Dunia pondok pesantren memang menjadi salah satu hal yang menarik untuk dikaji di era ini. Pendidikan yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun yang lahir sebelum negara Indonesia merdeka, kini masih menunjukan eksistensinnya.
Tidak hanya itu, pendidikan pesantren juga turut berkontribusi melahirkan tokoh-tokoh bangsa dan agama. Seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Abdurahman Wahid dan tokoh bangsa yang lainnya.
Pondok pesantren muncul dan tumbuh untuk menstransmisikan ajaran Islam tradisional, yang identik dengan kajiannya tentang kitab-kitab klasik yang dituliskan ulama-ulama pada masa dahulu.
Lembaga tersebut eksis dan diakui masyarakat dengan sisitem asrama yang peserta didik atau santrinya menerima pengajaran yang langsung disampaikan oleh kyai, sosok yang karismatik dan independen.
Menilik Kembali Dinamika Pondok Pesantren di Era Sekarang
Lembaga tersebut, di era ini sudah banyak mengalami perubahan. Pondok pesantren yang dahulu kental akan nilai-nilai Islam tradisional, kini banyak yang bertransformasi menjadi lembaga yang mengalami pembaharuan dengan mengikuti perlembangan zaman, yaitu mensatupadukan nilai tradisional dan nilai-nilai modernitas.
Dengan menjamurnya lembaga pondok pesantren yang menerapkan sistem tersebut, masih ada juga pondok pesantren yang masih melestarikan nilai-nilai yang kental akan Islam tradisional.
Bahkan, ada juga pondok pesantren yang masih menutup diri dari modernitas dan masih menerapkan sistem Islam tradisional sebagai penopang nilai-nilai religius mereka.
Akan tetapi, Islam tradisional yang dijadikan penopang nilai-nilai religus tersebut, yang seharusnya mampu menjadikan lokomotif untuk menghadapi perkembangan zaman, justru membuat nilai-nilai tersebut cenderung membekukan eksistensi pondok pesantren itu sendiri. Bahkan, nilai-nilai tersebut melahirkan pemikiran-pemikiran santri yang cenderung konservatif yang bias akan konteks modernitas.
Hal itulah yang memantik cendikiawan muslim Nurcolish Madjid atau akrab dengan sapaan Cak Nur, mengomentari hal tersebut. Tidak sekedar mengomentari, beliau juga mengkritik lembaga pendidikan pondok pesantren.
Kritik Cak Nur Mengenai Arah Gerak Pesantren
Ada banyak hal yang dikritik oleh Cak Nur dari nilai-nilai pendidikan yang ada di pesantren. Hal itu tertuang dalam bukunnya yang berjudul Modernisasi Pesantren (Kritik Nurcolish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional). Beliau membagi beberapa poin mengenai pandangan kritisnya terhadap pendidikan pondok pesantren.
Di antarannya, mengenai visi dan tujan pesantren yang kurang kuat. Hal tersebut menurut Cak Nur, pendidikan pondok pesantren tidak banyak yang menerapkan atau merumuskan tahapan-tahapan rencana program yang spesifik. Salah satu penyebabnya adalah otoritas kyai yang berlebihan.
Apalagi sosok kyai yang masih mempunyai prespektif tradisional, yang kurang mampu merespon tuntutan zaman, yang terlalu mengedepankan aspek intuitif untuk mengambil kebijakannya. Sehingga menjadikan pondok pesantren tersebut tidak bisa melebur dikehidupan modern.
Kurang Relevannya Pembelajaran Pesantren Terhadap Perkembangan Zaman
Berbicara mengenai pondok pesantren, tentunya tak lepas dari pembicaraan tentang disiplin ilmu Fikih, yang mana, menjadi pedoman di setiap nafas orang Islam.
Beriringan dengan terus berkembangnya zaman, tentu ada problematika yang baru mengenai relevansi hukum fikih yang menjadi pedoman disetiap muslim tadi.
Namun menurut Cak Nur, pengetahuan fikih yang dikuasai oleh santri, ternyata masih banyak didominasi oleh hukum-hukum hasil ijtihad ulama masa lalu. Dengan demikian, para santri atau bahkan kyainya belum mampu mengkontekstualisasikan hukum atau fikih tersbut di masa sekarang.
Tidak hanya dalam bidang fikih, dalam bidang tafsirpun Cak Nur juga mempunyai perhatian khusus. Menurut Cak Nur, bidang tafsir Al-Qur’an merupakan studi yang jarang sekali dihasilkan dari kalangan pesantren. Padahal, ilmu dalam bidang tafsir ini memiliki cakupan luas, yang mampu menjelaskan ajaran Islam secara komprehensif.
Cukup disayangkan, kalangan pesantren kurang berminat menggarap bidang ini. Hal itu terbukti masih minimnya ragam kitab tafsir yang diajarkan. Kajian tafsir di kalangan pesantren kebanyakan tidak jauh dari Tafsir Jalalain saja.
Hal demikian seupa dengan pendapat Martin Van Bruinessen. Dalam penelitiannya, ia menemukan 8 buah kitab tafsir, namun yang diajarkan di pondok pesantren, kebanyakan hanya Tafsir Jalalain saja.
Kurangnya Kemampuan Kongnitif Santri
Dalam hal lain, Cak Nur juga mengkritik kurangnya penggalian kemampuan kognitif bagi santri. Tidak ada sistem control, baik tes maupun tertulis, untuk mengetahui kemampuan berpikir atau keilmuan yang sudah dikuasai santri.
Para santri terlalu sering didekte oleh guru atau Kyainya sehingga tidak bisa mengembangkan pemikiran dan ide-idenya.
Apalagi berani bersikap kritis terhadap materi-materi yang disampaikan kyai. Tentunya tetap mengedepankan attitude terhadap kyainya.
Ide-Ide Cak Nur Terhadap Kemajuan Pondok Pesantren
Tidak hanya sebatas mengkritik saja, Cak Nur juga turut menyumbangkan ide-idenya untuk kemajuan pondok pesantren. Pertama, pesantren berhak mempertahankan fungsi pokoknya yaitu sebagai wadah pelajar untuk menempuh pendidikan keagamaan.
Namun, perlu ditinjau ulang bahwa pendidikan pesantren yang intens mengajarkan keilmuan Islam, tidak hanya parsial. Tetapi harus mampu memberi jawaban yang komprehensif dari seluruh persoalan hidup yang dihadapi individu.
Kedua, pesantren harus peka terhadap tuntutan hidup para santrinya untuk berpacu menghadapi perkembangan zaman.
Pesantren dituntut untuk tidak hanya memberikan pendidikan agama saja, namun pengetahuan umum harus ikut serta ditanamkan disetiap individu santri, sebagai bekal mereka kelak.
Pesantren juga sangat perlu memberikan wadah bagi santrinya, untuk membuka berbagai peminatan, sebagai alternatif, yang bisa dipilih sesuai bakat atau keinginan para santri.
Dengan adanya hal tersebut, santri akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghadapi tantangan dan menjawab tuntuan zaman.
Editor: Yahya FR