“Kowe tak sayang-sayang, saiki kok malah ngilang.”
Suatu pagi saya tersentak mendengar bait lagu itu keluar dari mulut anak pertama saya yang belum genap berusia tiga tahun. Lagu gubahan Didi Kempot berjudul Ninggal Tatu tersebut dengan benar dinyanyikan. Meski tanpa nada, ia berhasil menirukan liriknya.
Saya tak perlu bertanya bagaimana dia hapal penggalan lagu tersebut. Sebagaimana lagu dangdut lain, Ninggal Tatu kerap terdendangkan di mana-mana; Tik-Tok, Youtube, HP tetangga, musik yang diputar di warung sebelah rumah, hingga acara kawinan.
Terlepas dari karya Didik Kempot yang saya kagumi, sebagaimana lazimnya orang tua zaman sekarang saya pun akan gelisah mendapati anak hapal lagu yang belum selayaknya mereka dengarkan. Akhirnya dengan arogan saya berfikir, “wah, anak jaman sekarang tidak mengenal lagu-lagu anak seperti dulu”.
Ya, dulu begitu banyak lagu anak yang mengajarkan berbagai nilai yang baik; cuci tangan, bangun pagi, mengenal alam, hingga cara untuk mencintai anggota keluarga. Lagu-lagu tersebut pun masih terngiang di pikiran saya dan para orang tua sebaya saya, mungkin.
Harus diakui bahwa tahun 60-an hingga 90-an merupakan kejayaan lagu anak. Puncaknya tahun 90-an dengan munculnya idola seperti Joshua, Trio Kwek-kwek, Agnes Monika, Chikita Meidy, Cindy Cenora dan banyak lagi.
Akhirnya, munculah angan-angan di benak banyak orang bahwa kejayaan itu perlu dikembalikan. Lagu-lagu sekarang tidak layak dikonsumsi anak. Tapi angan-angan itu menurut saya masih sangat berat diwujudkan.
Lagu Anak dan TVRI
Perlu diketahui, sejarah lagu anak di Indonesia berkaitan dengan keberadaan TVRI. Ia merupakan satu-satunya stasiun TV yang ada pada masa itu. Sebagai televisi pemerintah, TVRI memiliki tanggung jawab menghibur dan mengedukasi masyarakat. Dan salah satu targetnya adalah anak-anak.
Pada tahun 60-an ada sebuah program lagu anak berjudul Ayo Menyanyi. Dan lagu-lagu yang dijadikan sumber pun adalah karya maestro seperti Ibu Sud, Kusbini dan A. Simanjuntak. Program ini juga memberi kesempatan masyarakat untuk mengirim lagu-lagu anak kreasi baru.
Ayo Menyanyi terbilang sukses, hingga muncul program perlombaan lagu-lagu baru. Dan yang mengasuh program Ayo Menyanyi ini adalah pencipta lagu ternama A.T. Mahmud.
Selain Ayo Menyanyi, pada tahun 70-an TVRI pun membuat program anak berjudul Taman Indria dan Arena Anak-anak. Dan program ini pun diasuh oleh pencipta lagu ternama Ibu Kasur.
Pada masa sebelum ada televisi swasta, TVRI mejadi satu-satu tontonan audio visual. Dan anak menjadi salah satu prioritasnya segmennya. Maka tak ayal lagu-lagu anak populer pada masa itu. Bisa jadi inilah yang menjadi faktor lagu-lagu anak mencapai zaman keemasannya.
Kini saat televisi menjadi industri, lalu tayangan daring menjamur, yang terjadi adalah persaingan bisnis. Akibatnya, segala yang ditayangkan adalah komoditas, atas nama profit, reting dan trafik. Produk yang dibuat pun mau tak mau adalah budaya populer. Dan kita tahu apa yang menetas dari sana, yakni program-program dan tayangan picisan, termasuk lagunya yang tak layak untuk anak.
Maka meski telah ada berbagai upaya membangkitkan lagu anak berkualitas, tapi pasar tetap sulit ditembus. Lagu-lagu populer masih membanjiri saluran-saluran hiburan. Akibatnya, anak lagi-lagi mendendangkan lirik cinta, patah hati, dan ditinggal lari, sungguh ironi.
Pencipta yang Juga Pendidik
Dalam kurun dua dekade terkakhir, dapat dibilang tak banyak lagu anak baru. Mayoritas yang kita kenal dan masih diajarkan di sekolah adalah lagu-lagu lama.
Bagi saya lagu-lagu itu memiliki keunikan tersendiri. Rasanya sampai kapanpun lagu-lagu jadul itu tetap asik dinyanyikan dan diajarkan kepada anak-anak baik di rumah atau sekolah. Ia seolah tak lekang oleh zaman
Ibarat sebuah masakan enak pasti punya resep rahasia. Dan menurut saya rahasia kekuatan lagu-lagu itu ada pada penciptanya. Apa maksudnya? Kebanyakan pencipta lagu anak zaman dulu adalah seorang pendidik (guru).
Kita kenal A.T. Mahmud pencipta lagu Ambilkan Bulan, Pelangi, Anak Gembala, atau Bintang Kejora, beliau adalah seorang guru Taman Kanak-kanak (TK). Pak Kasur pencipta lagu Naik Delman, Sepeda dan Kebunku adalah seorang guru SD. Dan kita tahu Ibu Sud, wanita yang banyak menciptakan lagu patriotisme, juga seorang pendidik.
Sebagai seorang pendidik, gubahan mereka memang tidak sembarangan. Meski mengandung pembelajaran, saya tidak merasa ada kungkungan dan kekakuan nilai yang coba dipaksakan. Mereka memahami semesta anak-anak yang kaya imajinasi. Misalnya pada lagu A.T. Mahmud berikut;
“Pelangi-pelangi, alangkah indahmu. Merah kuning hijau, di langit yang biru. Pelukismu agung, siapa gerangan. Pelangi Pelangi, ciptaan Tuhan.”
Melalui lirik sangat sederhana dan mudah diingat itu, anak diajak memvisualkan keindahan sebuah fenomena alam. Tak hanya itu, mereka juga dikenalkan pada Tuhan melalui ciptaannya.
Contoh lain misal lagu Naik Delman. Di sini anak diperkenalkan dengan transportasi tradisional. Mereka bahkan diajak merasakan naik kendaraan yang mulai hilang itu dengan sangat detail hingga bunyi sepatu kudanya. Dan kita masih bisa menyebut banyak contoh lain.
Di dalam lagu-lagu bocah tersebut, ada ketulusan jiwa sosok orang tua kepada anaknya yang dituangkan. Mungkin itu juga yang membuat lagu-lagu mereka abadi dan belum bisa ditiru pencipta lagu saat ini.
Seharusnya, guru-guru sekarang bisa menjalankan peran sebagaimana A.T. Mahmud dan para pencipta lagu itu. Kita tahu medium-medium pendidikan bukan hanya pelajaran di sekolah, lebih spesifik lagi bisa berupa lagu. Karenanya, para guru juga perlu digerakkan untuk menciptakan lagu-lagu, bahkan mungkin membuat konten di Youtube atau Tik-Tok.
Editor: Dhima Wahyu Sejati