Munculnya kelompok yang mengaku paling sunnah cukup membuat gaduh kehidupan beragama seiman. Karenanya saya mendukung himbauan Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, ustadz Fathurrahman Kamal agar para da’i dan warga Muhammadiyah tidak ikut-ikutan dalam polemik menjadi paling sunnah, paling ahlu sunnah. Himbauan tersebut disampaikan pada Sabtu (22/6) dalam kajian rutin yang diadakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan di UMLA.
Agama hadir menjadi pencerah, diresapi dan diamalkan agar manusia menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Agama bukan untuk gagah-gagahan, apa lagi untuk kesombongan. Konsep fastabiqul khairat atau berlomba dalam kebaikan itu untuk motivasi diri supaya terus berusaha baik, bukan untuk berkompetisi menunjukkan diri yang paling nyunah. Merasa paling benar, paling baik, paling nyunnah, dan paling-paling yang lain adalah bagian dari kesombongan.
Kesombongan merupakan sifat dasar iblis yang menggelincirkan manusia pada kesesatan. Kesombongan selalu dimulai dari perasaan lebih baik dari yang lain, kemudian dikuti dengan kebanggaan diri, dan berujung pada ketidaktaatan.
Merasa Diri Ustadz Sunnah adalah Contoh Kesombongan Berujung Kedunguan
Demam Sunnah yang sedang menjangkiti sebagian kelompok muslim akhir-akhir ini juga memiliki pola yang sama. Merasa paling sunnah, menganggap yang lain tidak sunnah, diikuti oleh kesombongan retorika, labeling dan covering, berujung dengan tafriq (perpecahan), mufaroqoh (menjauhi yang lain) karena tidak se manhaj. Tentu tafaruq (perpecahan) ini adalah bentuk ketidaktaatan terhadap anjuran ta’aruf (saling memahami) yang ada dalam al-Qur’an.
Lebih parahnya, identifikasi sunnah dan tidak sunnah didasarkan pada premis yang lemah, pada hal-hal yang bersifat khilafiyah. Kelompok nyunah ini sering menyeret masalah khilafiyah pada wilayah aqidah dengan tuduhan murtad atau kafir. Ini merupakan ketidaktaatan lain pada konsep-konsep agama yang telah dirumuskan dan diwariskan oleh para ulama.
Sifat sombong sering kali juga menjauhkan pelakunya pada tindakan investigasi obyektif dalam menilai sesuatu, berkacamata kuda dalam melihat persoalan, serampangan dalam menetapkan kesimpulan, sehingga gampang memvonis salah dan sesat. Sikap ini justru menunjukkan kebodohan. Begitu ada yang tidak sama dengan yang dipahami kelompoknya, mereka dengan serampangan menyerang dengan brutal pemahaman lain tanpa tabayyun ilmiah terlebih dahulu, seolah-olah hanya pendapatnya yang benar.
Mengidentifikasi diri sebagai ustadz sunnah (merasa paling menerapkan dan memperjuangkan sunnah), dan menyebut yang lain dengan ustadz syubhat atau ustadz bid’ah adalah contoh bagaimana kesombongan menimbulkan kedunguan. Tidak ada ulama salafu shalikh yang mengidentifikasi saudaranya sesama muslim sebagai ustadz syubhat. Ulama kalangan salafu shalikh dikenal lapang dada dalam perbedaan, saling menghormati dan suka bermusyawarah. Namun tidak perlu pula membalas mereka dengan menyebutnya sebagai ustadz latah, ustadz sunnah tapi sunnah sayyiah, atau ustadz mentah.
Sunnah itu Luas
Sunnah bukan hanya tentang jenggot dan celana cingkrang yang bersifat khilafiyah. Banyak sunah yang sudah dilakukan muslim dalam kehidupan sehari-hari tanpa deklarasi dan gembar-gembor sunnah. Bahkan ratusan tahun dunia pesantren lebih sering menggunakan kata faqih, atau mutafaqqih fi al diin al amilin bagi para ulama, dan cukup menyebut sholeh bagi orang yang taat beragama. Karena pada hakekatnya, kesalehan itu pasti sunnah.
Pada masyarakat muslim Jawa misalnya, konsep aruh (menyapa), gupuh (ekspresi bahagia), suguh (hidangan) pada tamu adalah sunnah meskipun tidak selalu disebut dalam dialektika keseharian, karena dalam beberapa hadits sahih konsep tersebut diajarkan Rasulullah Saw. Ucapan ahlan wahai fulan (selamat datang) juga ada dalam hadits Imam Bukhari, itu juga sunnah. Karenanya semua yang makruf adalah sunnah, berbuat baik pada tetangga adalah sunnah, berbicara santun dan sopan kepada sesama adalah sunnah, menyantuni anak yatim adalah sunnah, mengajar ngaji di TPA adalah sunnah, membesuk tetangga dan saudara yang sakit adalah sunnah, menuntut ilmu di sekolah atau kuliah adalah sunnah, mentraktir teman adalah sunnah dan semua kebaikan adalah sunnah hasanah.
Pemahaman yang demikian telah dirumuskan oleh KH Mas Mansyur pendiri Majelis Tarjih Muhammadiyah dengan mabadi al khomsah (lima dasar pemahaman agama). Kelima dasar tersebut adalah modal dasar dalam berislam yang benar dan kaffah, yaitu: apa itu agama?, apa itu dunia, apa itu ibadah, apa itu sabilillah, dan apa itu qiyas. Satu saja kita bahas sebagai contoh, yaitu ma hua al ibadah? Apa ibadah itu?
***
Konsepsi ibadah dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah adalah taqarub atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan perintahnya, menjauhi larangannya, dan melakukan hal-hal yang dibolehkan syariat. Ibadah ada dua, khusus dan umum. Khusus artinya tata caranya sudah diatur dengan rinci oleh syara, sementara yang umum adalah semua yang diperbolehkan oleh agama.
Artinya, selain ibadah mahdhah sebagai ibadah khusus, semua perbuatan baik adalah ibadah. Kerja bakti adalah ibadah karena itulah ia menjadi sunnah, mengatur jalan dengan lampu traffic light adalah sunnah, membentuk panitia kegiatan adalah sunnah, bahkan berjuang dengan mendirikan organisasi adalah sunnah. Begitu luasnya makna sunnah, kenapa hanya ribut pada masalah khilafiyah untuk menyombongkan diri akan kesunahannya.
Suatu saat saya pernah membuat status facebook dalam bentuk pertanyaan tentang bagaimana hukumnya bercelana cingkrang dengan sombong? Bukankah illat hadis nabi innallaha la yandzuru ila man jarra tsaubahu khuyala, Allah tidak akan melihat seseorang yang menjulurkan kain bajunya (di bawah mata kaki) karena sombong. Atau memamerkan jenggotnya dengan sombong, bahkan menunjukkan hitamnya jidad dengan penuh kebanggaan.
Maka sudah tepat jika warga dan para da’i Muhammadiyah tidak ikut terseret dalam kehebohan level sunnah. Muhammadiyah cukup berjuang dengan manhajnya sebagai salah satu sarana ibadah. Berjuang membesarkan amal usaha yang bermanfaat bagi umat dan bangsa. Manhaj keberagamaan Muhammadiyah dibangun di atas kesadaran dan pijakan yang kokoh untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, bukan instan dan reaksioner semata.
Editor: Soleh