Masa Depan Anak – Kamis (26/8/2021) seorang teman mengajak bermain bulutangkis dekat rumahnya. Lapangan itu baru saja diresmikan (konon) sebagai janji politik ketua RT terpilih. Letaknya cukup strategis, berada di tengah perkampungan, dikelilingi pepohonan besar, sangat nyaman dan asri, ingin rasanya berlama-lama disitu, menikmati semilir angin pagi hari.
Terlihat ibu-ibu lansia botram (sarapan bersama khas orang kampung) di pinggir lapangan, memang salah seorang diantaranya adalah nyonya pemilik lahan.
Tepat pukul 08.00, kami pun beranjak pergi karena ada pekerjaan yang perlu dituntaskan, diengkol lah sepeda menuju rumah di RT sebelah. Rupanya, jalanan gang (besar) tak begitu lancar, begitu ramai anak-anak yang bermain di jalan, iseng saya tanya, mengapa mereka tak belajar (sekolah), jawabannya adalah “sekolahnya libur”, jawaban lainnya, “sekolahnya online”.
Lain waktu sebelumnya menjumpai anak-anak yang asyik bermain di pagi hari, jawabannya cukup beragam; sekolahnya pake zoom, sekolahnya ngerjain LKS (lembar kerja siswa), sekolahnya ngumpulin tugas doang, tugasnya dikerjain mamah, asyik habis zoom bisa main FF (free fire) dan sebagainya.
***
Selain itu, terlihat dari profil mereka, saya yakin mereka belum mandi, saya tak hendak menuduh demikian, tapi baju dan air muka mereka mengindikasikan itu. Padahal mandi pagi (mungkin) dulu merupakan rutinitas yang tak pernah ditinggalkan, setidaknya fatwa guru mereka di sekolah ditunaikan.
Tetapi pembelajaran jarak jauh justru menjauhkan mereka dari rutinitas positif itu. Rutinitas itulah yang kelak menjadi ritual ketika si anak memasuki masa aqil balignya, dan menjadi tradisi ketika ia dewasa.
Kita sadar, kita paham, kita saksikan bahwa pada masa darurat Covid-19 ini, jangankan orangtua yang memiliki keterbatasan fasilitas seperti ponsel dan sebagainya, kementerian (Dikbudristek) dan dinas (pendidikan) terkait pun seolah bingung dan kehilangan platformnya. Program-program yang dicanangkan tak begitu berdampak signifikan bagi siswa, guru, dan sekolah, ramai seremonial sepi substansial.
Penyelesaian Problem Sekolah
Merujuk pada realitas objektif, beberapa sekolah berusaha menyelesaikan problem dengan cara berikut; 1) tatap muka terbatas; 2) tatap muka berkala; 3) kunjungan rumah (home visit); 4) Pembelajaran Daring dengan pendampingan individual; 5) bekerjasama dengan bimbel offline dan bimbel berbasis aplikasi; dan sebagainya.
Di sini kita melihat sekolah bertindak laiknya lembaga sertifikasi profesi yang memberikan ijazah atau lisensi saja sedang urusan kompetensi bisa didapatkan dari lembaga lain. Sekira model atau praktik semacam ini berlanjut, sangat berbahaya bagi masa depan Pendidikan kita.
Menjaga Rutinitas Anak
Maka, demi menjaga marwah sekolah, marwah orang tua, dan pendidikan tetap pada jalurnya, kita bisa mulai dari langkah-langkah kecil dengan menjaga rutinitas positif anak dengan cara;
1) Menyusun jadwal harian anak (bangun, tidur, mandi, makan, salat, membaca, dan atau menghafal Al-Qur’an, belajar, bermain di luar rumah, dan istirahat);
2) Menyusun kegiatan life skills sesuai usia anak (merapikan tempat tidur, mencuci piring, mencuci baju, menyapu, dan mengepel lantai, menyiram tanaman di lingkungan rumah, memberi pakan hewan peliharaan, merapikan lemari pakaian, mencuci sandal/sepatu, membereskan alat main, dan sebagainya).
3) Mengontrol kegiatan anak di dalam dan di luar rumah (durasi menonton televisi, durasi menggunakan ponsel, durasi bemain di luar rumah, memberikan pijakan tentang jenis tontonan, dan permainan yang ditonton dan dilakukan anak).
4) Mengevaluasi aktivitas harian anak secara berkala (perkembangan belajar, perkembangan bacaan Al-Qur’an, hafalan Al-Qur’an, bacaan zikir, dan doa hariannya, perkembangan kemandirian dan kedisiplinannya).
5) Mengklasifikasikan area rumah sesuai dengan aktivitas anak dengan memperhatikan aspek keamanan dan kesehatan anak (area belajar anak di mana? Area bermain di mana? Area ibadah di mana?).
6) Orangtua (bapak dan ibu) meluangkan waktu bersama anak secara periodik, cukup 1-2 jam saja (misal pendampingan belajar), boleh harian atau pekanan, dengan catatan rutin dilakukan.
7) Mengatur asupan gizi anak, makanan yang dikonsumsi anak memiliki andil yang cukup besar terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis anak (menu makan, snack, dan jenis minuman yang boleh dikonsumsi anak).
***
Ketujuh langkah di atas setidaknya bisa mereduksi, mengurangi, dan mengeliminasi berbagai kemungkinan buruk masa depan anak, sebab walaupun ada keterbatasan belajar di lingkungan formal (sekolah), setidaknya anak memiliki kedisiplinan, kemandirian, dan life skill agar survive di masa depannya. Sebab, di situlah pembiasaan rutin anak dibangun, di situlah optimisme itu ditumbuhkan.
Ingat! Pandemi akan dan terus merenggut masa keemasan anak-anak jika orang dewasa di sekeliling anak-anak tersebut diam, pasrah, dan berpangku pada ikhtiar sekolah semata. Perlu keseriusan, ketegasan, dan konsistensi antara orangtua dan sekolah, sinergi tersebut bisa dilakukan melalui 7 langkah di atas. Selamat mencoba
Editor: Yahya FR