Perspektif

Kritik Ivan Illich Terhadap Pendidikan Masa Kini

4 Mins read

Sejak bulan lalu, saya sedang tertarik membaca beberapa topik terkait pendidikan kritis. Akhirnya, guna memfasilitasi ketertarikan saya itu, saya mengumpulkan beberapa buku. Beberapa buku itu saya dapatkan dari membeli secara pribadi dan dari perpustakaan ilmu sosial di kampus saya. Setelah mendapatkannya, saya menemukan beberapa buku dari pedagog terkemuka seperti Paulo Freire, Michel W. Apple, dan Neil Postman.

Kemudian, saya baca satu per satu. Setelah memahami semua gagasan-gagasan mereka, saya menjadi mengerti bahwa dunia pendidikan saat ini sedang jauh dari kata baik-baik saja. Intinya, pendidikan masa kini adalah pendidikan yang tidak memanusiakan manusia. Pendidikan seperti berada di persimpangan jalan yang tak selaras dengan fitrah manusia. Padahal, seharusnya pendidikan sejati wajib dilaksanakan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Minggu lalu, akhirnya saya membaca buku lanjutan dari salah satu tokoh pedagog kritis kontroversial. Ia bernama Ivan Illich. Seorang kritikus pendidikan yang sangat populer dengan karyanya “Deschooling Society”. Dalam bahasa Indonesia, Deschooling Society memiliki beragam arti. Beberapa penerbit di Indonesia pun memberikan sejumlah pengertian. Ada yang menerjemahkan sebagai “Pembebasan dari Sekolah”, “Perlawanan ke Sekolah”, bahkan ada juga yang mengartikannya dengan judul “Masyarakat tanpa Sekolah”.

Bagi saya, terjemahan mana pun tentang Deschooling Society itu sejatinya memiliki arti dan semangat yang sama. Yakni sama-sama berupaya dalam pengaktifan humanisasi dalam pendidikan. Sebab, dari tesisnya itu, Illich menyadari bahwa lambat laun sekolah telah menjadi rahim ajaib bagi manusia. Hal ini ia soroti dengan serius. Bahwa anak-anak kita banyak sekali menghabiskan waktunya di dalam sekolah, tetapi ketika mereka keluar dari sekolah dan menghadapi dunia nyata, mereka selalu tidak akan pernah siap.

Tentunya, pesan Ivan Illich untuk kita adalah bahwa saat ini, dan sampai seterusnya, sekolah telah membuat manusia menjadi ketergantungan. Ketergantungan itu yang nanti akan menimbulkan sikap nir-kreativitas. Artinya, seseorang bisa dikatakan sebagai orang yang terpelajar jika mereka telah menyelesaikan sekolah. Sebaliknya, siapa saja yang tidak mampu mengikuti kurikulum sekolah atau tidak bersekolah, maka mereka tidak bisa disebut sebagai orang yang terpelajar.

Baca Juga  SMA Trensains Tebuireng Masuk 5 Besar SMA Swasta Islam Terbaik se Jawa Timur

Padahal, perlu kita sepakati bersama bahwa dehumanisasi dalam pendidikan seperti itu sangat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip keislaman. Islam, sejak dahulu mengajarkan tentang pentingnya menjaga kesamaan (equity), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice) bagi tiap-tiap manusia. Jika diperhatikan bersama, prinsip ini memiliki kesamaan dengan gagasan Illich, bahwa pendidikan yang sejati adalah ketika manusia memiliki kebebasan dalam setiap apa yang mereka pelajari.

Membongkar Mitos Sekolah

Gagasan Ivan Illich memang terkesan anarkis bagi saya, atau khusus bagi orang yang baru pertama kali membacanya. Disebut anarkis sebab ia mengajukan alternatif yang radikal untuk membubarkan sekolah secara total. Serta, ia akan menggantikannya dengan lembaga non-institusional berskala besar. Pasalnya, Illich menyadari bahwa sekolah adalah tempat paling utama dalam praktik dehumanisasi ke pelajar. Lantaran pelajar di dalam sekolah, mereka tidak diberikan kebebasan dalam memilih apa yang mereka pelajari. Jika sekolah menawarkan keterbelengguan seperti itu, maka menurut Illich, jalan satu-satunya adalah pembubaran.

Berdasarkan hal tersebut, kritik Ivan Illich tentang pendidikan formal yang menjadi gerbang satu-satunya dalam mengemas pendidikan kenyataannya memiliki resonansi dengan ajaran agama Islam. Di dalam Islam, sejak kecil kita sering dinasihati bahwa mencari ilmu (tholabul ‘ilmi) adalah sesuatu yang wajib bagi setiap orang Islam. Hal ini menyiratkan bahwa dalam proses mencari ilmu, manusia bebas memilih apa, kapan, dan di mana saja ilmu yang mereka ingin pelajari, asalkan sesuai dan tidak menyimpang dari ajaran serta pedoman-pedoman keislaman.

