Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke-48 yang diselenggarakan pada 18 November 2022 di Kota Surakarta, Jawa Tengah, memiliki beberapa pembahasan yang menarik untuk diulas dalam tulisan kali ini. Yaitu gagasan “Internasionalisasi Gerakan Muhammadiyah” yang kembali diungkit, terlebih saat penyelenggaraan Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke-48 pada hari Senin 30 Mei 2022 silam.
Sehubungan dengan ide besar tersebut, Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, MSI, Ketua Umum Muhammadiyah terpilih, yang hadir sebagai keynote speaker menyuguhkan pembahasan terkait kosmpolitanisme Islam, yakni bahwasannya Muhammadiyah perlu mengedepankan ciri wasathiyyah Islam yang berkemajuan secara universal untuk misi rahmatan lil ‘alamin.
Menurutnya, ciri ini akan berguna dalam menghadapi perubahan dunia yang semakin dinamis karena pengaruh globalisasi yang tak terbendung. Sehingga setiap kecenderungan hegemoni dari beragam unsur dapat Muhammadiyah kendalikan melalui pendekatan integrasi dan interaksi-kolaborasi.
Dan lebih jauh lagi, ia menjelaskan ada enam poin yang bisa diimplementasikan dari gagasan “Internasionalisasi Gerakan Muhammadiyah.” Tiga di antaranya adalah revitalisasi jejaring Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PCIM-PCIA) di seluruh dunia, diaspora kader, dan membangun pusat keunggulan.
Dari tiga poin di atas, terdapat persambungan penting yang menarik untuk penulis ulik. Hal ini terkait kontribusi PCIM di Timur Tengah dalam membawa wajah Wasathiyyah Islam yang berkemajuan.
Wasathiyyah Islam dan Manhaj Azhari
Dr. Ahmad Umar Hasyim, salah satu mantan Rektor Azhar, dalam bukunya Wasathiyyah Al-Islam sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab menyebutkan bahwa wasathiyyah Islam adalah “Keseimbangan dan kesetimpalan antara kedua ujung sehingga salah satunya tidak mengatasi ujung yang lain. Tiada berlebihan dan berkekurangan. Tiada pelampauan batas tidak juga pengurangan batas. Ia mengikuti yang paling utama, paling berkualitas, dan paling sempurna.”
Itu artinya wasathiyyah dalam Islam bisa dipahami sebagai yang tidak ghulluw (berlebih-lebihan/eksesif) dan tidak ifrath (bermudah-mudahan/permisif). Lebih dari itu, Quraish Shihab menambahkan bila posisi tersebut tidak lantas membuat Islam lari dari kondisi sulit atau tanggung jawab. Melainkan tetap aktif memihak kepada kebenaran dengan tatap memperhatikan hikmah.
Dan sudah bukan menjadi rahasia umum bila berdirinya Al-Azhar sebagai intitusi jami’an dan jami’atan lintas zaman tak lekang dari nilai tersebut. Perubahan konteks bersama dinamika di dalamnya, tak sedikitpun mampu menggeser posisi Al-Azhar dari keyakinan asasi tersebut. Begitu juga ketika berkomunikasi pada dunia. Nilai tersebut terus dijaga dan diwariskan kepada anak-cucu fikrahnya.
Maka tak heran bila saat ini, melalui lisan Grand Syeikh Al-Azhar (GSA) Ahmad Thayyib, Al-Azhar terus menyuarakan perdamaian dan menolak setiap bentuk kekerasan atau terorisme di belahan bumi mana pun. Dan sudah tak terhitung kembali berapa banyak forum dunia, baik yang melibatkan petinggi negara maupun pemuka agama, telah diikutinya. Aksi nyata inilah yang semakin memperteguh citra Al-Azhar sebagai pionir penyampai risalah wasathiyyah Islam sepanjang masa.
Internasionalisasi Muhammadiyah: Menuju Berkeunggulan dan Berkemajuan
Predikat Al-Azhar sebagai kiblatnya ilmu keislaman bukanlah predikat kosong yang sepi dari pengakuan jumhur muslimin sedunia. Ditopang pembelajaran yang berjenjang dengan model talaqqi kepada syeikh yang bersanad dan kitab-kitab (matn, syarah, hasyiah) yang muktamad, Al-Azhar telah menjelma menjadi manhaj yang kredibel dan otoritatif.
Bahkan karena kebesarannyalah, manhaj-nya telah diadopsi oleh beberapa universitas Islam lainnya seperti Universitas Qairuwan, Universitas Zaitunah, Universitas Fez, dll. Bahkan mereka disebut sebagai Azhar al-Magrib al-Islamiy.
Oleh karena itu, PCIM Mesir berkewajiban menyalurkan aspirasi Al-Azhar kepada Muhammadiyah secara luas. Di antara cara yang ditempuh adalah dengan mempertinggi mutu intelektualitas para kadernya yang sedang menempuh studi di berbagai strata pendidikan. Mulai dari pembekalan ilmu alat dalam format muzakarah sampai kelompok kajian formal, diharapkan selepas mengikuti wadah-wadah tersebut, para kader diaspora di Mesir dapat mengamalkan ilmunya dan berkiprah dengan baik di Indonesia.
Dengan begitu tiga program gagasan “Internasionalisasi Gerakan Muhammadiyah” yang telah diprakarsai PCIM Mesir sebagai representasi PCIM di Timur Tengah telah terwadahi dengan baik. Besar harapan sinergitas antara Al-Azhar dan Muhammadiyah ini dapat terus kontinu, mengingat PCIM Mesir sendiri telah memasuki dekade kedua (20 tahun) dalam eksistensinya. Tidak saja untuk gerak ‘ke luar’ Muhammadiyah, namun juga ‘ke dalam’. Sebab dengan internalisasi nilai-nilai universal (wasathiyyah Islam) dalam tubuh Muhammadiyah akan menjadikan persyarikatan ini menjadi lebih stabil dan percaya diri dalam menatap masa depan dunia.
Editor: Yahya FR