IBTimes.ID – Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga melaksanakan Kuliah Umum untuk mahasiswa baru dengan mengusung tema “Moderasi Beragama di Era Artificial Intelligence (AI)” pada Rabu (4/9/24). Kuliah Umum kali ini menghadirkan Dr. Fajar Riza Ul Haq, Staf Khusus Menteri Sekretariat Negara RI.
Dalam pemaparan materinya, Fajar menyampaikan bahwa aktivitas keseharian kita telah melibatkan kecerdasan buatan. Smartphone yang kita miliki itu berisikan kecerdasan buatan.
“Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan sudah kita jumpai sejak memakai handphone. Ketika kita ketik di google, biasanya akan muncul kata prediksi, kita memilih apa selanjutnya,” ujar Fajar.
Fajar mengatakan, bangsa Indonesia sejatinya memiliki DNA tengahan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh tokoh bangsa dalam merumuskan dan memutuskan Pancasila sebagai dasar negara. Kendati membawa pemikiran dari kelompok-kelompoknya masing-masing, namun mereka tetap dapat melakukan konsensus.
“Konsensus fundamental mengenai konstitusi bangsa (Pancasila) menunjukkan bahwa DNA bangsa ini tengahan (wasathiyah). Dimana tidak mengambil ideologi agama, tidak juga mengambil ideologi sekuler. Bangsa lain mengagumi bangsa ini karena DNA-nya wasathiyah,” papar Fajar.
Fajar menyebutkan, setidaknya ada lima indikator dalam Moderasi Beragama. Pertama, Komitmen kebangsaan. Apa pun agama kita tidak mempersoalkan kebangsaan kita.
Kedua, Toleransi yang tinggi. Islam bisa diterima di Indonesia secara damai karena menebarkan tasamuh (toleransi). Sebab cara beragama yang ekstrem hanya akan memicu benturan. Masing-masing agama di Indonesia harus melakukan upaya moderasi agar tidak terjadi benturan satu sama lain.
Ketiga, Menghargai tradisi. Islam berkembang baik karena menghargai tradisi. Menerima tradisi yang membawa maslahat, menolak tradisi yang membawa mafsadat.
Keempat, Menjauhi perilaku kekerasan. Apapun bentuk kekerasan, baik fisik maupun verba, salah satunya contohnya bullying harus dihindari. Bullying itu musuh pendidikan, bullying itu bagian dari kekerasan.
Kelima, Menerima modernitas dan kemajuan. Tradisi dan modernitas harus seiring dan sejalan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan, sebab semua manusia orientasinya menuju ke masa depan.
Fajar menjelaskan bahwa tidak cukup melakukan Moderasi Beragama, namun juga diperlukan Moderasi Keindonesiaan. Sebab yang menyelamatkan bangsa ini adalah sikap moderat (tengahan).
Selain itu, di tengah merebaknya fenomena disinformasi atau penyebaran berita hoax di ruang digital, Fajar memberikan kiat-kiat dalam upaya menghadapi isu-isu di media sosial. Pertama, suspend jugment (penundaan penghakiman). Preferensi bacaan, kalau suka dengan suatu tokoh dibaca, kalau tidak diabaikan. Kalau sesuai dengan kita, maka kita share. Kita harus melakukan penilaian terlebih dahulu.
Kedua, critical thinking. Kita harus punya budaya kritis. Ini yang membedakan orang kuliah dengan yang tidak kuliah. Critical thinking anda menjadi sangat penting penelitian di masa depan anda.
Ketiga, kesadaran dan empati. Adapun yang tidak dimiliki oleh Artificial Intelligence (AI), yakni kesadaran dan rasa. Kapabilitas intelektual dan memiliki empati. Maka dari itu, selain intelektual kampus juga harus mengasa rasa (empati). Mengasah kecerdasan dan mengasah hati mahasiswanya.
UIN Salatiga mengusung branding Green Wasathiyah Campus. Prof. Zakiyudin Baidhawi, MA, Rektor UIN Salatiga mengatakan bahwa Green Wasathiyah itu memiliki makna keseimbangan (equilibrium). Dari sini diiharapkan semua mahasiswa dan alumni UIN Salatiga agar senantiasa menjalani kehidupan dengan keseimbangan.
Pada tahun ajaran 2024/2025, UIN Salatiga menerima mahasiswa baru, sarjana, magister, dan doktor berjumlah 2.555 orang. UIN Salatiga juga menerima mahasiswa non-muslim. Selain itu, UIN Salatiga juga kedatangan mahasiswa dari negara luar berjumlah 36 orang.
(Soleh)