Tujuh tokoh pendiri Muhammadiyah mungkin amat asing di telinga warga Muhammadiyah. Merekalah sesungguhnya yang berjasa besar dalam proses mengurus perizinan organisasi Muhammadiyah. Tanpa mereka, proses perizinan yang dibantu oleh pengurus Boedi Oetomo cabang Yogyakarta, barangkali Muhammadiyah tidak pernah menjadi organisasi resmi yang mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial pada masanya. Berikut ini konologi kisahnya.
Mendirikan Muhammadiyah
Pada tahun 1911, dalam sebuah pertemuan di Langgar Duwur, KH Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya mendiskusikan rencana pembentukan sebuah perkumpulan yang akan menjadi wadah pergerakannya. Kiai Sangidu mengusulkan nama ”Muhammadiyah” sebagai gerakan yang akan memajukan umat Islam. Setelah melakukan shalat istikharah, KH Ahmad Dahlan menetapkan Muhammadiyah ini sebagai nama perkumpulan yang akan didirikan.
Demikian informasi yang digali dari sumber Ahmad Adaby Darban dalam bukunya, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah (2000: 54). Sumber lain yang memuat informasi serupa adalah HA. Basuni dalam artikel, “Mengenang: Ibu Umnijah A.W. Pendiri NA dan TK Bustanul Athfal, Muballighah sampai Achir Hajat”(Suara Muhammadijah no. 14 tahun 1972).
Keinginan untuk membentuk sebuah perkumpulan Islam yang resmi diutarakan KH Ahmad Dahlan kepada pengurus Boedi Oetomo. Karena hubungan harmonis telah terjalin, maka pengurus Boedi Oetomo tidak keberatan membantu KH Ahmad Dahlan. Boedi Oetomo merupakan salah satu organisasi yang dipandang legal menurut pemerintah Hindia Belanda, sehingga proses pengajuan permohonan badan hukum (rechtpersoon) Muhammadiyah harus melewati organisasi ini.
Sebelum keluar rechtspersoon Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan harus mengikuti prosedur yang disarankan oleh Raden Mas Boedihardjo dan Raden Dwidjosewojo. KH Ahmad Dahlan harus membentuk kepengurusan Boedi Otomo kring Kauman, jika hendak meminta bantuan mengurus proses perizinan kepada pemerintah Hindia Belanda. Prosedur yang ditetapkan Boedi Oetomo, untuk membentuk sebuah kring minimal harus didukung oleh minimal tujuh orang yang akan masuk menjadi anggota dan pengurus organisasi ini.
Tujuh Tokoh Muda
Terdorong oleh keinginan kuat untuk segera mendirikan perkumpulan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan meminta bantuan murid-muridnya untuk bersedia bergabung dalam kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman. Murid-murid KH Ahmad Dahlan adalah para pemuda Kauman yang sangat revolusioner. Kehendak sang khatib amin langsung mendapat dukungan dan sambutan positif, sehingga terkumpullah enam pemuda yang menyatakan bersiap sedia bergabung dalam kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman.
Keenam pemuda perintis zaman baru ini adalah: RH. Sjarkawi, H Abdoelgani, H Sjuja’, H Hisjam, H Fachrodin, dan H Tamimuddari. Sosok KH Ahmad Dahlan sendiri menggenapi jumlah tujuh orang yang menjadi syarat minimal pembentukan organisasi Boedi Oetomo kring Kauman. Selain harus mengikuti semua aturan dan prosedur organisasi, murid-murid KH Ahmad Dahlan harus bersedia membayar iuran anggota BO sebesar f. 0,25 tiap bulan (Kyai Syuja’, 2010: 86).
Ketujuh tokoh tersebut dinilai berjasa besar besar dalam rangka mempermudah proses pengajuan permohonan rechtpersoon Muhammadiyah. Memang tidak langsung disepakati oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda (A.W.F. Idenburg). Sebab masih harus menunggu korespondensi selama 20 bulan. Tetapi berkat jasa ketujuh tokoh tersebut, Gubernur Jenderal Hindia Belanda akhirnya mengeluarkan besluit pada tanggal 22 Agustus 1914, menetapkan Muhammadiyah sebagai organisasi resmi yang mendapat hak-hak sepadan seperti organisasi-organisasi lain.
Penulis : Mu’arif
Riset : Tim IBTimes
Editor : Yahya & Nabhan