IBTimes.ID, Jakarta — “Munculnya fenomena varian Kristen Muhammadiyah (Krismuha) disebabkan oleh interaksi yang intens antara anak-anak Muslim dengan Kristen dalam proses pembelajaran di sekolah Muhammadiyah, tanpa menghilangkan jatidirinya sebagai seorang Kristen yang taat”, kalimat tersebut adalah kutipan yang tertulis dalam buku Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan. Buku ini adalah buah produk penelitian Prof. Dr. Abdul Mu`ti bersama Fajar Riza Ul Haq.
Buku tersebut diulas dalam acara Bedah Buku yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Senin (22/5).
Pada kesempatan ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, memberikan apresiasi adanya buku tersebut sebagai bentuk keterlibatan publik dalam mewujudkan lingkungan pendidikan yang mencintai keberagaman, inklusif, dan bebas dari kekerasan.
“Gagasan toleransi yang dihadirkan dalam buku ini sejalan dengan cita-cita kami di Kemendikbudristek untuk menghapus kekerasan dari dunia pendidikan Indonesia. Sejak tiga tahun lalu, kami telah menjadikan intoleransi sebagai salah satu bentuk kekerasan yang wajib dicegah dan ditangani, di samping perundungan dan kekerasan seksual,” tutur Nadiem.
Menurutnya, gagasan toleransi yang dihadirkan dalam buku tersebut sejalan dengan cita-cita Kemendikbudristek untuk menghapus kekerasan dari dunia pendidikan Indonesia. Sejak tiga tahun lalu, Mendikbudristek telah menjadikan intoleransi sebagai salah satu bentuk kekerasan yang wajib dicegah dan ditangani, di samping perundungan dan kekerasan seksual.
***
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan terbitnya buku Krismuha ini layak diapresiasi dan menggugah kesadaran bahwa kemajemukan agama, suku, ras, dan golongan tidak menghalangi diri untuk berbuat yang terbaik bagi kehidupan bersama di mana pun berada. “Kemajemukan adalah pelangi yang indah untuk merajut hidup toleran sarat penghormatan, perdamaian, dan saling memajukan. Ini komitmen Muhammadiyah dalam memajukan bangsa dan merekatkan keindonesiaan yang heterogen,” pungkas Haedar.
Menurut Fajar Riza Ul Haq, selaku aktor di balik terbitnya buku ini, mengatakan bahwasannya para pembaca bisa memetic dua poin penting yang terkandung dalam buku ini. Pertama, buku tersebut sesuai amanat UU Sisdiknas, yakni setiap anak didik berhak untuk menerima pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut, serta diajarkan oleh tenaga pengajar yg seagama. Buku ini menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah memenuhi kewajiban itu. Sehingga lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak berperan sebagai sarana Islamisasi dalam arti sempit, tetapi sarana dakwah kultural yg mendorong modernitas, menyemai toleransi, dan mengokohkan kesetaraan.
Kedua, relasi mayoritas-minoritas agama di Indonesia itu sangat dinamis. Menurut Fajar, Islam memang agama mayoritas secara nasional. Tapi di beberapa provinsi tertentu, atau di kabupaten/kota tertentu, Islam adalah minoritas di tengah mayoritas agama lain. Baik itu Kristen, Protestan, Hindu, atau Buddha. Buku ini, menurutnya, menjelaskan bagaimana (lembaga pendidikan) Muhammadiyah hadir di wilayah-wilayah dengan penduduk mayoritas Kristen.
“Muhammadiyah harus bersedia menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga kehadirannya memberi manfaat yg luas, bukan dianggap sbg ancaman bagi agama mayoritas masyarakat sekitarnya” ungkap Fajar.
Editor: Yahya