akhirat tidak ada seorangpun yang dapat berbicara, apalagi member syafa’at tanpa izin Allah. Di sini al-Qur’an memberi gambaran tentang kemahakuasaan Allah yang melingkupi segala sesuatu.
“Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia.” (78:37).
Wallahu a’lam bis showab
Editor : Rifqy N.A.