Kyai dan tokoh pesantren menjadi target strategis bagi para politisi dalam membangun basis dukungan politik di Indonesia. Dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu), suara dari kalangan kyai dan santri menjadi objek persaingan bukan hanya bagi partai berbasis Islam, tetapi juga partai nasionalis.
Artikel ini mengulas fenomena tersebut dengan tujuan untuk mendalami implikasi keterlibatan politik kyai dan pesantren, yang pada gilirannya memengaruhi akses politik umat Islam dan menciptakan dinamika politik yang unik di Indonesia.
Peran Politik Pesantren
Sejarah mencatat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi selain itu, pesantren juga memiliki peran politik yang signifikan dalam masyarakat tradisional. Pesantren seringkali terlibat dalam dinamika politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk dalam momen-momen krusial seperti pemilihan umum, pemilihan presiden, atau pemilihan kepala daerah.
Trend ini tidak hanya memperluas akses politik di kalangan Islam, tetapi juga memberikan dampak pada berbagai kelompok politik. Munculnya sayap Islam dalam PDIP adalah contoh konkret dari dampak tersebut. Namun, di sisi lain, situasi ini juga menciptakan fragmentasi politik yang unik di kalangan umat Islam, dengan terulangnya oportunisme politik seperti yang terjadi pada era 1950-an. Pergulatan politik antar tokoh Islam menunjukkan kekuatan oportunisme di kalangan politisi muslim, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakseragaman dalam menyikapi berbagai persoalan politik.
Pesantren, yang secara historis berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam, juga memiliki peran politik yang tidak dapat diabaikan di tengah masyarakat tradisional. Dinamika pusaran arus tarik-menarik kepentingan politik menjadikan banyak pesantren terlibat dalam ranah politik.
Keterlibatan pesantren dalam politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, mencerminkan bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang tetap eksis, tetapi juga entitas sosial yang memiliki pengaruh kuat dan unik dalam sistem politik Indonesia.
Sejak era Reformasi dengan ditandai demokratisasi dan keterbukaan sistem politik, sikap politik kaum santri semakin mencuat. Kesuksesan Abdurrahman Wahid, seorang santri, dalam mencapai jabatan Presiden Republik Indonesia adalah bukti konkrit dari peran politik kyai dan pesantren yang semakin menonjol. Komunitas pesantren menjadi pusat perhatian politik, di mana partai politik dan politisi secara konsisten melakukan kunjungan politik ke pesantren-pesantren yang memiliki pengaruh.
Tipologi Politik Umat Islam
BJ. Bolland dalam karyanya, “The Struggle of Islam in Modern Indonesia,” menyatakan bahwa ketertarikan umat Islam pada partai politik tidak hanya disebabkan oleh kemampuan partai dalam memperjuangkan dan membela kepentingan Islam. Lebih dari itu, tipologi umat Islam dalam memandang hubungan politik dengan Islam juga memainkan peran kunci. Terdapat tiga tipologi dalam berpolitik menghadapi Islam: ideologis, rasional dan kharismatik.
Dalam konteks tipologi ideologis, umat Islam memandang berpolitik sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari agama Islam itu sendiri. Bagi mereka, semangat pembelaan politik sejalan dengan semangat membela dan memiliki Islam. Dalam pandangan ini, memilih sebuah partai politik dianggap setara dengan memilih agama Islam.
Selanjutnya, ketaatan dalam politik dipandang sebagai bentuk ketaatan terhadap ajaran agama Islam. Tipologi ideologis menciptakan keterkaitan erat antara identitas keagamaan dan keputusan politik, di mana keberagamaan menjadi panduan utama dalam menentukan preferensi politik.
***
Dalam tipologi rasional, umat Islam memandang kemampuan partai politik untuk menawarkan program yang dapat memperbaiki atau memperjuangkan nasib rakyat sebagai dasar utama dalam memilih atau tidak memilih partai politik tertentu. Keputusan politik didasarkan pada pertimbangan rasional yang berkaitan dengan manfaat konkrit yang dapat diberikan oleh partai politik.
Umat Islam yang mengadopsi tipologi rasional lebih fokus pada substansi program politik daripada pada aspek keagamaan atau kharisma pribadi. Pandangan ini menempatkan umat Islam dalam posisi aktif dan kritis, memilih partai politik berdasarkan analisis rasional terhadap kebijakan dan program yang diajukan.
Tipologi kharismatik menyoroti dampak figur kharismatik dalam membentuk pandangan politik umat Islam. Dalam hal ini, sikap politik dipengaruhi oleh kharisma dan pengaruh pribadi seorang tokoh atau pemimpin politik. Umat Islam yang mengadopsi tipologi kharismatik cenderung menilai politik melalui kacamata pribadi pemimpin yang dikaguminya.
Figur politik menjadi rujukan utama dalam sikap dan perilaku politik umat Islam. Akibatnya, kekaguman yang berlebihan terhadap figur dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan umat Islam untuk bersikap dan berpikir rasional, karena keputusan politik mereka sangat dipengaruhi oleh pengaruh personalitas pemimpin.
Peran Kyai dan Relasi Kultural dengan Santri
Kyai, sebagai entitas elite, mendapatkan perhatian istimewa dalam politik. Posisinya sebagai figur yang berpengetahuan luas dan teladan bagi umat Islam menjadikan kiai sebagai sumber legitimasi, baik dalam domain agama maupun sosial politik. Secara kultural, hubungan antara kiai dan santri bersifat “sami’na wa atho’na,” di mana apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh kiai diikuti dengan patuh dan taat. Dengan dinamika ini, kiai memiliki peluang besar dalam kontestasi politik, baik sebagai komoditas atau pelaku kegiatan politik.
Relasi antara kyai, santri, dan politik telah mengalami perubahan. Kesadaran masyarakat dalam menempatkan kyai pada fungsi khusus sebagai guru spiritual dan pembimbing umat menciptakan transformasi dalam peran politik kyai. Jika kyai memasuki dunia politik, posisi utamanya dalam kawasan keagamaan dapat tergeser.
Perubahan posisi seorang kyai dari peran pusat sebagai guru spiritual ke posisi pinggiran sebagai politisi menciptakan dinamika kompleks. Saat berperan sebagai guru spiritual, kyai tetap mendapatkan ketaatan, namun ketika terlibat dalam politik dan menempati posisi pinggiran, tingkat kepatuhan cenderung menurun. Keputusan kyai untuk kembali fokus pada peran guru spiritual dapat diterima atau ditolak oleh masyarakat, bergantung pada pandangan terhadap keterlibatan politik yang sering dianggap profan, dan posisioning kyai dalam menjalani peranannya dalam dunia politik.
Pesantren dan kyai memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika politik di Indonesia. Meskipun seringkali menjadi sasaran politik, keterlibatan pesantren membuka akses politik bagi kalangan Islam, sementara itu juga menciptakan tantangan berupa fragmentasi politik. Perubahan relasi kyai dan pesantren dalam politik membutuhkan pemahaman mendalam terhadap tipologi politik umat Islam dan mencari keseimbangan antara fungsi pendidikan dan keterlibatan politik pesantren.
Editor: Soleh