Oleh: Imam Shamsi Ali
Ada satu realitas yang tidak mungkin diingkari oleh siapapun. Bahwa pada semua bangsa ada dinamika sosial dan hiruk-pikuk komunal yang terjadi dari masa ke masa. Dan tidak jarang dinamika sosial itu justru berwajah yang buruk (ugly face).
Wajah buruk dari dinamika sosial yang terjadi itu yang biasa saya sebutkan sebagai “gesekan sosial” pada bangsa-bangsa dunia. Dan saya berani mengatakan bahwa tak satu pun bangsa di dunia ini yang terjaga (immune) darinya.
Amerika yang kita kenal di mana-mana membanggakan diri sebagai “the champion of democracy” ternyata sejarahnya penuh dengan titik kelam itu. Di masa lalu kita kenal gerakan kulit hitam untuk hak-hak sipil mereka. Atau yang lebih dikenal dengan “civil rights movement” di bawah komando oleh Martin Luther Junior Jr.
Bahkan dunia Barat yang dianggap paling getol mengkampanyekan HAM di berbagai belahan dunia kini berdarah-darah dengan perilaku kelompok “White Supremacy.” Kelompok teroris Putih ini kini disejajarkan, bahkan dianggap lebih berbahaya dari ancaman Al-Qaidah, bahkan ISIS.
Tapi adilkah jika kasus-kasus yang terjadi di Amerika dan di Barat secara umum itu dijadikan sebagai “trade mark” negara-negara itu? Itu tidak.
Sebagai seorang Muslim yang telah cukup lama tinggal di negara ini (US) saya berani mengatakan bahwa Amerika adalah bangsa yang toleran. Bangsa yang secara mendasar menghargai semua pemeluk agama-agama. Dan itu pula yang menjadikan Islam hingga kini menjadi agama dengan perkembangan tercepat.
Demikian sesungguhnya selayaknya kita dalam memandang Indonesia. Indonesia bukanlah bangsa yang sempurna dalam toleransi dan kerukunan. Baik itu toleransi dan kerukunan antar Umat beragama. Juga toleransi dan kerukunan dalam hubungan antar ras dan etnis di negara ini. Di sana-sini kasus-kasus gesekan sosial itu.
Akan tetapi, dunia yang masih jujur akan mengakui bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam toleransi. Sejarah mencatat dengan baik bagaimana masyarakat Muslim tidak sungkan-sungkan membantu tetangga-tetangga non Muslimnya. Demikian sebaliknya, teman-teman non Muslim membantu tentangga-tetangga Muslim mereka.
Karakter gotong-royong adalah darah daging Kebangsaan mereka. Dan karenanya, walau gotong-royong itu secara esensi adalah agama, tapi tidak diakui secara ekslusif oleh agama tertentu. Justru karakter itu lebih dominan dipahami sebagai karakter kebangsaan.
Itu pula sebabnya, kenapa Umat Islam Indonesia yang sekitar 87% dari keseluruhan populasi negeri, merangkul dengan lapang dada teman-teman yang kebetulan beragama lain untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara ini.
Bahkan jika kita jujur, akan diakui ada masa-masa tertentu dalam perjalanan bangsa ini di mana justru teman-teman non Muslim memiliki kelebihan-kelebihan sosial (social privileges), baik secara ekonomi maupun politik. Sesuatu yang kelompok minoritas di negara-negara lain belum tentu dapatkan.
Dalam menilai sebuah negara tentu tidak cukup dengan perilaku masyarakatnya. Karena jika itu menjadi batasan, maka hampir semua negara Barat sekarang ini berada dalam intoleransi yang dalam. Diskriminasi dan tekanan kepada minoritas di negara-negara Eropa, ambillah sebagai contoh Belgia, sedang meninggi.
Sebuah negara sejatinya pertama kali dinilai dari dari dasar dan falsafah kehidupan publiknya. Dan Indonesia harus bangga dengan Pancasila dan UUD 45 yang sangat inklusif merangkul semua warganya.
Saya tidak perlu lagi ulangi semua fakta sejarah lapang dada pemimpin Umat di masa lalu. Saya juga tidak perlu sebut lagi semua contoh-contoh pengorbanan Umat Islam Indonesia sebagai penduduk terbesar di negeri ini. Saya istilahkan pengorbanan karena seringkali harus mengorbankan perasaan, bahkan kepentingan demi maslahah yang lebih besar untuk bangsa.
Lalu, dari mana asal usul tuduhan radikalisme yang dianggap sebuah ancaman itu?
Saya melihat ada beberapa penyebab utama kenapa Indonesia dan Umat Islam Indonesia secara khusus berusaha untuk dilabel sebagai bangsa atau Umat radikal.
Pertama, adanya individu-individu yang memang cenderung keras, tanpa pertimbangan metode dan komunikasi yang bijak dalam memperjuangkan apa yang dianggap ideal untuk Umat. Tapi sekali lagi, dapatkah perlakuan individu-individu dan terbatas (limited) itu dilabel sebagai radikalisme sebuah bangsa atau Umat?
Kedua, diakui atau tidak, memang dari dulu ada kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dari kalangan Umat ini. Tapi hal ini merupakan fenomena insidental yang umumnya terpicu oleh keadaan tertentu. Di masa Orba misalnya, ada beberapa kasus yang terpicu oleh tekanan penguasa atas nama stabilitas.