Apalagi, ketika saya kecil, sering kali mendengar nasihat dari orang tua saya bahwa Nabi Muhammad Saw selalu menginstruksikan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Instruksi ini bahkan diisyaratkan dalam hadits bahwa manusia harus menuntut ilmu hingga ke negeri Cina. Tentunya, pesan tersebut menunjukkan bahwa dalam mencari ilmu atau belajar, manusia tidak hanya terbatas pada ruang kelas maupun sekolah. Artinya, mencari ilmu dalam Islam terbebas dari keterikatan metode maupun keterikatan tempat belajar.

Baca Juga  Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

Membangun Jaringan Islami: dari Masjid hingga Media Sosial

Saya membaca buku Ivan Illich yang spektakuler itu sekitar satu minggu lamanya. Sebetulnya, bukunya tidak terlalu tebal. Tetapi bagi saya, apa yang disampaikan Illich dalam buku itu begitu melekat sehingga saya tak mau cepat-cepat menghabiskannya.

Akhirnya, ketika di pertengahan akhir buku itu, saya masuk ke dalam satu pembahasan Illich, yakni tentang konsep “jaringan pembelajaran” (learning web). Di dalam bukunya, Illich sangat berantusias dan membayangkan tentang bagaimana jika manusia dengan minat yang sama saling terhubung satu sama lain. Dengan logika yang sederhana, manusia yang memiliki minat yang sama dalam suatu pembelajaran, dan saling terhubung, maka dehumanisasi dalam proses pembelajaran menjadi tereduksi.

Dari situ, jika dipelajari dengan saksama, konsep alternatif yang diupayakan Illich pada dasarnya sudah diaplikasikan oleh ajaran Islam. Sejak awal munculnya Islam, masjid berfungsi tidak hanya sebagai media spiritual atau ibadah, melainkan juga sebagai media pembelajaran (educational). Kita dapat melihat bagaimana fungsi masjid sebagai media pembelajaran itu di sekitar kita. Banyak sekali ustadz dan ustadzah, kyai, ulama, yang mengajarkan pembelajaran keislaman. Mulai dari baca tulis Al-Quran, tafsir, akhlak, fiqih, dan bahasa.

Namun, kita juga perlu menyadari bahwa peran masjid, meskipun menjadi bagian dari learning web Illich, tetap harus mengikuti perkembangan zaman. Di era yang serba digital seperti ini, kita dapat mengadaptasi konsep ini melalui hadirnya teknologi. Misalnya, dengan membuat grup belajar secara daring, grup kajian agama Islam secara virtual, dan bahkan menggunakan media-media kontemporer sebagai ruang diskusi-diskusi soal keislaman.

Mengkolaborasikan Kebebasan Illich dan Akhlak Islami

Kita sudah mengetahui bahwa gagasan Illich soal pendidikan sebenarnya memiliki satu nafas, yakni pembebasan dan kemandirian. Manusia harus memiliki kebebasan dalam setiap urusan untuk mencari ilmu. Di satu sisinya, manusia juga harus mandiri, yakni mandiri dari keterikatan dan ketergantungan terhadap institusi yang membelenggu itu.

Baca Juga  Tantangan Guru Madrasah, dari Dituduh Radikal hingga Tuntutan Skill yang Tinggi

Demikian pula dengan ajaran Islam. Islam juga menekankan pentingnya rasa kemandirian dan kasih sayang. Sehingga apa pun yang diperoleh dalam pendidikan, manusia hanya bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bahkan, Nabi Muhammad Saw sudah lebih dulu mempraktikkan pengajaran model seperti ini. Beliau dikenal sebagai guru yang penuh dengan rasa kasih, sifat sabar, dan memahami potensi serta keunikan umatnya. Beliau memandang umatnya sebagai umat yang unik, yang terdiri dari berbagai macam keberagaman. Maka, dalam proses pembelajaran yang diajarkannya pun sangat memfasilitasi bagi seluruh ciptaan Allah yang ada di dunia (rahmatan lil’alamin).

Dengan begitu, baik dari gagasan Illich dan prinsip-prinsip Islam tentunya menghasilkan sintesis dari keduanya. Yakni, tentang bagaimana model pendidikan haruslah memiliki semangat pembebasan sekaligus semangat akhlaqul karimah. Artinya, dewasa ini, baik orang tua maupun pendidikan harus mengemban dua semangat itu. Anak-anak harus difasilitasi dalam mengeksplorasi bakat dan minat mereka, di sisi lain juga membimbing mereka menuju nilai-nilai keislamannya.

Sebagai catatan akhir, saya menyadari bagaimana dunia pendidikan saat ini sangat dipenuhi oleh model-model pembelajaran yang dehumanitatif. Mungkin, pemikiran Illich tentang pendidikan kritis perlu ditengok kembali. Atau, diterapkan kembali dalam konteks agama Islam. Sebab, dengan mengkolaborasikan kebebasan belajar ala Illich dan nilai-nilai akhlak Islam, secara tidak langsung kita telah menyiapkan anak-anak menuju jalan yang terang-benderang. Kita tidak hanya menyiapkan anak-anak kita menuju kesuksesan dunia, melainkan juga kesuksesan di akhirat.

Editor: Soleh

Adhitya Prasta Pratama
4 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi.
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds