Selama situasi pandemi Covid-19 ikut melanda Indonesia, lagi-lagi respons negara terutama pemerintah masih sangat lamban penuh anomali dalam mengambil kebijakan. Keputusan maupun tindakan dalam menyikapi permasalahan keagamaan yang terjadi menunjukkan adanya inkonsistensi dan ketidakseragaman keputusan di lapangan. Krisis kebijakan jelang Idulfitri 1441 Hijriah ini menyebabkan terjadinya kegaduhan, bahkan reaksi negatif dari masyarakat.
Krisis Kebijakan Jelang Idulfitri
Sikap merespon masalah dengan menggeneralisasi keadaan menimbulkan rasa ketidakadilan karena tidak sesuai realitas yang sesungguhnya. Seperti kebijakan ibadah di rumah tentu tidak relevan bagi kawasan-kawasan yang bebas covid seperti di daerah kepulauan.
Banyak kampung di pulau-pulau kecil jauh dari episentrum virus merasa imbauan seperti itu tidak pas dan tidak adil. Sementara ibadah di masjid, musala, gereja, pura, klenteng dan lainnya adalah tradisi keagamaan yang telah menyatu dengan masyarakat.
Pada berbagai kasus menunjukkan anomali kebijakan pemerintah. Di satu sisi, pemerintah begitu gencar dan aktif menyosialisasikan kebijakan ibadah dirumah secara general. Namun, pada sisi lain justru lahir kebijakan yang bersifat relaksasi atau pelonggaran.
Seperti kegiatan ekonomi,di mall, pusat perbelanjaan, antrian di bandara, pelabuhan, pasar-pasar, pelonggaran moda transportasi, kedatangan TKA asing dari China. Bahkan termasuk konser kenegaraan yang diselenggarakan BPIP beberapa hari lalu dan mengundang reaksi publik. Termasuk kebijakan yang berbeda setiap daerah soal boleh-tidaknya shalat Idulfitri dilaksanakan di masjid atau di tanah lapang.
Kebijakan yang anomali seperti ini tentu akan menimbulkan perasaan ketidakadilan dalam bernegara, seolah-olah ada disparitas kebijakan. Perlakuan pemerintah berbeda-beda pada pemenuhan hak beribadah, dengan hak mendapat pekerjaan, hak ekonomi, hak transportasi.
Pemaknaan ini membawa pada istilah krisis kebijakan yang penulis maksudkan di atas. Frasa ini memiliki korelasi pada aspek tindakan atau respon kebijakan keagamaan yang dilakukan pemerintah dipandang sebagian orang sebagai kebijakan yang anomali. Krisis kebijakan jelang Idulfitri pun bisa dibilang sedang terjadi.
Perspektif Hukum
Tulisan ini mencoba melihat fenomena di atas dalam optik berpikir hukum. Baik dari sisi hukum tata negara dan konstitusi, maupun hukum administrasi pemerintahan dan perundang-undangan.
Fenomena di atas memperlihatkan ada masalah dari pemenuhan dan jaminan hak beragama di Indonesia. Secara hukum konstitusi (constitutional law) dan dari sisi pemenuhan hak konstitusi (contitutional rights) menimbulkan pertanyaan kritis, apakah kebijakan keagamaan yang ada saat ini telah sesuai dengan harapan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Posisi Negara
Semua negara yang kehidupan konstitusinya demokratis dan religius termasuk Indonesia sangat menyadari betul bahwa kemerdekaan dan kemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari karunia dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Atas karunia-Nya negara akan sejahtera, adil, dan makmur jika seluruh warga negara dan kebijakan negara selalu dilandasai atas keimanan dan ketakwaan.
Kesadaran spritualitas negara yang demikian kemudian diwujudkan para pembuat konstitusi dengan memberikan jaminan dan perlindungan warganya untuk beragama dan beribadah. Pembuat konstitusi kita tentu menyadari betul bahwa kehidupan religius dan pranata keagamaan di Indonesia merupakan salah satu jiwa bangsa (volkgeist) yang sudah berabad-abad dimiliki bangsa ini. Sehingga tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai konstitusi yang lain.
Pada sisi hukum pemerintahan (bestuur handeling) kebijakan keagamaan di Indonesia sudah merupakan tugas atau urusan pemerintahan absolut. Dalam hal ini merupakan tanggungjawab pemerintah pusat untuk menyelenggarakan kehidupan beragama di Indonesia.
Tanggungjawab tersebut berupa rangkaian keputusan atau tindakan yang perlu diambil pihak yang berwenang untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan jaminan terhadap terlaksananya hak beribadah setiap warga masyarakat di seluruh wilayah Indonesia sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Seperti yang ditentukan dalam pasal 29 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, yaitu negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah.
Termasuk ketentuan Pasal 28 I UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya menegaskan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Artinya, kebebasan memeluk agama dan beribadah merupakah merupakan kewajiban negara kepada warga negaranya.
