Review

Makna Islami dalam Kompleksitas Dunia Industri

4 Mins read

Apa yang membuat sebuah bisnis perdagangan, suatu industri atau komoditas tententu, Islami? Barang yang diperjualbelikan? Praktik keagamaan yang diberlakukan? Konsep dan metode yang diterapkan? Para buruh yang dipekerjakan? Lebih spesifik lagi, apakah persyaratan “Islami” yang dimaksud, dan mungkinkah persyaratan tersebut bersifat absolut?

Saya hendak menggali lebih dalam pembahasan ini dengan mengulas sebuah paper menarik yang secara spesifik meneliti industri busana kerudung di Turki. Judulnya Islamic-ness in the life of a commodity: veiling-fashion in Turkey, ditulis oleh Banu Gökarıksel dan Anna Secor, serta diterbitkan oleh Wiley atas nama The Royal Geographical Society pada tahun 2010.

Paper ini bertujuan untuk mencari bagaimana peran Islam dalam kehidupan komoditas oleh pelaku yang berbeda; melalui pertanyaan-pertanyaan seperti: finansial secara Islam, selebrasi keagamaan, praktik agama di tempat kerja, peraturan pemisahan gender di tempat kerja yang berbeda, citra perusahaan yang diharapkan, dan masih banyak lagi.

Fokus ulasan saya adalah telaah detail sikap setiap pelaku dalam mempraktikkan nilai-nilai keislaman dalam industri busana kerudung ini. Yang mana karena komoditas yang dihasilkan dan diperdagangkan, membuatnya digarisbawahi “Islami”.

Menelaah Industri Hijab di Turki

Sejak beberapa dekade yang lalu, perkembangan sektor busana kerudung Turki kerap mengalami berbagai halangan. Termasuk isu jilbab yang ikut tergiring menjadi bagian dari perdebatan politik yang panas di Turki pada tahun 1980an. Jilbab tidak lagi sekadar menjadi suatu simbol keagamaan dan ketaatan, namun telah bercampur dengan perdebatan politik yang mengelilingi Turki.

Dalam tulisan ini, penulis berargumen bahwa nilai “keislaman” tidak dapat ditetapkan dengan pasti. Melainkan, karena nilai keislaman ini tidak tampak secara mutlak, ia akan ada dan tidak ada di waktu-waktu tertentu. Argumen ini berawal dari anggapan representasi media populer, bahwasanya sektor busana kerudung Turki disebut memberikan pengaruh besar sebagai agen aktif Islamisasi dalam lingkungan Turki.

Baca Juga  Meyakini Ajaran Islam, Lewat Islam yang Saya Anut

Namun, penulis menemukan bahwa industri kerudung dan para produsennya tidak bisa dengan mudah dianggap sebagai sesuatu yang inheren dan murni Islami. 3 dari sekitar 174 pabrik busana kerudung di Turki pun dipilih menjadi objek studi kasus dalam penelitian yang mengupas segi “keislaman” dari industri komoditas bernuansa Islami ini.

Tiga pabrik busana ini adalah Tekbir, Boutique Dayi, dan Armine. Ketiganya merupakan pabrik yang telah berkutat dalam industri perbusanaan kerudung selama lebih dari dua puluh tahun.

Tekbir, Pragmatis dalam Berbisnis

Pada saat itu, Tekbir adalah pabrik terbesar di antara ketiganya. Tekbir mengklaim bahwa mereka memiliki batasan dalam penggunaan unsur Islami dalam relasi bisnisnya, terlepas dari namanya, Tekbir, yang secara literal berarti “Allah Maha Besar”.

Dalam implementasi keagamaan di tempat kerja, Tekbir cenderung merupakan jenis yang pragmatis. Mereka menerapkan praktik keagamaan yang tidak berpengaruh secara negatif terhadap margin laba dan keefesensian pengerjaan dalam pabrik. Di ruang pabrik, pria dan wanita dapat bekerja bersisian. Sedangkan ketika makan siang, terdapat panel pemisah antara ruang makan kedua gender.

Mustafa Karaduman, CEO Tekbir, menegaskan bahwa Tekbir memiliki tujuan menyebarkan penggunaan jilbab sebagai bentuk Islamisasi dengan membuatnya menarik. Dan disebutkan bahwa menjaga karakteristik Islami adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban dan etika bisnis Tekbir bagi para pelanggannya.

Contohnya adalah Tekbir tidak akan mempertimbangkan untuk memproduksi iklan televisi yang terlalu berlebihan dan memasang standar pemotongan pakaian yang menjamin penutupan pada seluruh tubuh.

Mereka pun juga merasa berkewajiban untuk menunjukkan dan membimbing para pelanggan tentang bagaimana mengenakan pakaian-pakaian tertentu dengan pantas. Tidak diragukan lagi bahwa dari sudut pandang Tekbir, jilbab merupakan suatu komoditas Islami yang mengubah konsumennya.

Baca Juga  Nyai Ahmad Dahlan Saja Pernah Tidak Pakai Hijab

Boutique Dayi, Memisahkan Agama dan Bisnis

Sementara itu, Boutique Dayi memiliki garis pemisah yang jelas antara bisnis dan agama. Manajer toko Boutique Dayi menegaskan bahwa para petinggi perusahaan tidak menganggap bisnis dan kepercayaan sebagai suatu hal yang dapat digabungkan.

Dalam kasus mereka, religiusitas tidak mempengaruhi keputusan perekrutan, operasi bisnis sehari-harinya, sampai kepada jenis komoditas yang diproduksi dan dijual.

Sebab, tidak hanya jilbab dan busana muslimah yang diproduksi oleh Boutique Dayi, namun juga rok mini dan atasan tanpa lengan. Kendati seperti ini, Boutique Dayi merupakan pengguna bank Islam, yang menurut manajer toko, digunakan dengan kepercayaan para pemilik perusahaan sebagai dalih penggunaan.

Praktik yang diberlakukan Boutique Dayi juga cenderung menunjukkan diversitas. Dari jangkauan pembeli yang mereka targetkan, sampai klaim bahwa bahwa tidak semua karyawannya mengenakan jilbab. Namun, meskipun seluruh karyawannya adalah perempuan, toko akan tutup selama waktu ibadah salat Jum’at.

Armine, “Lakum dii nukum wa liya diin

Sementara yang terakhir, yaitu Armine, adalah perusahaan yang menyokong kebebasan dalam berbusana. Terdapat sebuah slogan iklan mereka yang populer pada tahun 2007, Giyinmek güzeldir, yang memiliki arti literal “berpakaian itu indah”. Namun, mereka menolak dikaitkan dengan perdebatan politik dan dianggap memiliki misi Islamisasi yang sama seperti Tekbir.

Pun, berbeda dari Tekbir yang merasa bertanggungjawab untuk menyediakan pakaian yang pantas secara agama, mereka menganggap bahwa adalah tanggung jawab para pembeli untuk memilih apa yang benar bagi mereka, baik model pakaian maupun cara memakainya.

Meskipun begitu, Armine tetap berpandangan bahwa jilbab adalah suatu komoditas keagamaan yang perlu dihormati, bukan aksesori biasa.

Hal ini diilustrasikan manajer retail Armine dalam salah satu perkataannya, “…dari sudut pandang religius, seorang penjual anggur tidak dianggap berdosa ketika seorang pembeli membuat khamar dengan anggur yang dijualnya. Dosa adalah milik sang pembuat khamar.

Baca Juga  Belajar Filsafat Bukan Perkara yang Haram

Penggambaran tersebut sama halnya dengan situasi Armine ketika terdapat pelanggan yang membeli jilbab Armine, kemudian mengikatkannya di sekitar leher dan punggung mereka, atau dikenakan sebagai blus pendek.

Demikianlah tulisan ini saya simpulkan, bahwasanya ketika keislaman telah menjadi bagian dari sebuah industri, terutama apabila sudah masuk dalam bagian dari budaya konsumtif, maka akan terlihat ketidakstabilan pengertian pada makna penggunaannya dan ketidakmungkinan untuk menetapkan jawaban yang mutlak.

Tidak ada satu pun di antara ketiga perusahaan yang disebutkan yang memiliki pemahaman kukuh tentang arti keislaman itu sendiri. Kebanyakan dari mereka pun cenderung pragmatis tentang praktik yang diterapkan.

Arti keislaman ini sudah tercampuradukkan di antara berbagai macam pemahaman, praktik, dan jaringan divergen yang telah membentuk kehidupan sehari-hari di Turki. []

Editor: Yahya FR

7 posts

About author
Pelajar.
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds