IBTimes.ID – Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menegaskan bahwa kritik bukanlah sesuatu yang perlu dihindari oleh pejabat publik. Sebaliknya, ia memandang sorotan dan kritik media sebagai bagian penting dari proses evaluasi dan perbaikan kinerja, baik secara personal maupun kelembagaan.
Hal tersebut disampaikan Nasaruddin dalam Dialog Media Refleksi Kinerja Tahun 2025 yang digelar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (24/12/2025). Dalam forum tersebut, ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah merasa tersinggung ketika mendapat kritik, termasuk yang bernada tajam.
“Kami tidak pernah tersinggung kalau media menyorot negatif kami. Bagi kami, kritik itu adalah upaya untuk memperbaiki diri. Lebih banyak orang jatuh karena dipuji daripada dikritik,” ujar Nasaruddin.
Menurutnya, sikap defensif terhadap kritik justru dapat menghambat kemajuan institusi. Karena itu, ia kerap mengingatkan jajaran pejabat di lingkungan Kementerian Agama agar tidak reaktif ketika menerima kritik dari publik maupun media.
Kritik sebagai Alarm Moral dan Etika
Menag bahkan mengibaratkan kritik sebagai peringatan moral yang harus disyukuri. Ia menilai kritik berfungsi seperti alarm yang mengingatkan manusia agar tidak terjebak dalam zona nyaman kekuasaan.
“Itu syukuri itu, itu bisikan malaikat itu. Tapi kalau memuji, menjilat-jilat, itu bisikan iblis. Nah, masalah kita sekarang ini jangan sampai memalaikatkan iblis atau mengibliskan malaikat. Biarkanlah malaikat harus jadi malaikat dan iblis itu harus jadi iblis,” kata dia.
Lebih lanjut, Nasaruddin menjelaskan bahwa Kementerian Agama tidak menjadikan popularitas sebagai ukuran keberhasilan. Fokus utama kementeriannya, kata dia, adalah seberapa besar manfaat nyata yang dapat diberikan kepada masyarakat dan negara.
“Kita harus melewati fase-fase popularitas. Kami tidak butuh popularitas, tapi seberapa besar yang kami bisa lakukan untuk bangsa yang tercinta ini,” ucapnya.
Pandangan tersebut membuat Nasaruddin dan jajarannya tidak larut dalam euforia penghargaan yang diterima institusi. Ia menyebut penghargaan bukan tujuan akhir, melainkan konsekuensi dari kerja yang dijalankan dengan sungguh-sungguh.
“Makanya kami tidak pernah mabuk dengan berbagai macam pujian ‘tiga bulan terbaik, satu tahun terbaik’, tenang-tenang saja,” ujar Imam Besar Masjid Istiqlal itu.
Sikap ini, menurut Nasaruddin, penting agar pejabat publik tetap membumi dan tidak kehilangan orientasi pelayanan.
(NS)

