Hak Asasi Manusia, meskipun isinya pengakuan hak dasar manusia, dihasilkan oleh kesepakatan politik. Pengakuan politik terhadap HAM dimulai secara formal oleh Amerika dan Inggris, tetapi secara praktis sudah berlaku dalam semua ajaran agama dan sistem politik yang baik.
Sejak abad ke-11 Masehi para ahli hukum Islam menggarisbawahi bahwa syariat ada untuk menjaga keyakinan, jiwa, keturunan, akal dan harta manusia. Gagasan itulah yang kemudian melahirkan konsep maqashid syar’iyyah (tujuan syariat Islam).
Meskipun belum menjadi kesepakatan internasional, elemen-elemen HAM sudah diakui oleh negara-negara yang berdiri pada abad ke-20. Di Indonesia, UUD 1945 sudah memuat norma-norma HAM, seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, hak berkeyakinan, hak sosial ekonomi, dan persamaan di depan hukum. Pada era Reformasi, muatan perlindungan HAM di UUD 1945 diperluas melalui amandemen UUD 1945.
Secara internasional, Deklarasi Internasional HAM PBB muncul 16 Desember 1948. Deklarasi itu diikuti dengan lahirnya kovenan hak sipil politik dan hak ekonomi sosial dan budaya pada tahun 1966. Kovenan-kovenan tersebut adalah hasil kesepakatan politik negara-negara sebagai pemegang mandat untuk melindungi HAM.
LGBT dalam sejarah manusia tidak pernah disebut sebagai hak. Secara agama maupun politik LGBT tidak pernah secara jelas diacu sebagai hak karena LGBT adalah penyimpangan. Bahwa secara personal pelaku LGBT adalah warga negara dan warga negara mendapat jaminan perlindungan hak sipil politik dan ekonomi sosial budaya, tetapi perilaku tersebut bukan hak.
Belum ada instrumen HAM Internasional yang mengakui LGBT, kecuali tafsir sepihak atas perbedaan jenis kelamin. Sayangnya LGBT bukan masalah jenis kelamin tetapi pemakaian kelamin bukan pada fitrahnya. Ada yang mendasarkan pembelaan LGBT pada hak sipil politik umum, tetapi sekali lagi setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan hak sipil politik, kecuali pengakuan terhadap penyimpangan seksual.
***
HAM bersifat universal, tetapi saling membatasi. Kebebasan berbicara dilindungi, tetapi tidak berarti boleh memfitnah dan mencemarkan nama baik orang lain. Hak berpindah diakui Deklarasi Universal HAM, tetapi hak berpindah itu diatur dan dibatasi oleh teritori negara dan properti milik orang lain. Tidak boleh kebebasan berpindah mengesahkan menduduki tanah atau rumah milik orang lain tanpa proses hukum.
Hak berhubungan dengan lawan jenis pun dibatasi norma agama. Secara hukum, negara yang mengakui nilai agama sebagai dasar, meski bukan negara agama, tidak boleh melegalkan kumpul kebo karena bertentangan dengan nilai agama. Demikian pula, LGBT tidak bisa diakui karena penentangannya terhadap norma agama.
Bolehlah negara-negara sekuler dan mengesahkan kumpul kebo itu menerima LGBT. Tetapi hal demikian tidak bisa berlaku pada negara yang bernorma agama. Terlebih LGBT belum diakui sebagai hak dalam instrumen-instrumen HAM yang diakui secara internasional. Selama negara-negara yang masih menghormati nilai agama dan menolak LGBT masih berpegang pada prinsip ini, maka LGBT tidak akan pernah menjadi HAM.
Bolehlah negara-negara Barat mendeklarasikan secara sepihak LGBT adalah HAM dan mengkampanyekannya. Tetapi itu bukan kesepakatan internasional dan belum punya legitimasi moral maupun legal. Mereka tidak bisa memaksakan deklarasi sepihak mereka melampaui batas negara mereka sendiri.
Mungkin LGBT bisa diterima secara internasional, yaitu ketika para pemimpin negara secara underdog kalah dengan tekanan dan mengalahkan nilai agama demi konsesi politik tertentu.