Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB) secara resmi melaporkan Din Syamsuddin kepada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Laporan tersebut berisi poin-poin laporan pelanggaran yang menurut GAR dilakukan oleh Din Syamsuddin yang masih menjabat sebagai aparatur sipil negara.
Tak hanya itu, Din Syamsuddin dianggap sebagai tokoh radikal dan mengganggu pemerintah dalam menjalankan programnya. Seperti kita ketahui, bahwa Din Syamsuddin merupakan penggagas Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang berisi tokoh-tokoh oposisi dan kritis terhadap rezim pemerintahan Joko Widodo.
Benarkah Din Syamsuddin radikal? Saya tidak sepakat dengan tuduhan tersebut. Kita coba definisikan terlebih dahulu radikalisme secara sederhana. Radikalisme dalam arti negatif merupakan paham yang menghalalkan kekerasan dalam mencapai tujuan serta mencoba mengubah dasar dan bentuk negara yang telah disepakati.
Jika diukur dari definisi tersebut, Din Syamsuddin jauh panggang dari api dengan kriteria radikalisme tersebut. Tak dapat dimungkiri Din memang mempunyai sikap yang kritis terhadap pemerintah. Dalam negara demokrasi, kritisisme merupakan syarat bagi demokrasi yang sehat, bukan indikator radikalisme. Berikut saya coba paparkan lima alasan Din Syamsuddin bukan tokoh radikal.
Pertama, pernah Menjadi Ketua Umum PP. Muhammadiyah dan Dewan Pertimbangan MUI
Din Syamsuddin merupakan Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode yakni 2005-2015. Terpilihnya Din sebagai ketua umum Ormas Islam terbesar di Indonesia ini selama dua periode menunjukkan kepercayaan yang begitu besar dari warga Muhammadiyah terhadap sosok satu ini.
Din Syamsuddin juga menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia 2015-2020 menggantikan al maghfur lahu KH. Sahal Mahfudz yang meninggal pada tahun 2014. Dewan Pertimbangan MUI merupakan posisi tertinggi dalam representasi ulama di Indonesia tersebut. Pertanyaannya mungkinkah Ketum PP. Muhammadiyah dan Dewan Pertimbangan MUI dijabat oleh tokoh radikal?
Saya pikir umat Islam Indonesia mempunyai common sense untuk tidak menempatkan tokoh radikal di posisi puncak organisasi Islam.
Kedua, Mencapai Karir Akademik Sebagai Guru Besar Ilmu Politik Islam
Din Syamsuddin selain sukses sebagai aktivis juga sukses sebagai akademisi. Din Syamsuddin mencapai karir tertinggi dalam bidang akademis yakni meraih guru besar dalam bidang keilmuan ilmu politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Din juga mempunyai banyak karya-karya ilmiah sebagai bentuk tanggung jawab akademisnya.
Kesuksesan Din dalam bidang akademis tak lepas dari background pendidikan dasar menengahnya di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Kita tahu bahwa Gontor telah sukses melahirkan bukan hanya tokoh umat dan tokoh bangsa. Dengan pencapaian akademis yang tinggi tersebut, rasa-rasanya tidak mungkin Din mempunyai pemikiran radikal baik dalam keyakinan maupun tindakan.
Ketiga, Pernah Dituduh Syiah dan Liberal
Saat eskalasi konflik Sunni dan Syiah meningkat pasca konflik di Suriah, Din Syamsuddin merupakan tokoh yang menyerukan perdamaian antara sunni dan syiah. Din tidak sepakat dengan sentiment Sunni Syiah yang dibawa dari timur tengah ke Indonesia. Din juga pernah menerima Wapres Republik Islam Iran saat menjadi Ketua Umum PP. Muhammadiyah.
Hal ini membuat Hartono Ahmad Jaiz pemilik website nahimunkar.com mengecam Din. Dia menuduh bahwa Din adalah syiah karena dekat dengan Syiah. Kedekatan Din dengan tokoh-tokoh agama lain seperti Paus Vatikan pun membuat Din dituduh sebagai liberal. Pernah suatu saat Din mengizinkan bangunan amal usaha Muhammadiyah untuk digunakan sebagai tempat beribadah agama lain jika kesulitan untuk beribadah. Hal ini memancing reaksi dari internal Muhammadiyah sendiri yang tidak sepakat dengan gagasan ini. Merespon hal ini, Din mengajak yang menolak untuk berdiskusi. Din sudah menyiapkan tumpukan kitab kuning yang senantiasa tersimpan di bagasi mobilnya untuk bahan diskusi.
Alih-alih menjadi tokoh radikal, Din Syamsuddin justru pernah dituduh macam-macam oleh kelompok radikal. Jadi sekali lagi tidak masuk akal tuduhan radikal terhadap Din Syamsuddin.
Keempat, Menjadi Tokoh Dialog Antaragama Tingkat Dunia
Pada tahun 2006, Din Syamsuddin dan Hasyim Muzadi terpilih sebagai Presiden Konferensi Agama-agama Dunia untuk Perdamaian (WCRP). Din dan Hasyim terpilih dalam Assembly ke-8 yang berlangsung di Kyoto, Jepang 25-29 Agustus 2006. Hasyim Muzadi terpilih sebagai salah seorang dari 9 presiden, sedangkan Din Syamsuddin sebagai presiden kehormatan (honorary president).
WCRP adalah organisasi lintas agama yang berdiri 36 tahun yang lalu dan berpusat di Markas PBB New York, menghimpun tokoh-tokoh berbagai agama dari seluruh dunia dan berjuang mewujudkan perdamaian dunia dengan pendekatan keagamaan. Pada pertemuan di Kyoto, hadir 600-an tokoh 20 agama dari 100 negara di dunia.Kedua tokoh Islam Indonesia itu dipilih atas pertimbangan prakarsa dan peran serta keduanya dalam mengembangkan perdamaian baik di tingkat nasional maupun internasional.
Berdasarkan kiprahnya tersebut, Presiden Joko Widodo sempat menunjuk Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antar Agama. Hal ini murni berdasarkan kiprah dan profesionalitas Din selama ini.
Kelima, Menggagas Konsep Darul Ahdi wa Syahadah
Pada tahun 2012 dalam Tawir Muhammadiyah di Bandung, Din Syamsuddin mulai mensosialisasikan pemikirannya mengenai NKRI dan Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Darus Syahadah. Konsep ini menjadi landasan teologis dan fikih Islam bagi umat Islam di Indonesia untuk tidak lagi mempersoalkan dasar dan bentuk negara. Darul Ahdi wa Syahadah kemudian disahkan di Muktamar ke-46 Makassar. Sampai saat ini konsep ini senantiasa disosialisasikan di tengah anggota persyarikatan dan masyarakat umum.
Lima hal di atas saya pikir lebih dari cukup untuk menegaskan bahwa tuduhan Din Syamsuddin radikal merupakan tuduhan yang konyol. Din Syamsuddin memang tokoh kritis, bahkan bisa dibilang oposan. Namun hal tersebut bukan berarti dia radikal. Oposisi justru menandakan demokrasi sedang berada kondisi yang sehat. Tanpa suara-suara kritis, demokrasi hanyalah demokrasi semu semata.
Editor: Yahya FR