Inspiring

M. Amien Rais: Bapak Reformasi Penggagas Tauhid Sosial

6 Mins read

Istilah tauhid sosial dipopularkan oleh Mohammad Amien Rais. Ia adalah guru besar dalam bidang hubungan internasional di Universitas Gadjah Mada (UGM). Pak Amien lulus sarjana dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga pada 1968. Setahun kemudian, ia mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, di bidang Hubungan Internasional (HI). Pada 1974, ia menamatkan studi magisternya di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, di bidang yang sama.

Setelah itu, ia menjadi mahasiswa doktoral di Universitas Chicago, Amerika Serikat, dan sempat menjadi mahasiswa luar biasa di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, tatkala mengerjakan penelitiannya tentang politik Timur Tengah di kala itu. Akhirnya pada 1981, ia meraih gelar Ph.D. Studinya dilanjutkan di tingkat pasca doktoral pada 1989, di Universitas George Washington dan Universitas California di Los Angeles, Amerika Serikat. Yang perlu dicatat adalah, selama menempuh program studi S3, Pak Amien berguru kepada Profesor Fazlur Rahman.

Di sepanjang karir akademiknya, Pak Amin setidaknya telah menerbitkan 18 buku, termasuk yang paling monumental adalah “Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan,” yang diterbitkan oleh Mizan pada 1998. Buku ini terbit, di sela-sela lahirnya Reformasi Politik Indonesia. Buku inilah yang akan menjadi sumber utama, dalam menelusuri pelbagai esensi gagasan Tauhid Sosial yang diajukan oleh tokoh nasional yang memangku gelar Bapak Reformasi tersebut.

***

Perlu diketahui bahwa, sebelum terjun ke dunia politik praktis, Pak Amien adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 1995 dan digantikan oleh Prof. Ahmad Syafii Maarif pada 1998, di awal berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Namun demikian, Pak Amien sudah ber-Muhammadiyah bahkan sebelum dirinya sendiri lahir, karena orangtuanya berdarah organisasi sosial keagamaan bersimbol matahari ini.

Pada tahun 60-an, di usianya yang cukup belia, ia mendirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah bersama Moh. Djazman al-Kindi. Pada 1967-68 ia menjadi pimpinan tertinggi gerakan aktivisme mahasiswa ini. Pengalaman hidup bermuhammadiyah, adalah modal besar bagi dirinya untuk mereformulasi teologi yang bernafaskan keberpihakan sosial. Muhammadiyah, reformasi dan PAN sebagai konteks sosial, sangat berhubungan dengan teori tauhid sosial yang digagas Pak Amien.

Reformulasi Tauhid Sosial

Tauhid sosial merupakan tauhid yang berfungsi sosial. Dalam pengertian, tatkala setiap Muslim bersaksi bahwa “Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,” maka dalam seluruh aspek kehidupan, ia tidak boleh melepaskan diri dari persaksian tersebut (Amien Rais, 1998: 141). Karena tidak jarang ditemui bahwa, mereka yang saleh secara ritual, tidak memberikan kontribusi apapun terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada. Dengan demikian, tauhid sosial ini selaras dengan spirit sosial Islam, yang tertuang dalam al-Qur’an surat al-Maun, yang menegaskan bahwa, hanyalah pendusta agama semata bagi siapa saja yang menjalankan segala praktik ritual keagamaan, sementara mereka mengabaikan persoalan kemiskinan dan marginalisasi sosial.

Baca Juga  B.J. Habibie: Islam adalah Agama Universal dan Penuh Cinta

Dalam konteks sosial politik Rezim Orde Baru, bangsa kita genap dengan fenomena ketidakadilan sosial. Pembangunan yang digalakkan pemerintah, tidak berjalan lurus dengan penegakan keadilan dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Pembangunan justru berdampak pada tumbuh-suburnya ketidakadilan sosial, kemiskinan dan kebodohan massal. Susetiawan mengatakan bahwa, pembangunan saat itu hanya berlaku sebagai alat perluasan pasar, yang hanya menguntungkan para pemilik modal. Di samping itu, negara secara dominan dan hegemonik, mendikte rakyatnya agar tunduk patuh terhadap segala agenda “pebisnis pembangunan” tersebut (Susetiawan, 2010: 99-108).

Pada situasi saat itu, dapat dikatakan bahwa pemerintah menjalankan roda pemerintahannya dengan penuh korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam situasi ini, agama tidak berdaya dalam mengupayakan misi pemerdekaannya. Atau paling tidak, kita kekurangan tafsiran keagamaan yang memiliki keprihatinan terhadap ketidakadilan sosial dan kemanusiaan. Jelas, hal ini secara moral tidak selaras dengan spirit fungsi-sosial agama seperti halnya dalam surat al-Ma’un yang disinggung di atas.

Menanggapi hal ini, secara sangat mengagumkan Pak Amien menjelaskan bahwa,

“…al-Qur’an merupakan sumber hukum yang memberi pencerahan dan memotivasi kita untuk membangun kehidupan berdasarkan nilai-nilai etis atau moral yang kekal atau abadi. Salah satu tema utama al-Qur’an adalah keadilan… Dalam al-Qur’an, Allah mengajarkan bahwa sebagai umat beriman, kita harus menegakkan keadilan tidak hanya dalam satu atau dua aspek kehidupan saja. Keadilan yang diajarkan kepada kaum Muslim bersifat multidimensional. Al-Qur’an berbicara mengenai keadilan hukum, keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan politik, dan keadilan dalam pendidikan.” (Amien Rais dalam Muhammad Najib dan Irwan Omar, 2003: 11)

Krisis dan Persoalan Keadilan

Di luar persoalan etis keagamaan, sebenarnya tema keadilan ini menjadi krusial, karena pada saat itu umat Islam dihadapkan dengan pelbagai kenyataan krisis yang ada. Pertama, kita harus menghadapi degradasi moral, di mana nafsu kebinatangan menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa saat itu; Kedua, adanya distribusi kekayaan yang tidak merata. Persoalan ini membawa kepada ketimpangan sosial yang menganga lebar. Jarak antara si kaya dan si miskin, terpisahkan oleh jurang sosial politik yang sedemikian kompleks; Ketiga, pendidikan yang tidak bisa diakses oleh seluruh lapisan sosial. Hal ini jelas menimbulkan wabah kebodohan massal di sebagian besar rakyat Indonesia; Keempat, penindasan sosial yang termanifestasikan dalam perilaku KKN. Krisis ini telah menjadi kekuatan yang hampir mustahil dilawan oleh orang-orang miskin, kaum melarat dan kelas proletariat. Kelima, adanya destruksi ekologis, di mana sumber daya alam, dikuras habis-habisan dan dirusak tanpa memperhatikan segala dampaknya yang buruk bagi kehidupan (Amien Rais, 1998: 99-104).

Baca Juga  Abu Dzar Al-Ghifari, Sahabat Nabi Pembebas Kaum Tertindas

Kelima krisis tersebut, sebenarnya secara sosial dan politik lebih banyak disebabkan oleh struktur kekuasaan yang menindas. Rezim Orde Baru, dari pada sebagai pemerintah (ulil amri) yang patut diteladani, saat itu lebih merupakan rezim yang menindas rakyatnya sendiri. Bukan hanya tidak ada kebebasan bagi rakyat pada saat itu, tetapi juga tidak adanya keadilan sosial. Demokrasi yang semestinya mendorong tercapainya keadilan dan kesejahteraan, terbunuh oleh otoritarianisme kekuasaan yang keji (Ariel Heryanto, 2006).

Dalam konteks inilah tauhid sosial mendapatkan tempatnya. Oleh karena itu, melalui Muhammadiyah, Amien Rais kerap mengumandangkan perlawanan keras terhadap Suharto, dengan istilah “Suksesi Kepemimpinan”. Suksesi ini bermaksud untuk melengserkan kekuasaan politik yang selama lebih dari 30 tahun berkuasa, melalui jalan demokrasi. Itulah satu-satunya jalan yang dianggap paling adil untuk menentukan bagimana nasib bangsa ini ke depan. Kerja keras yang dibarengi oleh semangat optimistik ini dilakukan secara lebih massif pada tahun 1990an.

Tauhid Sosial sebagai Etos Perjuangan

Bagi Pak Amien, tauhid sosial merupakan etika perjuangan yang bisa diterapkan dalam praksis gerakan sosio-politik kebangsaan. Tauhid sosial secara tidak langsung membangun kesadaran kritis umat, agar tidak terjebak pada segala perilaku korup yang dikecam oleh kitab suci. Dengan kata lain, tauhid sosial berfungsi untuk memurnikan segala ke-Esa-an Allah, dari segala syirik sosial, yang mewujud dalam pelbagai tindak laku sosial politik yang dehumanistik seperti diskriminasi, dominasi, penghisapan, korupsi, kolusi, nepotisme dan seterusnya. Secara lebih jauh, Pak Amien menandaskan bahwa,

“Konsep tauhid tidak mengenal dan tidak membolehkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, bahasa dan pertimbangan etnis, sehingga keadilan sosial yang komprehensif harus ditegakkan oleh manusia beriman.” (Amien, 1998: 110).

Melalui inspirasi ini, Pak Amien terpanggil sebagai intelektual yang menggagas lahirnya gerakan massa dari seluruh pelosok negeri, khususnya oleh para mahasiswa, dalam rangka memperjuangkan kebebasan, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Satu-satunya langkah yang memungkinkan untuk meraih itu semua adalah melalui suksesi kepemimpinan.

Mengenai persoalan ini, Pak Amien menuturkan, “Transformasi sosial mula-mula pasti dimulai dari transformasi intelektual” (Amien, 1998: 118). Karena itulah ide tauhid sosial ini dimatangkan ketika ia menjadi aktivis di PP. Muhammadiyah. Bisa dikatakan pula bahwa Muhammadiyah adalah lingkungan yang sangat mendukung sosok intelektual seperti Pak Amien, menjadi penggerak utama perubahan sosial dan politik di negeri ini. Melalui pengakuannya, Pak Amien mengatakan,

“Muhammadiyah adalah keluarga saya dan para senior serta rekan-rekan telah banyak membantu proses pembelajaran saya. Perjalanan bersama Muhammadiyah adalah pengalaman seumur hidup. Anda tidak bisa meninggalkan Muhammadiyah seperti halnya anda tidak bisa meninggalkan keluarga anda. Ikatan ini berlandaskan rasa saling percaya dan berlangsung abadi.” (Amien, 2003: 57).

Dari uraian di atas dapat disari suatu makna bahwa, gagasan tauhid sosial terlebih dahulu lahir, sebagai refleksi intelektual kritis sosok Amien Rais. Walau demikian tidak dapat dipungkiri bahwa, lingkungan sosial juga membentuk watak dan karakter sang intelektual dan sebaliknya, intelektual tertentu, pastilah memberikan sumbangsih yang besar terhadap corak dan bahkan mazhab pemikiran komunitas atau masyarakatnya.

Baca Juga  Buya Yun: Ulama yang Tegas Namun Meneduhkan

Teologi Al-Ma’un dan Pemihakan Kaum Lemah

Kendati banyak orang mengenal tauhid sosial sebagai gagasan perubahan politik atau nilai moral keagamaan yang mampu mewujudkan transformasi sosial di tengah masyarakat, secara lebih filosofis, hal ini merupakan artikulasi estetis dan teoretis seorang sarjana yang cukup makan asam garam dunia intelektual akademik, sekaligus praksis sosial politik. Pak Amien mengungkapkan,

“Tentu Muhammadiyah juga memahami bahwa tauhid mempunyai social dimension. Surah al-Ma’un jelas sekali menyebutkan bahwa seseorang dicap mendustakan agama sekalipun dia shalat karena mereka lalai, membengkalikan tugas-tugas, untuk menolong fakir miskin dan kaum lemah. Artinya bagi warga Muhammadiyah, tauhid tidak berhenti pada akidah, tetapi juga harus diturunkan dan dipraktikkan pada dataran mu’amalah ma’annas. Jadi, al-adalah, al-musawah bainan nas adalah bukti tauhid. Kalau ada exploitation de l’homme par l’homme dan ada istibdad dalam Muhammadiyah atau dalam masyarakat, itu dikutuk oleh tauhid” (Amien, 1998: 264-265).

Sebagai seorang hamba Allah, seorang Muhammadiyah, bahkan pemimpin Muhammadiyah, Pak Amien tidak jauh dari segala ketentuan syariat. Sama persis seperti doktrin para sufi modern (neo-sufis) yang menekankan jalan syariat untuk menggapai hakikat dan ma’rifat.

Pak Amien melalui gagasan tauhid sosial mencoba melakukan kontekstualisasi kredo “amar ma’ruf nahi munkar” (tonggak syariat) dalam wujud gerakan perlawanan sosial politik, terhadap pelbagai bentuk kemunkaran sosial yang keji. Pencapaian hakikat bagi Pak Amien adalah terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera. Sementara itu meraih ma’rifat, baginya adalah mampu membangun negara yang adil-makmur yang diridlai dan senantiasa mendapat ampunan Allah SWT. (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

***

Demikianlah, tauhid sosial ini mengajarkan pada kita semua mengenai arti penting pembangunan kesadaran kritis umat, mengarahkan pada keberpihakan kemanusiaan yang jelas dan keberanian untuk menghadang segala bentuk kemunkaran dan syirik sosial. Semua itu bertujuan untuk mewujudkan masa depan umat yang lebih cerah, mengembalikan kehormatan Islam yang hakiki, yang tidak ternodai oleh kepentingan-kepentingan korup dan sewenang-wenang.

Bagi Pak Amien, inilah syariat Allah yang harus dijalankan. Syariat berarti jalan menuju kepada-Nya. Bukan sekedar ritual keseharian, tetapi juga nilai-nilai etis universal yang harus terwujud dalam kehidupan sosial politik bangsa Indonesia.

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds