Tajdida

Literasi Khutbah Jumat: Agar Tidak Membosankan dan Temanya Itu-itu Saja

4 Mins read

Khutbah Jumat merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam. Karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Sayangnya, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal. Para khatib sering kali menyampaikan khotbah yang membosankan yang berputar-putar dan terkesan itu-itu saja. Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur.

Oleh karenanya, diperlukan terobosan. Yaitu dengan melakukan tradisi literasi khutbah Jumat. Literasi pun harus ditunjang dengan riset-riset tentang teks-teks khutbah Jumat terdahulu agar terjadi pembaharuan. Baik dari perspektif maupun pendekatan masalah.

Urgensi Literasi Khutbah Jumat

Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan mimbar Jumat dikatakan memiliki posisi strategis.

Pertama, saat itu seluruh kaum muslimin, khususnya laki-laki yang tidak sakit, tidak gila, tidak dalam keadaan bepergian, dan di masing-masing teritorial, dipastikan berkumpul di tempat-tempat untuk mengerjakan shalat Jumat.

Kedua, forum shalat Jumat adalah forum tetap dan rutin yang senantiasa akan terjadi selama masih ada komunitas muslim

Ketiga, forum tersebut dihadiri jamaah yang secara psikologis siap menerima nasihat karena mereka datang dengan niat beribadah. 

Keempat, forum tersebut berdurasi singkat. 10 menit atau paling panjang 20 menit. Tidak ada tanya jawab dan haram diinterupsi.

Maka, sangat rugi kiranya jika kita tidak memanfaatkan forum khotbah secara maksimal. Ingatan kita tentang khutbah Jumat sering berujung pada aktivitas ganjil: tidur, bosan, bermalas-malasan, dongkol.

Sebagian di antaranya ngobrol, nongkrong di luar masjid, atau menunggu di warung-warung sampai waktu shalat akan ditunaikan. Sebagian yang lain, masih berada di rumah atau yang masih di perjalanan, justru berlomba-lomba untuk hadir paling akhir saat Jumatan.

Khutbah Jumat yang Tak Ada Pembaharuan

Khotbah akhirnya sekadar memenuhi rukun agar sah dalam menjalan ”ritual” shalat Jumat. Ibadah yang seharusnya membawa seseorang semakin merasakan cinta atas kebesaran-Nya,  justru semakin menjauhkan pelakunya dari dimensi spiritual, imanen, dan transenden.

Baca Juga  Apa Salahnya Mencari Hidup di Muhammadiyah?

Materi khutbah Jumat pun cenderung berulang dari minggu ke minggu. Bahkan, beberapa khatib memiliki buku sakti yang ia gunakan untuk mengisi khutbah Jumat hingga bertahun-tahun. Dugaan terkuat adalah, selama ini khotbah dianggap bukan wilayah akademis. Tindakan membaca, riset, dan melacak buku-buku, justru akan dianggap ganjil. Apalagi, menampilkan terlalu banyak literatur akademis (bukan ayat atau hadis) tentu akan terdengar aneh di telinga jemaah.

Apalagi dalam bulan-bulan tertentu (hari besar Islam dan hari besar nasional), ada semacam pakem tentang isi khotbah yang harus terus disampaikan dari masa ke masa. Tanpa ada pembaharuan dan pembahasan yang lebih menarik. Kita sebagai pendengar bisa menebak apa yang akan disampikan khatib prasampai pasca-Idul Adha (ibadah kurban), atau memasuki Ramadan, hari kemerdekaan, Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, dan hari-hari penting lain.

Khutbah Jumat yang Minim Riset

Khotbah kehilangan ruh untuk mencipta gagasan-gagasan baru. Pendengar jarang mendapat keterkejutan atas materi yang disampikan. Khatib pasrah pada buku khutbah Jumat yang ada. Buku khotbah tersebut cenderung berisi kumpulan ayat Al-Qur’an dan hadis apa adanya. Tanpa melalui penelaahan mendalam serta miskin data dan lemah analisis.

Akibatnya, dalil, kisah, riwayat yang dipakai para khatib adalah data klasik yang tidak pernah ada pengembangan dari waktu ke waktu. Khatib begitu takut menyampaikan khotbah menggunakan referensi dari buku-buku populer layaknya di dunia akademis.

Khatib enggan membuat konsep matang dalam setiap ceramahnya. Keberadaan materi khotbah yang berlimpah di dunia maya, buku praktis, atau koleksinya sendiri, membuat penceramah semakin enggan melakukan penelusuran lebih lanjut.

Padahal, kemauan para khatib untuk menelusuri buku-buku terkait materi yang disampaikan, kemudian menyuguhkannya kembali ke pendengar, akan membuat pendengar bergairah. Membawa pendengar pada nalar berpikir kritis, sehingga mampu merefleksi kehidupan di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Baca Juga  Pentingnya Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih (HPT)

Tentu tindakan ini membawa konsekuensi pada sang khatib untuk mengembangkan tradisi penulisan teks khotbah secara pribadi. Ia harus bertaruh uang, berburu buku, melacak, dan mendiskusikannya. Waktu, biaya, dan tenaga yang dikorbankan memang lebih banyak, namun inilah yang juga dilakukan para ulama di masa lampau. Tradisi menulis sendiri materi yang akan disampaikan menjadi sesuatu yang wajib.

Sang Khatib Harus Rajin Menulis!

Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang wafat tahun 310 Hijriah misalnya. Ia setiap hari menulis empat puluh lembar tentang tafsir Al-Qur’an. Masih ditambah lagi ia menulis sendiri polemik dunia sejak dari Nabi Adam. Abu Ishak Ibrahim bin Isa al-Muradi, juga telah menulis buku karya sendiri tentang ilmu hadis sebanyak sembilan puluh jilid.

Selanjutnya, Imam Abul, seorang ulama yang wafat pada tahun 513 Hijriah. Ulama ampuh yang mendapat pengakuan dari Imam Ibnu Taimiyah sebagai ulama jenius. Menghasilkan sebuah karya besar yang menjadi rujukan banyak ulama setelahnya yakni kitab Al-Funun (delapan ratus jilid).

Tradisi menulis seperti inilah yang harus kembali dihadirkan para khatib. Sehingga, pada saatnya nanti isi khotbah yang disampaikan mampu menjadi rujukan yang mumpuni. Hal ini akan menuntut para khatib untuk mampu mengangkat realita kehidupan, apa yang sebenarnya dirasa dan dijalani oleh masyarakat. Kemudian membuka kembali pintu ijtihad. Membuka gagasan intelektual mutakhir untuk mengurai polemik kehidupan dari berbagai dimensi historis, sosiologis, dan ajaran berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.

Kemauan untuk melakukan ijtihad inilah yang akan menjadikan agama tidak terlihat klasik, kolot, dan kaku. Namun mampu menjawab tantangan zaman. Pemikir muslim yang hidup pada tiga abad pertama Hijriah senantiasa menjaga gairah ijtihad sebagai upaya memajukan peradaban.

Baca Juga  Hukum Salat Arba'in bagi Orang Sakit

Menyuguhkan Khutbah Jumat yang Menggembirakan

Adapun semangat ijtihad merupakan spirit utama yang digelorakan oleh KH. Ahmad Dahlan. Dengan tradisi ijtihad ini pula, kita berharap khatib mampu menampilkan suatu dinamika wilayah intelektual, kebudayaan, tatanan kognitif yang melandasi tatanan politik-sosial, hukum, dan akhirnya khotbah menjadi jawaban atas apa yang terjadi.

Penulis memprediksi jika khatib berani mengambil “risiko” untuk melakukan tradisi ijtihad ini, masyarakat akan semakin cerdas setiap menghadiri shalat Jumat. Hadirnya khutbah Jumat senantiasa dinanti dan menggembirakan. Lebih lanjut, khutbah Jumat menjadi media penyebar gagasan-gagasan baru yang layak didokumentasikan menjadi sebuah buku bermutu.

Adapun, melalui ribuan masjid yang menggelar shalat Jumat, naskah-naskah yang dihasilkan dari tradisi literasi khutbah Jumat tentu akan sangat kaya. Setiap minggu bisa menghasilkan ribuan tulisan. Sehingga jika dikalkulasikan, dalam jangka satu tahun, umat Islam punya warisan sejarah yang bisa membuatnya menjadi lebih maju, karena kaya akan pemikiran dan wacana.

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds