IBTimes.ID – “Membaca Magelang, Membaca Untuk Indonesia” adalah tema yang dibahas dalam kajian kedua “Dialektika” ini (13/02/2021) di Pendopo Sudirman Satu, Jl. Sudirman No. 1, Sawitan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Digawangi oleh seorang akademisi bernama Zuhron Arafi, Forum Dialektika ini dimaksudkan untuk menjaga daya nalar kritis (intelektualitas), berdialog dan berliterasi di Kabupaten Magelang.
Di awal diskusi, Zuhron menyampaikan bahwa gerakan revolusi di dunia (revolusi Perancis, revolusi di Indonesia dan lain-lain), diawali oleh mereka-meraka yang memiliki daya nalar kritis dan selalu menghidupkan budaya nalar yaitu literasi dan discuss. Yaitu mempertemukan jalan-jalan pikiran, agar terangkum menjadi sebuah dialektika/gagasan yang bermakna.
Menurut Zuhron, Magelang dengan kawah candra dimukonya, yaitu “kemegahan Candi Borobudur”, harus mampu menjadi semangat, bisa menambah daya nalar pemuda untuk berfikir, dan berinstropeksi diri.
Selain itu, Bang Dul juga menambahkan, meminjam bahasa Mardigu, “Ada teknologi dibalik membangunnya Candi Borobudur”. Jangan-jangan orang-orang dijaman pra penjajahan lebih mahir dalam bidang teknologi.
Hendy dalam penyampaian gagasannya tentang “paradoks Borobudur”, di Kabupaten Magelang, menyebut bahwa Kecamatan Borobudur menjadi salah satu kecamatan yang masuk dalam daftar kecamatan termiskin.
Menurut Hendy, Borobudur telah menjadi kawasan strategis nasional sepeti halnya terdapat 20 Balai Ekonomi Desa (Balkondes), home stay, rumah makan, hotel, dan lain-lain. Akan tetapi, dampak dan manfaat dari berdirinya kawasan strategis nasional tersebut, ternyata belum bisa dirasakan oleh warga masyarakat di Kecamatan Borobudur sampai saat ini. terlepas karena sudah banyaknya tanah-tanah warga yang telah dijual kepada orang-orang bukan asli daerah.
“Hal itu dilakukan demi menangkap geliat ekonomi yang menguntungkan sebelah pihak, tanpa memperdulikan keberlangsungan dan kesejahteraan warga masyarakat sekitar Borobudur,” ujarnya.
Dari kaitan tersebut, imbuh Hendy, pemerintah daerah harus berfikir lebih serius, guna memaksimalkan sosialisasi akan makna kawasan strategis nasional dan pentingnya kaberlangsungan ekonomi warga sekitar Borobudur. Karena jangan sampai masyarakat asli Borobudur lama-kelamaan akan merasa tersingkirkan.
Zuhron mengaku pernah mengadakan sebuah penelitian tentang kehidupan beragama di Tahun 2008. Ia bertemu dengan seorang Bante. Bante tersebut menyampaikan bahwa setelah Borobudur menjadi kawasan pariwisata di Kab. Magelang, “harga diri kami merasa terinjak-injak, kami tidak ada ruang untuk melakukan peribadatan secara khusyuk”.
Ketika ditinjau dari pendekatan Hak Asasi Manusia, lanjut Zuhron, ini menjadi salah. Karena “hak asasi beribadat” di tempat ibadah sendiri telah dijadikan sebagai pusat pariwisata, demi kepentingan ekonomi. Sedangkan negara telah menghilangkan esensi ruhiyahnya (peribadatan). Sebagai alternatif solusinya, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) telah mendirikan 12 vihara yang dikhususkan untuk 12 sekte besar agama Budha.
Pada saat yang sama, Agus Sugiyono menyebut bahwa pemimpin besar di Indonesia banyak lahir dan pernah tidur di Magelang. Ironisnya, saat ini di kecamatan Borobudur, ada sebuah lembaga pendidikan diruntuhkan demi membangun sebuah gapura.
“Selain Kecamatan Borobudur masuk dalam kategori miskin, tanah-tanahnya bukan milik pribumi, bagi saya pasti ada yang salah dalam system pengelolaannya,” ujar Agus.
Singgih saroso menyebut pemerintahan dikelola dengan sistem geguyon (bercanda). Menurutnya, Indonesia seharusnya memiliki bargaining position di mata dunia. Homestay, tempat makan, hotel, dan lain-lain bukan milik pribumi. Pribumi hanya mampu menikmati manfaat kawasan pariwisata melalui, lahan parkir, jasa toilet, dan lain-lain.
Selain itu, dalam forum ini juga dibahas tentang problematika kesenjangan sosial, potensi keunggulan daerah magelang, pendidikan, kebijakan pada tataran teknis, studi kasus embung desa, dan lain-lain. Pada intinya, Magelang dibangun bukan hanya melalui perkara instan atau selera jangka pendek, melainkan pasti melalui proses yang cukup panjang.
Oleh karenanya, forum dialektika ini menjadi bukti sejarah, awal daripada peradaban tersebut, dengan selalu mengedepankan nalar kritis dan literasi diantara para pemuda di Kab. Magelang. Menjaga kondisi intelektualitas agar tetap fresh dan tetap terjaga melalui disiplin ilmu yang berbeda-beda.
Dari pengkajian tersebut, Dialektika ini diharapkan dapat melahirkan konstruksi keilmuan yang jelas dan konstruktif, seperti selayaknya para founding parent terdahulu. Harapan lain dari diskusi ini adalah Membaca Magelang, juga sudah termasuk dalam membaca Indonesia.
Kajian ini dihadiri oleh Zuhron Arafi, Agus Sugiyono, Lovita Ivan Hidayatullah, Sigit Priatmaji, Muslim, Sapari, Hendy, Bang Dul, Muhammad Ainur Rofiq, Muhammad Lukmanul Hakim, Unimma TV.
Reporter: Lovita/Yusuf