Kecenderungan menyimpang dalam ber-aqidah merupakan bencana yang besar. Salah satu penyimpangan tersebut adalah aqidah tasybih (menjadikan sifat Allah SWT sama dengan sifat mahluk), yang sangat berpotensi mengeluarkan seorang muslim keluar dari agamanya (secara aqidah).
Al-Qur’an diturunkan dengan sekian lafaz dan ayatnya yang mutasyabih menjadi penyuplai utama penyimpangan aqidah tersebut. Namun akan menjadi semakin menyimpang dan runyam apabila kita menganggap al-Qur’an sebagai penyebab utama kesalahan dari kasus di atas. Padahal Al-Qur’an tidak pernah keliru dan manusia adalah lemah sehingga potensi salah hanya berasal dari manusia.
Lafaz atau ayat mutasyabih yang biasanya disalah pahami adalah kaitannya dengan sifat Allah SWT yang dimiliki mahluk seperti melihat, bersemayam, mendengar, meyentuh, dan lain-lain. Penyetaraaan sifat tersebut tentu saja batil, bagaimana mungkin sifat mahluk (sesuatu yang diciptakan) disamakan dengan sifat Khaliq (pencipta segala sesuatu).
Dalam tulisan ini, penulis berfokus membahas metode ta’wil dan makna term istiwa’ (bersemayam) oleh Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi yang selama ini disalahpahami oleh sebagian golongan.
Biografi Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi
Nama lengkap beliau adalah al-Syaikh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, beliau dilahirkan di Republik Arab Mesir, Provinsi Daqahlia, Diztrik Mith Gamar, Desa Daqadus pada 16 April 1911 M. Sejak umur 11 beliau sudah hafal al Qur’an dan mendapat laqab (julukan) dari orang tuanya Syaikh al Amin (Yang terpercaya).
Semenjak kecil beliau mengenyam pendidikan di Madrasah Ibtida’iyah al-Azhar, Zaqaziq. Kecerdasanya telah nampak dari hafalannya yang kuat akan sya’ir dan peribahasa arab hingga beliau meraih ijazahnya pada tahun 1923.
Kemudian beliau melanjutkan pendidikan di lembaga yang sama dan minatnya terhadap sastra dan syair semakin meningkat. Beliau mendaftar dan diterima di al-Azhar pada tahun 1937 H pada Fakultas Bahasa Arab. Kemudian lulus dengan predikat S1 pada tahun 1940 H dan mendapat izin mengajar pada tahun di Zaqaziq, Thanta, dan Iskandaria.
Metode Ta’wil Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi
Dalam video berdurasi 30 menit di YouTube yang diunggah oleh Fuad Fansuri terlihat jelas rekaman Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi ketika menguraikan metode dan makna term istiwa’. Beliau memulai dengan pertanyaan “Dimana Allah SWT?” adalah pertanyaan yang fatal. Karena pertanyaan “dimana” dan “kapan” itu adalah pertanyaan untuk manusia yang statusnya adalah mahluk. Sama halnya dengan pertanyaan “Kapan anda lahir?” “Dimana anda lahir?” “Dimana anda tinggal?”. Semua pertanyaan tersebut, (seperti) “kapan” adalah menunjukkan waktu, sedangkan “dimana” adalah menunjukkan tempat. Padahal “waktu” dan “tempat” adalah suatu wadah/kondisi untuk sesuatu yang diciptakan (mahluk). Kemudian kita berfikir secara rasional “Apakah waktu dan tempat layak untuk pencipta?”, tentu saja kita sepakat menjawab “Tidak”.
Terdapat satu analogi dari beliau berupa pernyataan, yaitu “apabila saya minum maka (saat itu juga) tercipta kondisi tertentu, yaitu waktu dan tempat. Tetapi apabila Saya tidak minum, namun diberi pertanyaan “Anda minum dimana?” maka tentu saya akan menjawab “Saya tidak minum”. Maka analogi yang muncul adalah tidak ada waktu dan tidak ada tempat. Sedangkan Allah SWT bukanlah mahluk atau Dia bukan sesuatu yang baru maka tidak (mungkin) terkait dengan waktu dan tempat sehingga tidak boleh dipersoalkan kapan dan dimana. Karena keduanya merupakan hasil dari terjadinya sesuatu, padahal Allah-lah yang menciptakan atau menjadikan sesuatu, dan dari Dia pula muncul istilah “kapan” dan “dimana”.
Makna Term Istiwa’ Perspektif Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi
Dalam al-Qur’an term tersebut disebutkan berulang kali, namun makna term istiwa’ yang disandarkan kepada Allah hanya terdapat pada tujuh surat antara lain, al-A’raf:6:54, Taha:20:5, Yunus:10:3, al-Ra’du:13:2, al-Furqan:25:59, al-Sajdah:32:4, dan al-Hadid:57:4. Pada tulisan ini penulis mengutip pendapat beliau mengenai term istiwa’ dalam surat Taha: 20; 5 sebagai berikut:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
“(Dialah Allah) Yang Maha Pengasih (dan) bersemayam di atas Arsy”
Penafsiran kata-kata yang disandarkan kepada Allah SWT adalah berbeda dengan penafsiran kata-kata yang disandarkan dengan mahluk (manusia). Oleh karena itu kita dilarang memberi makna Allah SWT ber-istiwa’ ke langit seperti halnya manusia (beranjak) ke suatu tempat. Tapi artikanlah istiwa’-Nya sesuai dengan keagungan zat-Nya. Walaupun Allah ada (wujud), kita juga ada, namun wujud-Nya Allah SWT tidak sama dengan wujud kita. Maka apabila ada kata “Istiwa’ Allah” pasti istiwa’-Nya berbeda dengan istiwa’ manusia, pemaknaanya harus disesuaikan dengan kandungan ayat. Beliau berpendapat demikian karena menggunakan landasan Surah As-Syura: 42 ;11 yang memiliki arti “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”.
Para mufassir klasik dan kontemporer sepakat dengan makna demikian. Namun, apabila dikaji dengan teliti maka terdapat beberapa perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka mengartikan istiwa’ sama dengan bersemayam atau duduknya manusia. Mayoritas golongan yang mengartikan demikian adalah Mazhab Dhahiriah, mereka kaku dan tertutup akan pendapat golongan selain mereka. Keyakinan mereka terhadap suatu hukum hanya sebatas nash atau teks yang terdapat pada Al-Qur’an dan Sunnah. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh