Di balik berdirinya republik Indonesia terdapat beberapa sosok penting yang berjuang dan berkorban dengan seluruh raga, pikiran, dan hatinya. Salah satunya adalah Kyai Muhammad Santri atau dikenal dengan nama Eyang Santri. Mungkin beberapa orang jarang mendengar nama beliau. Karena memang namanya jarang atau mungkin tidak ada di dalam buku-buku sejarah. Tetapi perjuangan beliau untuk republik Indonesia tidak bisa dianggap biasa. Sebab perjuangan yang beliau tempuh bukan hanya sebatas lahiriah semata tetapi juga secara batiniah. Itulah yang kemudian membuat Dr. Ali M. Abdillah mengangkat perjuangan dan pemikiran khususnya tentang sufisme Kyai Muhammad Santri.
Perjuangan dan pemikiran tentang sufisme Kyai Muhammad Santri yang ditulis Dr. Ali M. Abdillah ini awalnya merupakan disertasi yang kemudian dijadikan buku berjudul “Sufisme Jawa: Ajaran Martabat Tujuh Sufi Agung Mangkunegaran Kyai Muhammad Santri (Tokoh Perlawanan Kolonialisme dan Penggerak Nasionalisme)”.
Buku yang terbit tahun 2020 ini setebal 263 halaman dan terdiri dari lima bab, yakni: 1). Pendahuluan, 2). Genealogi Martabat Tujuh dan Jaringan Transmisinya di Nusantara, 3). Kyai Muhammad Santri Sufi dan Pejuang Mangkunegaran Pengembang Martabat Tujuh, 4). Teks Martabat Tujuh Kyai Santri, 5). Karakteristik dan Praktik Sufisme Martabat Tujuh Kyai Santri.
Biografi Kyai Muhammad Santri
Sejarah hidup Kyai Santri belum pernah dipublikasikan secara luas dalam bentuk biografi. Oleh karena itu, banyak masyarakat luas baik secara umum maupun trah mangkunegaran secara khusus yang tidak banyak mengenal sosok Kyai Santri.
Menurut pihak keluarga atau keturunan beliau, ada wasiat dari Kyai Santri supaya tidak mempublis sejarah Kyai Santri, sebab nanti ada saatnya untuk dipublikasikan. Pihak keluarga baru menyampaikan kisah Kyai Santri secara umum setelah tahun 1995 saat HUT RI ke-50. Hal ini sesuai dengan pesan Kyai Santri kepada anak cucunya.
Sejarah Kyai Santri bermula dari pernikahan Pangeran Sambernyawa atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I Surakarta menikah dengan Mas Ayu Kusuma Patahati. Dari pernikahan itu, lahir seorang anak bernama Raden Mas (RM) Sura dan diberi gelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Prabumijaya.
KPH Prabumijaya menikah dengan permaisuri bernama Mas Ayu Retna Asmara putri dari Sinuhun Pakubuwana III. Dan KPH Prabumijaya juga menikah dengan selirnya bernama Raden Ayu Trikusuma putri Kanjeng Raden Tumenggung Cakraningrat Pamekasan Madura dan melahirkan putra bernama Raden Mas Suliya yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Jayakusuma yang tak lain adalah Kyai Muhammad Santri. Menurut beberapa sumber tahun kelahiran Kyai Muhammad Santri adalah tahun 1771 dan wafat pada 31 Mei 1929.
Semasa hidup setelah perang Diponegoro (1825-1830) Kyai Santri menetap di desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di tempat ini Kyai Santri juga melakukan khalwat selama 10 tahun. Tempat khalwat ini dikemudian hari diberi nama Pondok Gusti posisinya berada di pucuk bukit sekitar 3-4 km dari desa Girijaya.
Kyai Santri dan Perjuangan Kemerdekaan.
***
Di dalam buku ini dijelaskan bagaimana Kyai Santri dan Pangeran Diponegoro berjuang bersama melawan pihak kolonial. Bahkan setelah perang Diponegoro selesai, Kyai Santri masih terus berjuang demi bangsanya. Selama menetap di Girijaya Kyai Santri banyak dikunjungi para tokoh-tokoh besar, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Tercatat tokoh-tokoh yang datang bahkan menjadi murid Kyai Santri adalah HOS Cokroaminoto, dr. Soetomo, Ir. Soekarno, dr. Tjipto Mangunkoesomo, KH. Samanhudi, RMP Sosrokartono, dan dr. Rajiman Wedyodiningrat. Sedangkan tokoh dari luar seperti tokoh teosofi Belanda Dirk Van Hinloopen Labberton.
Pada tahun 1900, dr. Soetomo dan Wahidin Sudiro Husodo pernah datang ke Girijaya untuk meminta izin dan restu Kyai Santri untuk mendirikan Boedi Oetomo pada tahun 1908. Dan pada tahun 1912 saat akan didirikan Serikat Islam (SI) di Jawa Barat, Kyai Santri sudah memberikan saran kepada pendiri SI untuk tidak melakukan pemberontakan sebab kondisinya belum memungkinkan. Namun nasehat Kyai Santri tidak didengar oleh para pendiri SI akibatnya pimpinannya ditangkap oleh pihak Belanda. Menurut beberapa sumber, pada tahun 1927 Raden Ayu Ngabei Jayapuspita pernah bertanya soal masa depan bangsa Indonesia.
Kyai Santri menjawab suatu saat Indonesia akan merdeka setelah Juliana menjadi Ratu Hindia Belanda menggantikan ibunya. Sedangkan terkait kedatangan ratu adil, Kyai Santri menjawab dengan analogi “bocah bajang sing nunggang jaran” artinya rakyat biasa yang sedang menempuh pendidikan, saat ini mereka masih sekolah. Tetapi suatu saat ia akan menjadi pemimpin di negeri ini. Tokoh yang dimaksud Kyai Santri adalah pemuda yang terus memperjuangan kemerdekaan bangsa seperti, Soekarno dan para tokoh-tokoh lainnya.
Perjuangan dan dukungan Kyai Santri terhadap tokoh-tokoh muda serta proses-proses Indonesia menuju kemerdekaan pun berlanjut. Saat Mohammad Yamin mengadakan kongres pemuda mereka sowan kepada Kyai Santri. Mereka menyampaikan ada masalah terkait pelaksanaan kegiatan tersebut yakni kekurangan dana. Kyai Santri menanggapi secara positif gagasan tersebut dengan memberikan restu dan biaya sebesar 1000 gulden. Setelah memperoleh bantuan tersebut akhirnya Sumpah Pemuda dapat dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928.
Kyai Santri dan Ajaran Martabat Tujuh
Selain dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Kyai Santri juga dikenal sebagai tokoh sufi berdarah ningrat yang menyebarkan ajaran Martabat Tujuh. Ajaran martabat tujuh bersumber dari kitab al-Tuhfah al-Mursalah yang ditulis oleh Syekh Fadl Allah al-Burhanpuri dari Gujarat India.
Kitab ini pertama kali masuk ke Nusantara dibawa oleh Syekh Syamsudin Sumatrani. Kitab ini berisi tujuh tingkatan wujud dari qadim hingga huduth, yaitu ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mithal, alam asjam, dan insan kamil.
Intisari dari ajaran martabat tujuh adalah keesaan wujud, Syekh Burhanpuri menggunakan istilah wahdat al-wujud. Menurut beberapa pendapat genealogi ajaran martabat tujuh bersumber dari ajaran Ibnu ‘Arabi. Menurut A.H Johns, ajaran martabat tujuh merupakan ajaran tasawuf falsafi yang paling populer di Sumatra dan Jawa sejak abad ke-17 sampai 20 M.
Di dalam buku ini, dijelaskan secara rinci bagaimana ajaran, sanad, dan perkembangan ajaran martabat tujuh sampai ke Nusantara hingga kepada Kyai Santri. Bahkan buku ini juga menjelaskan mengenai perdebatan tentang ajaran martabat tujuh di Nusantara.
Sebagai seorang pengamal dan salah satu penyebar ajaran martabat tujuh di Nusantara. Kyai Santri mengembangkan ajarannya melalui karyanya berjudul naskah Girijaya yang berisi ajaran tauhid dan hakikat ketuhanan. Meski bagi sebagian orang ajaran martabat tujuh dianggap berat, tetapi kehadiran buku karya Dr. Ali M. Abdillah yang mengulas kehidupan serta ajaran Kyai Santri sebagai sosok sufi sekaligus pejuang kemerdekaan ini layak untuk dibaca. Karena buku ini kaya akan data atau sumber-sumber terkait sejarah pemikiran ulama Nusantara yang selama ini jarang diketahui.
Judul: Sufisme Jawa: Ajaran Martabat Tujuh Sufi Agung Mangunegaran
Penulis: Dr. Ali M. Abdillah, MA.
Tahun: 2020
Penerbit: Yayasan Maarif Al-Rabbany
ISBN: 9786-2395-67705
Editor: Yahya FR