Dalam beberapa hari terakhir, kita sama-sama menyaksikan bagaimana situasi politik di Indonesia berada dalam situasi yang dapat dikatakan darurat. Berangkat dari masa pemilihan presiden yang disinyalir adanya pelanggaran etik dari salah satu pasangan calon, hingga yang terakhir adanya isu pengesahan RUU Pilkada yang secara substansi peraturan akan menguntungkan salah satu putra dari bapak Presiden Indonesia, dan hal ini berpotensi menimbulkan pelanggaran etik kembali.
Melihat hiruk pikuk yang terjadi, kiranya kesabaran banyak lapisan masyarakat telah melebihi batas maksimal.
Di sosial media, kita melihat bagaimana netizen ramai-ramai mengunggah postingan bergambar burung garuda dengan latar berwarna biru dan bertuliskan “Peringatan Darurat”. Setelah itu, disusul dengan hadirnya unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah termasuk di depan gedung DPR RI.
Unjuk rasa yang hadir atas dasar keresahan dan aspirasi masyarakat yang menginginkan dibatalkannya pengesahan RUU Pilkada yang telah penulis singgung di atas.
Melihat arus politik di Indonesia beberapa bulan terakhir, adalah fakta jika dikatakan bahwa masyarakat telah muak dengan praktik nepotisme yang semakin marak dipertontonkan oleh para penguasa.
Sejalan dengan hal itu, menarik kiranya jika kita mengkaji mengenai bagaimana Islam memandang praktik nepotisme itu sendiri.
Nepotisme dalam Pandangan Islam
Perlu kita ketahui bersama bahwa Islam secara mutlak mengharamkan praktik KKN – korupsi, kolusi, dan nepotisme walaupun hal itu dilakukan dengan dasar apapun. Hal ini dapat kita lihat dalam Al-Qur’an surat An-nisa ayat 29-30.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu” (QS. 4:29)
“Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan dzalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. 4:30)
Dalam dua ayat di atas, jelas bahwa Islam tidak sama sekali memberikan ruang untuk para pelaku korupsi, kolusi, ataupun nepotisme. Karena praktik nepotisme jelas menggambarkan individu yang berbuat dzalim. Dalam hal ini, praktik nepotisme jelas akan merugikan banyak individu maupun kelompok tertentu karena pelaku nepotisme akan mengedepankan kepentingan keluarga maupun kroninya di atas kepentingan apapun dan dengan cara apapun.
Berangkat dari dua ayat Al-Qur’an di atas, dapat kita pahami dan sadari bersama bahwa Islam tidak memberikan sedikitpun celah untuk mereka yang berkepentingan dengan mengarah kepada praktik nepotisme.
Nepotisme dalam Pandangan Undang-Undang
Sejalan dengan hal itu, praktik nepotisme juga secara tegas dilarang oleh undang-undang. Hal ini dapat kita lihat dan pahami bersama dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hari ini, berangkat daripada itu semua, kiranya diam bukanlah pilihan ketika praktik nepotisme semakin marak dipertontonkan oleh mereka yang berkuasa. Proses politik dan demokrasi di Indonesia perlu terus berada pada jalur dan aturan mainnya. Tidak etis ketika hari ini undang-undang dimonopoli sebatas untuk kepentingan kelompok tertentu.
Bahan Renungan Bersama
Sekarang kita coba meliarkan pikiran dengan membayangkan bagaimana jika dalam proses politik di Indonesia, praktik nepotisme bukanlah sesuatu yang haram dilakukan. Kita akan melihat bagaimana setiap individu ataupun kelompok yang berkuasa akan selalu mengedepankan kepentingan keluarga ataupun kroninya di atas kepentingan bangsa.
Namun terlepas daripada itu, setiap individu yang akan memegang amanah kepemimpinan tentu saja perlu tetap diuji secara kapabilitas. Tidak boleh ada sedikitpun ruang untuk mereka yang gugup dan gagap ketika ditanya mengenai gagasan untuk kemajuan bngsa dan negara. Masyarakat tetap perlu “menyingkirkan” mereka yang tidak memenuhi kapasitas sebagai seorang pemimpin di negara yang besar seperti Indonesia.
Seluruh elemen masyarakat perlu menyadari bahwa tidak semua pemangku kepentingan di Indonesia memiliki kapasitas yang mumpuni bahkan tidak ada kesesuaian antara jabatan yang diduduki dengan latar belakang profesi yang dimiliki.
Apa yang telah dipertontonkan oleh para penguasa selama ini tidak dapat kita normalisasi sedikitpun. Meminjam kalimat dari para filsuf, bahwa ikan busuk mulai dari kepalanya. Jika demikian, akan seperti apa jadinya negara Indonesia jika dipimpin oleh mereka yang tidak memiliki kapasitas yang mumpuni sebagai seorang pemimpin. Akan dibawa kemana arah negara Indonesia jika kita dipimpin oleh mereka yang justru hanya mementingkan keuntungan untuk keluarga dan kroninya.
Melihat kondisi arus politik di Indonesia hari ini, penulis ingin berpesan untuk siapapun pembaca yang sampai hari ini tetap mampu memelihara akal sehat. Meminjam kalimat dari Thukul, untuk segala hal memalukan yang telah mereka pertontonkan, hanya ada satu kata: lawan!
Editor: Soleh