Pada praktiknya setiap orang dijamin keberlangsungan dalam beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini sekaligus merupakan bagian dari hak warga negara dan hak asasi manusia yang dijamin oleh negara.
Posisi Pemerintahan
Pada posisi negara yang jelas di atas, maka konstitusi memberikan posisi pemerintah yang tegas. Bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab lebih besar dalam pemenuhan, perlindungan, penegakan hak beragama. Hal ini bisa kita lihat pada Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 di mana perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Implikasi hukum dari ketentuan hukum dasar dalam pasal di atas lalu diturunkan dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pokoknya UU ini menegaskan agama merupakan salah satu urusan pemerintahan yang absolut dari 6 urusan yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter fiskal nasional.
Dalam ayat (2) ditegaskan Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut tersebut pemerintah pusat melaksanakan sendiri atau melimpahkan wewenang kepada menteri vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasil.
Klausul pasal di atas menegaskan bahwa urusan agama adalah adalah tanggung jawab pemerintah. Dalam hal ini pemerintah pusat dan dapat didelegasikan kepada kementerian terkait dan gubernur, melalui pendelegasian wewenang melalui peraturan presiden atau peraturan pemerintah.
Status Hukum Pembatasan Keagamaan
Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan seperti PP 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB. Dalam Pasal 2 PP di atas ditegaskan bahwa dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan PSBB atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu.
Dalam Pasal 4 ayat (1) dikatakan PSBB paling sedikit meliputi huruf:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja,
b. pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Sementara di ayat (2) pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tetap mempertimbangkan, kebutuhan pendidikan, produktifitas kerja, dan ibadah penduduk.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka jelas kaidah hukum pembatasan kegiatan keagamaan mengandung dua prinsip dasar. 1) pembatasan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan dan 2) pembatasan tetap mempertimbangkan ibadah penduduk.
Oleh karena itu kebijakan pemerintah tersebut haruslah dibaca bukan dalam konteks melarang beribadah, atau memerintahkan menutup rumah ibadah. Melainkan berupa pembatasan kegiatan keagamaan dan bukan merupakan kebijakan yang berskala nasional berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Teritorial keberlakuan hukumnya pun bersifat terbatas bagi pemerintah daerah yang telah mendapat izin PSBB.
Dalam teori perundang-undangan (gesetzgebungstheorie) biasa disebut (geldingsgebied van het recht) atau lingkungan berlakunya hukum yang meliputi lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere). Jadi keberlakuan hukum berdasarkan tempat, tidak mengeneralisasi di seluruh wilayah Indonesia.
Fatwa MUI Tentang Shalat Idulfitri
Maka Keputusan MUI No. 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri saat Pandemi Covid-19, sudah tepat sebagai solusi. Sebab di angka romawi II disebutkan Shalat Idulfitri boleh dilaksanakan dengan cara berjamaah di tanah lapang, masjid, musala, atau tempat lain bagi umat Islam yang berada di kawasan yang sudah terkendali pada saat 1 Syawal 1441 H dan yang berada di kawasan yang
1) terkendali, atau
2) kawasan yang bebas covid-19 dan diyakini tidak terdapat penularan seperti di kawasan pedesaan atau perumahan terbatas yang homogen, atau
3) tidak ada yang kena covid-19, atau
4) tidak ada keluar masuk orang dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan dan mencegah terjadinya potensi penularan. Antara lain memperpendek bacaan shalat dan pelaksanaan khutbah.
Fatwa MUI inilah yang seharunya direspon oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk menentukan wilayah mana yang telah masuk kategori terkendali dan/atau daerah bebas Covid-19. Agar umat Islam bisa melaksanakan Idulfitri sesui fatwa berdasarkan zonasi wilayah atau kawasan masing-masing yang dibolehkan.
Seperti yang sudah dilakukan Wali Kota Bekasi yang mempersilahkan membuka shalat Idulfitri di 29 kelurahan di Kota Bekasi setelah berdiskusi bersama Kapolres, unsur MUI Kota Bekasi memutuskan organisasi keagamaan dengan tetap menggunakan protokol kesehatan. Seperti tidak bersalaman, jaga jarak, memakai masker dan langsung pulang kerumah tanpa halal bi halal.
Dengan demikian untuk saat ini wilayah hukum pembatasan keagamaan hanya berlaku daerah yang telah mendapat izin PSBB. Seperti 4 Provinsi dan 24 kabupaten/kota di Indonesia, namun tetap bisa ditetapkan kawasan yang terkendali.
Kabupaten/kota lainnya yang belum mendapatkan izin PSBB maka tetap memiliki hak kemerdekaan beragama. Tentu tidak boleh dibatasi begitu saja tapi justru membutuhkan jaminan oleh pemerintah dan negara. Hal ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi krisis kebijakan jelang Idulfitri.
Wallahua ‘allam bishshawwab
Editor: Nabhan