Setiap orang pasti akan mati. Walaupun teori ini coba dibantah oleh para saintis Barat yang Anda sudah baca itu, tapi, setidaknya hingga saat ini, setiap orang pasti akan mati. Proyek ambisius immortalitas Barat belum mencapai titik paling sempurnanya. Usia harapan hidup memang terus meningkat. Tapi tetap ada batasnya.
Perihal penyebab kematian, setiap orang tentu berbeda-beda. Ada yang mati karena penyakit. Ada yang mati karena kecelakaan. Ada yang mati karena meyakini sesuatu. Untuk kelompok terakhir ini, Anda tentu sudah pernah mendengar. Ada Syekh Siti Jenar, ada Socrates, ada Munir Said Thalib, ada Farag Fouda.
Islamisasi VS Sekularisasi di Mesir
Nama yang disebut terakhir ini cukup unik. Ia tumbuh di tengah perdebatan dan polarisasi masyarakat Mesir yang begitu tajam dan runcing. Perdebatan itu berkisar sekitar urusan formalisasi hukum Islam dan sekularisasi hukum Islam. Fouda berada di bagian yang terakhir ini. Ia merupakan juru bicara yang menentang formalisasi hukum Islam lebih-lebih pendirian khilafah Islamiyah.
Tentu tak akan jadi soal jika perdebatannya adalah perdebatan seperti NU – Muhammadiyah. Misalnya tentang rukyat/hisab, qunut/tidak qunut, atau halal/haram rokok. Di Indonesia, setelah relasi antar ormas ini begitu mencair, perdebatan itu hanya akan menjadi guyonan bagi anak-anak muda.
“Aku terlalu hisab untuk kamu yang rukyat,” misalnya. Fouda tidak akan dibunuh kalau dia lahir di Solo, bukan Kairo.
Yang terjadi memang harus terjadi. Fouda menjadi tumbal dari sejarah Islam yang, kendati semakin baik, tetap saja memiliki noda hitam. Ia memang berkali-kali menekankan, bahwa era modern ini adalah era di mana Islam semakin baik dan semakin maju. Barack Obama, dalam sebuah pidato menyebut, jika seseorang bisa memilih kapan ia dilahirkan, ia pasti akan memilih zaman sekarang daripada masa lalu.
Sayang, kelompok Islamis di Mesir tidak berpendapat demikian. Mereka meromantisasi masa lalu. Masa lalu yang oleh Fouda dihajar habis-habisan. Ditampakkan boroknya sampai tahap yang menjijikkan. Sementara kelompok Islamis begitu memuja masa lalu. Terutama era nabi, khulafaur rasyidin, dan masa kekhilafahan Islam hingga Turki Utsmani.
Menurut kelompok Islamis yang merindukan masa lalu ini, masa kekhilafahan Islam itu adalah masa-masa keemasan. Masa-masa di mana Islam menjadi panglima. Hukum Islam menjadi hukum negara. Spirit Islam menjadi nafas peradaban. Perjuangan untuk mengembalikan kekhilafahan Islam itu seolah-olah menjadi hal yang paling penting dan ibadah paling agung. Sementara orang-orang yang menghalangi tujuan itu harus dibinasakan. Termasuk Fouda.
Fouda memang begitu berani menampakkan apa yang selama ini ditutupi oleh para perindu khilafah. Fouda menyerang jantung ideologi kelompok Islamis. Yaitu institusi khilafah yang disakralkan itu. Fouda menyebut, para sahabat adalah manusia yang tak boleh kebal kritik. Apalagi khalifah-khalifah setelah era sahabat.
Sebagian dari mereka adalah para demagog dan negarawan yang menjalankan roda pemerintahan murni berdasarkan kepentingan politik kekuasaan. Tanpa sedetikpun pernah peduli terhadap Islam. Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah dan Al Muhtadi Billah dari Dinasti Abbasiyah adalah dua khilafah yang ia kecualikan di sini.
Fouda menghancurkan imajinasi kita yang begitu indah tentang institusi khilafah. Sebagaimana Adian Husaini dalam buku Wajah Peradaban Barat menelanjangi inkuisisi gereja abad pertengahan, Fouda menelanjangi institusi khilafah yang juga ia sebut tak kalah keji dengan inkuisisi gereja.
Kebenaran Kisah Kekhalifahan yang Hilang
Khilafah, menurut Fouda, penuh dengan konflik dan pertumpahan darah. Tak tega rasanya jari mengetik detail-detail mengerikan itu. Namun, sejak awal berdiri, ia sudah dibuka dengan serangan Abu Bakar terhadap orang-orang Islam yang menolak membayar zakat melalui negara. Padahal, mereka tetap membayar zakat, namun langsung diberikan ke mustahik atau penerima.
Masa pemerintahan Ali lebih kelam. Hampir seluruh era kepemimpinan ia habiskan untuk menjaga stabilitas, yang sayangnya tidak menghasilkan apapun. Sejak naik tahta, Ali dirundung konflik demi konflik. Diakhiri dengan peralihan kekuasaan ke Muawiyah yang melahirkan kelompok ekstrimis khawarij.
Noda Hitam Dinasti Umayyah
Dinasti Umayyah menyisakan lebih banyak noda hitam. Muawiyah memulai Dinasti Umayyah dengan konflik perebutan kekuasaan melawan Ali. Kisah Umayyah dilanjutkan dengan pembunuhan Husein oleh Yazid bin Muawiyah. Yang lebih tragis, dan dilupakan oleh banyak orang menurut Fouda adalah, ketika Yazid memaklumatkan anarkisme ketika menyerang Madinah selama tiga hari. Peristiwa itu membuat 4.500 jiwa terbunuh dan seribu perawan diperkosa.
Apakah seperti ini potret negara Islam? Tanya Fouda.
Al Mutawakkil, salah satu khalifah Dinasti Umayyah memiliki empat ribu selir. Dan semua itu, menurut Fouda, sudah pernah ia cicipi. Sementara itu, Al-Walid bin Yazid, adalah khalifah yang memiliki kecenderungan homoseksual dan memiliki hobi memanah Alquran.
Masih banyak khalifah dari Dinasti Umayyah yang problematik. Sebagian yang disebut di tulisan ini hanya contoh kecil dari apa yang ditulis Fouda di bukunya Al-Haqiqah al-Ghaibah. Buku ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim.
Noda Hitam Dinasti Abbasiyah
Sementara, babak baru Dinasti Abbasiyah tak kalah mengerikan. Dinasti Abbasiyah diawali dengan Khalifah Al-Saffah Si Penjagal. Dinasti ini sudah begitu kelam sejak khalifah pertama. Ia biasa makan di atas keluarga Umayyah yang ia siksa. Keluarga Umayyah yang tersisa itu disiksa, kemudian diletakkan di lantai. Di atas korban penyiksaan itu digelar permadani, dan Si Penjagal ini makan di atas permadani itu bersama orang-orang dekatnya.
Dalam konflik kekuasaan, seorang pemimpin membunuh pemimpin yang lama beserta keluarganya adalah hal yang jamak terjadi. Menariknya, Al-Saffah tidak hanya membasmi keluarga Umayyah, namun juga menggali kuburan khalifah-khalifah Umayyah dan menyiksa jasadnya. Satu hal yang…. Saya tak tau harus menulis apa untuk menggambarkan kekejian ini.
Al-Saffah menggali kuburan Muawiyah. Namun kuburan itu telah kosong. Ia menggali kuburan Yazid bin Muawiyah. Di situ hanya ada sepotong tulang mirip arang. Kemudian kuburan Abdul Malik bin Marwan. Yang tersisa hanya tengkoraknya. Yang agak lengkap jasadnya adalah jenazah Hisyam bin Abdul Malik. Mayat Hisyam hampir utuh. Maklum, Hisyam meninggal baru sekitar tujuh tahun sebelum Abbasiyah naik tahta.
Mayat Hisyam dikeluarkan, dicambuk, disalib, lalu dibakar dan abunya hilang ditelan angin.
Sekali lagi, di buku Kebenaran yang Hilang, Fouda memberikan banyak contoh yang akan membuat Anda bergidik. Apa yang ditulis di sini hanya secuil contoh saja.
Buku Kebenaran yang Hilang tentu tidak sempurna. Sebagaimana karya lain, ia bisa dikritik dan bisa diuji kekuatan argumennya. Sisanya adalah terserah pada kita. Apakah kita tetap merindukan dan meromantisasi kekhalifahan yang telah sirna, atau kita akan terus maju bergulat dengan peradaban modern seperti cita-cita Fouda.
Yang jelas, terbitnya buku ini harus dibayar begitu mahal oleh penulisnya. Buku ini harus dibayar dengan nyawa. Fouda ingin menunjukkan kebenaran yang hilang. Sayang, hal itu justru membuat nyawanya sendiri yang hilang.