Masalahnya kemudian gerakan-gerakan anti negara itu tidak saja dilakukan oleh Umat Islam. Di daerah-daerah tertentu yang kebetulan bukan mayoritas Muslim juga terjadi. Papua dan Timtim sebagai misal. Tapi agama mereka tidak perlu diseret ke dalam tindakan kekerasan itu. Lalu kenapa jika yang melakukan itu kebetulan beragama Islam, agama dan Umat secara keseluruhan harus dilibatkan?
Ketiga, agama dan politik memang selalu menjadi isu sensitif. Kerap kali terjadi ketika agama dilibatkan dalam politik terjadi degradasi nilai agama itu sendiri.
Tapi salahkah ketika pengikut agama menjadikan agamanya sebagai “nilai dan acuan” dalam aktivitas politiknya?
Harusnya tidak selalu salah. Di beberapa negara Barat ternyata juga menjadikan agama sebagai basis gerakan politiknya. Jerman sebagai misal, menjadikan Protenstan sebagai dasar politik dan manajemen publik negara.
Lalu kenapa ketika Islam dipakai oleh sebagian sebagai identitas politiknya semua tiba-tiba menjadi kritis dengan isitlah “politik identitas” (political identity). Kenapa harus “double standard” dalam menyikapinya?
Jadi, isunya bukan agama. Isunya bagaimana menempatkan agama dalam pergerakan politik negara. Saya kira kembali kepada kesadaran, pemahaman, dan kedewasaan pemeluk agama masing-masing.
Lalu, adilkah ketika umat Islam menjadikan agamanya sebagai motivasi dan acuan politiknya dituduh radikal? Tidakkah harusnya semua orang diberikan kesempatan membuktikan hal itu dalam tatanan demokrasi yang disepakati? Biarlah sejarah yang membuktikan.
Keempat, saya mengakui bahwa Umat Islam Indonesia memang mulai sadar untuk melakukan “self empowerment.” Sedemikian lama Umat Islma Indonesia merasakan ketidakadilan, khususnya di bidang politik dan ekonomi. Lalu kenapa di saat mereka berjuang untuk ”self empowerment” itu mereka dilabel radikal?
Dunia memang sering aneh dan terbalik. Terkadang perjuangan untuk keadilan dilabel pemberontakan, bahkan terorisme. Itu yang kita lihat di berbagai belahan dunia. Perjuangan Saudara-Saudara Palestina untuk kemerdekaan di balik menjadi pemberontakan dan terorisme.
Saya khawatir ini juga di Indonesia. Usaha-usaha atau perjuangan Umat untuk membangun diri dianggap sikap intoleran. Umat hanya akan diapresiasi ketika merelakan diri menjadi korban-korban untuk kepentingan orang lain.
Kelima, saya juga melihat bahwa ada saja pihak-pihak yang berusaha mencari-cari kesalahan orang lain, bahkan dibuat-buat, sebagai bagian dari dendam politik. Saya curiga tuduhan radikal kepada umat ini juga karena ada dendam politik.
Semoga pandangan saya ini salah. Tapi sejak kesadaran politik umat terbangun, khususnya pasca 212, ada pihak-pihak yang gerah. Gerakan 212 dibangun sedemikian rupa dan sistimatis sebagai wajah radikalisme Umat Islam Indonesia.
Diakui atau tidak, gerakan 212 cukup signifikan berperan dalam pilkada DKI yang berhasil membawa Dr Anies Baswedan ke kursi Gubernur Ibukota RI. Sejak dulu dibangun sebuah persepsi jika sang gubernur adalah pilihan kaum radikal. Dan Aroma resistensi itu terasa hingga sekarang.
Padahal, terlepas dari dorongan politisnya, gerakan 212 adalah gebrakan fenomenal politik Umat Islam Indonesia dalam tatanan demokrasi yang dinamis. Seharusnya bukan ditakuti. Justru diapresiasi sebagai bagian dari indikasi sehat partisipasi politik dan demokrasi umat Islam Indonesia yang solid.
Akhirnya, saya ingin mengatakan tuduhan radikalisme kepada Umat Islam Indonesia adalah tuduhan yang salah alamat. Tuduhan yang tidak jujur sekaligus tidak adil. Salah alamat karena tuduhan itu pada galibnya berdasarkan asumsi yang terbangun, khususnya di media massa. Tidak jujur karena secara sistimatis menyembunyikan segmen terbesar Umat yang sangat toleran, bahkan “over tolerant.” Umat yang terkadang menerima dirugikan demi kemaslahatan bersama yang lebih besar. Demi NKRI terkadang umat ini mengurut dada atas kasus kekerasan yang menimpa saudara-saudaranya. Kasus pembunuhan di Papua misalnya.
Dan tidak adil karena tuduhan intoleransi itu didasarkan kepada kasus-kasus yang terjadi secara sporadis yang diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal, termasuk ketidak adilan politik dan ekonomi. Bukan karena dorongan agama itu sendiri.
Karenanya, saya ingatkan Saudara-Saudaraku sesama diaspora Indonesia di mana saja. Jangan memburuk-burukkan bangsa karena kasus-kasus. Semua bangsa di dunia punya kasus yang mencoreng wajahnya masing-masing.
Sebaliknya, kita warga Indonesia di luar negeri, baik yang masih memegang paspor Indonesia maupun yang telah ganti paspor, tetap punya tanggung jawab untuk menjaga nama baik bangsa dan negara. Karena Indonesia adalah rumah besar kita bersama untuk dijaga dan dibesarkan.
Kita keluarga NKRI. Walau terkadang ada perbedaan-perbedaan di antara anggota keluarga itu. Semoga!
* President Nusantara Foundation
Editor: Arif