Oleh: Nibros Hassani*
Pada tahun 1998 ketika tragedi besar itu terjadi, B.J. Habibie menyetujui untuk membuka Komisi Nasional. Komisi itu bekerja khusus menanggulangi korban-korban dan penyintas pasca-Mei.
21 tahun sudah lembaga itu berdiri dan masyarakat saat ini berharap banyak mendapat perlindungan darinya. Coba saja ketik “Komnas Perempuan” dalam pencarian Google. Dalam kolom tanya jawab yang dibuka secara publik itu akan ditemui beragam curahan hati para korban dan penyintas yang menginginkan perlindungan dan tuntutan. Karena telah mendapat kekerasan.
Itupun baru data yang dibuka secara online, belum lagi yang tersebar di LBH—dan komunitas-komunitas dengan spirit yang sama—di seluruh Indonesia.
“Apakah Komnas Perempuan memiliki rumah aman untuk korban KDRT?”
“Apa benar KDP (kekerasan dalam pacaran) ada hukumnya seperti yang saya tau Pasal 351 ayat (1) KUHP. Saya mendapatkan kekerasan fisik sudah 4 kali oleh pacar saya. Tolong bantuan dan keadilannya”
“Sejak nikah sudah 11 th saya sudah sering dapat pukulan dan makian. Seperti di bilang: tai, anjing, monyet bagaimana perlindungan yg harus saya dapatkan”
“Selamat siang, bagaimanakah mencari penyembuhan untuk peristiwa traumatis yang saya dapatkan…”
Pelemahan Komnas Perempuan
Tugas Komnas Perempuan bukan hanya perlindungan terhadap kekerasan saja. Subtansinya ialah menciptakan dunia yang ramah terhadap perempuan. Ketika KPK—sebagai lembaga independen yang dipercayai oleh masyarakat—dilemahkan secara hukum, saya pun ikut was-was ketika Komnas Perempuan akan mendapat perlakuan serupa ketika segalanya menjadi mungkin di Indonesia ini.
Dan itu telah terjadi. Sebelum Revisi UU KPK mencuat dan membuat publik heboh, Komnas Perempuan telah mendapat pelemahan secara hukum. Pimpinannya mencatat: Revisi UU KPK yang bukan masuk kedalam Prolegnas Prioritas 2019 justru lebih mendapat perhatian.
Pembahasan yang dilakukan pun seolah ditunda-tunda dan perdebatan yang terjadi selama ini justru tidak substantif. Mengutip statement Ratna Batara Mukti, “tidak ada terobosan hukum” bagi korban, penyintas, dan pelaku.
Misalnya dalam kasus kekerasan, mereka yang melapor harus menyertakan bukti visum fisik. Padahal faktanya, banyak yang tidak bisa melapor bila yang terjadi adalah kekerasan verbal.
Kasus Baiq Nuril misalnya, juga yang terjadi dalam kampus-kampus ketika relasi kuasa mendominasi. Komparasinya: padahal di beberapa daerah maju, visum psikis dapat digunakan untuk sebagai alternatif bukti saat melaporkan kekerasan.
Atau barangkali masih perlu kita mendefinisikan ulang ‘perlindungan dan pencegahan’ yang dimaksud dalam UU? Ataukah, pembuat kebijakan kita hanya menuntaskan permasalahan-permasalahan yang viral dan menjadi kepentingan mereka saja?
Substansi dari penciptaan dunia yang ramah bagi perempuan belum dapat direalisasikan. Kapan akan menjadi mungkin? Entah kapan. Tapi masyarakat Indonesia turut berbahagia ketika UU perkawinan yang baru akan segera disahkan September bulan ini.
UU Perkawinan dan Kasus KDP
Bila sebelumnya UU perkawinan melegalkan minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah, kini angka minimalnya sepantara dengan laki-laki yakni 19 tahun. Sederhananya, UU ini mencegah perkawinan anak karena perempuan yang menikah dibawah 19 tahun tidak akan sah di mata hukum.
Memperjuangkan UU ini hingga beberapa dekade lamanya dan mendapat kabar akan segera disahkan tentu menjadi hadiah spesial bagi para aktivis dan lembaga yang concern terhadap hak-hak anak dan perempuan. Hal ini menegaskan bahwa perjuangan untuk menciptakan dunia yang ramah bagi perempuan bukan kerja-kerja 2-3 tahun, ataupun instan dalam semalam.
Belum lagi membahas korban kekerasan dalam pacaran (KDP) yang secara nyata terjadi dalam masyarakat kita. Padahal, KDP juga tak kalah problematis. Disamping karena yang terjadi ada dalam jerat ‘suka sama suka’ oleh karenanya kata “perlindungan” perlu mendapat definisi yang tidak boleh cacat keadilan. Butuh berapa dekade lagi bagi korban dan penyintas untuk menunggu?
Mempertanyakan Komitmen Diri
Masalah yang mencuat belum lagi selesai. Sebentar lagi nama KemenPPPA akan direncanakan berubah menjadi Kementrian Perlindungan Keluarga. Konon, perubahan diksi ini akan berakibat fatal kepada mereka yang tidak terengkuh secara hukum dan sosial di masyarakat.
Setelah problema hukum RUU P-KS, apakah perubahan nama Kementrian itu akan juga berdampak besar kepada korban, memberi hukuman yang pantas bagi pelaku, serta tuntas membahas kedalam akar masalahnya?Karena negara selalu tidak hadir.
Begitupun peranan agama dalam masyarakat yang harusnya menyelesaikan persoalan. Berapa banyak yang mengaku mengatasnamakan agama tapi justru menciderai nilai-nilai yang ada didalamnya? Melegalkan menikah dini sebagai jalan pintas mencegah zina? Poligami dengan dalih menyelamatkan perempuan tapi sebenarnya menelantarkan perempuan yang lain?
Pancasila selalu baik menjadi dasar bagi negara tapi apakah tidak bagi implementasinya? “…Kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Terlalu banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Tak perlu mempertanyakan peran Komnas Perempuan. Bahkan tak perlu sampai kepada pihak Senayan. Yang jelas menomorduakan perlindungan terhadap perempuan karena menomorsatukan Revisi UU KPK. Terlalu banyak masalah yang perlu diurai. Tidak seperti RUU KPK
Kini terlalu sulit untuk mempertanyakan apakah kita masih memiliki komitmen yang kuat terhadap terwujudnya “dunia yang ramah untuk perempuan”.
*Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris 2016, anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah