Sudah tak bisa dipungkiri bahwa gagasan dan pemikiran Quraish Shihab bisa kita ditelusuri pada sejumlah karya-karya ilmiahnya dan pesan-pesan dakwah yang disampaikannya. Secara lebih khusus, gagasan dan pemikiran Quraish Shihab dalam bidang pendidikan dapat ditemukan dalam buku beliau yang berjudul Membumikan al-Quran.
Sebagai pakar tafsir dan juga orang yang sebagian besar hidupnya dicurahkan untuk kegiatan pendidikan, Quraish Shihab memiliki pandangan tersendiri akan makna dan tujuan pendidikan. Pertama, tentang tujuan pendidikan, Quraish Shihab merujuk pada surat al-Jumu’ah ayat 2. Allah Swt. berfirman:
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Artinya: “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2).
Ternyata, mengenai ayat ini, Quraish Shihab berkomentar, “Rasulullah Saw yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima al-Qur’an, bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk kepada orang yang bertakwa sebagaimana pada ayat di atas, menyucikan dan mengajarkan manusia. Menyucikan dapat diidentikan dengan mendidik sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.”
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian, dan pengajaran itu adalah sebuah bentuk pengabdian kepada Allah Swt. Ini sejalan dengan tujuan penciptaan manusia sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an dalam surat Az-Zariyat ayat 56. Allah Swt berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56).
Rupa-rupanya, Quraish Shihab sendiri mengartikan ayat di atas dengan, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada-Ku, tetapi mereka Aku ciptakan untuk beribadah kepada-Ku. Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk mereka sendiri.”
Tak heran jika Quraish Shihab berpendapat demikian. Sebab, latar belakang beliau sebagai pakar tafsir jelas telah memenuhi pemikiran beliau di banyak aspek. Salah satunya adalah pendidikan. Dengan kepakarannya sebagai mufassir itulah Quraish Shihab menjelaskan konsep pendidikan dalam perspektif al-Qur’an.
Mencetak Manusia yang Ahli Ibadah
Syahdan, ibadah sendiri terdiri dari ibadah mahdhah (murni) dan ghairu mahdhah (tidak murni). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah baik waktu, tempat, serta tata caranya, seperti zakat, puasa, shalat, haji. Ibadah ghairu mahdhah adalah segala aktivitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Hubungan muamalah antar manusia dapat menjadi sebuah ibadah bahkan hubungan seks pun dapat terhitung ibadah jika dikerjakan sesuai dengan ketentuan agama. Dengan begitu, surat Az-Zariyat ayat 56 menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar segala aktivitas manusia dilakukannya demi karena Allah Swt yaitu sesuai dan sejalan dengan tuntutan petunjuk-Nya.
Tentu saja, aktivitas yang dimaksud di atas tersimpul dalam kandungan surat al-Hud ayat 61. Allah Swt berfirman:
وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَالَـكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗ هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْۤا اِلَيْهِ ۗ اِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ
Artinya: “Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari Bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud [11]: 61).
Sebenarnya, kata ansya’akum/menciptakan kaum mengandung makna mewujudkan serta mendidik dan mengembangkan. Sedangkan kata ista’mara terambil dari antonim dari kata kharab, yakni kehancuran. Huruf sin dan ta yang menyertai kata ista’mara ada yang memahaminya dalam arti perintah.
Sehingga kata tersebut berarti Allah memerintahkan kamu memakmurkan bumi dan ada juga yang memahaminya sebagai berfungsi penguat, yakni menjadikan kamu benar-benar mampu memakmurkan bumi. Sedangkan Ibn Katsir memahaminya dalam arti menjadikan kamu pemakmur-pemakmur dan pengelola-pengelolanya.
Kemudian, selanjutnya Quraish Shihab mengambil pendapat Thabathaba’i yang memahami ista’marakum fil ardh dalam arti mengolah bumi. Sehingga beralih menjadi suatu tempat dan kondisi yang memungkinkan manfaatnya dapat dipetik. Misalnya, seperti membangun pemukiman untuk dihuni, masjid untuk tempat ibadah, tanah untuk pertanian, taman untuk dipetik buahnya dan rekreasi.
Dengan demikian, penggalan ayat tersebut bermakna bahwa Allah Swt telah mewujudkan melalui bahan bumi ini, manusia yang Dia sempurnakan dengan mendidiknya tahap demi setahap, dan menganugerahkannya fitrah berupa potensi yang menjadikan ia mampu mengolah bumi dengan mengalihkannya ke suatu kondisi, di mana ia dapat memanfaatkan demi kepentingan hidupnya.
Quraish Shihab menyimpulkan bahwa ayat di atas mengandung perintah kepada manusia (langsung ataupun tidak langsung) untuk membangun bumi dalam kedudukannya sebagai khalifah, sekaligus menjadi alasan mengapa manusia harus menyembah Allah Swt semata. Sementara itu, berhubungan dengan tugas manusia sebagai khalifah, Quraish Shihab mengatakan bahwa penjabaran tugas kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat itu masing-masing.
Ini dikarenakan adanya corak yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Dari sini pula diambil kesimpulan bahwa, sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat.
Tujuan yang Ingin Dicapai al-Qur’an
Lebih lanjut Quraish Shihab mengemukakan, bahwa tujuan yang ingin dicapai al-Qur’an sendiri adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah Swt. dan khalifah-Nya. Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu, pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, serta pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan.
Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, maka terciptalah makhluk “dwidimensi” dalam satu keseimbangan, dunia akhirat, ilmu dan iman. Pandangan tentang tujuan pendidikan yang diutarakan Quraish Shihab sangat selaras dengan tujuan pendidikan yang dicetuskan oleh para cendikiawan Muslim.
Seperti halnya Hamka. Menurut beliau, pendidikan memiliki dua dimensi. Pertama, pengembangan pemahaman tentang kehidupan konkret dalam konteks dirinya sesama manusia dan alam semesta. Kedua, menjadikan pendidikan sebagai jembatan dalam mencapai hubungan yang abadi dengan Sang Pencipta. Dalam pandangan Hamka, bisa dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengenal dan mencari keridhaan Allah Swt dalam hal ini membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia.
Dalam hal tujuan pendidikan, lagi-lagi terdapat kesamaan antara pendapat Quraish Shihab dengan tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Prof. Muhammad Athiyah. Dimana, tujuan pendidikan Islam adalah untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Bahkan, menyiapkan pelajar dari segi professional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi tertentu.
Kesimpulan
Dari pemikiran Quraish Shihab terkait tujuan pendidikan kita bisa menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan menurut Quraish Shihab hanya mengarah kepada tujuan pendidikan umum atau yang disebut juga tujuan sempurna. Tujuan sempurna berarti mengarah kepada tujuan terakhir, atau tujuan bulat suatu pendidikan.
Sederhananya, menurut Quraish Shihab, pendidikan tidaklah melulu soal ilmu yang bersifat kognitif. Ia menyatakan bahwa secara umum ilmu tidak mampu menciptakan kebahagiaan manusia. Ilmu hanya mampu menciptakan pribadi-pribadi manusia secara satu dimensi. Sehingga, kalaupun manusia mampu berbuat sesuatu, dia sering kali tidak bijaksana.
Karena itulah, pendidikan haruslah meliputi aspek religius-ilmiah, akal dan spiritual sehingga apa yang dikehendaki, yaitu terciptanya manusia yang seimbang dalam duniawi-ukhrawi tercapai.
Singkatnya, Quraish Shihab menekankan bahwa pendidikan sejatinya menjadikan manusia mampu menjalani fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, serta menjadi hamba Allah Swt. yang taat. Agama Islam menuntut agar manusia dididik dengan segala totalitasnya tanpa perbedaan, pemisahan, dan sedapat mungkin disajikan.
Akhiran, bisa dikatakan bahwa aktivitas pendidikan termasuk ke dalam aktivitas beribadah kepada Allah Swt. Membentuk manusia yang berkualitas baik jasmani maupun rohani, juga mampu mengendalikan hawa nafsu untuk taat dan berbuat baik. Pendidikan merupakan jalan agar manusia mampu mengasah baik intelektual, keterampilan, dan moral. Ketiga elemen yang terasah dan terbina oleh pendidikan adalah jalan menuju pengenalan dan pendekatan terhadap sang Pencipta, yakni Allah Swt. Wallahu a’lam bishawab.
Referensi:
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997).
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), vol. 6.
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tantang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2007).
Zuhairin dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009).
Editor: Soleh