Tulisan ini berangkat dari diskusi kelas perkuliahan dan obrolan bersama guru-guru di sekolah tempat saya mengajar, termasuk tentang pidana Islam. Suatu hal yang patut disyukuri ketika mendapatkan lingkungan yang disekelilingnya terdapat orang-orang yang selalu mengaktifkan sensor kuriositasnya. Allah pun mengajarkan kepada kita untuk selalu memohon kepadanya agar ditempatkan pada situasi yang diberkahi-Nya.
Sudah menjadi tugas ilmu pengetahuan untuk memberikan penjelasan pada fenomena atau problema yang ada pada umat manusia. Ini pun berlaku untuk ilmu psikologi. Pada tulisan ini, penulis akan mencoba mempergunakan berbagai konsep psikologi untuk memberikan penjelasan atas efektivitas pemberlakuan hukum syariah Islam dalam menangani persoalan umat manusia.
Syariah Islam adalah aturan yang diturunkan kepada manusia agar diterapkan dalam kehidupan manusia. Apabila manusia menerapkan syariah itu, maka akan mendapatkan manfaat yang banyak, baik itu jangka pendek maupun panjang. Syariah terkadang diasosiasikan dengan hukum, tetapi hukum itu memang luas ruang lingkupnya. Allah mengatur segala bentuk kehidupan manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, pemerintahan, hubungan antar pribadi dan sesama manusia, hingga hubungan dengan Allah.
Pada artikel singkat ini penulis hanya akan ditujukan kepada hukum pidana Islam, yang penulis coba tinjau efektivitasnya dari kacamata psikologi sosial tentang kriminalitas modern. Selain itu untuk memperkuat akan disinggung pula perihal pengaruh penerapan hukum Islam untuk meminimalisir tindakan kriminal.
Sumber Hukum Pidana Islam
Terdapat perbedaan di kalangan para ulama tentang acuan yang menjadi sumber di dalam penerapan hukum pidana Islam. Hukum pidana Islam yang akan dibahas di sini hanyalah hukum pidana Islam yang sudah secara jelas dituliskan nash-nya dalam Al-Qur’an. Menurut A. Wardi Muslich (1986), hukum pidana semacam ini berlaku sepanjang masa dan tidak berubah karena ruang dan waktu.
Tentu sangat jelas hukum jenis ini tidak membuka peluang kepada penguasa (ulil amri) untuk menetapkan hukuman yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Jenis-Jenis Tindak Pidana
Setidaknya ada delapan jenis tindak pidana yang hukumannya telah diatur oleh Al-Qur’an, yakni tindak pidana zina, tindak pidana menuduh zina, tindak pidana pencurian, tindak pidana perampokan, meminum minuman keras, pemberontakan terhadap pemerintahan, tindak pembunuhan dan penganiayaan.
1) Zina
Perzinaan adalah perbuatan yang sangat dikutuk oleh Al-Qur’an. Allah telah menggariskan ketentuannya dalam Q.S An-Nur: 2. Kalau kita melihat ketentuan dalam ayat tersebut maka akan terkesan sangat berat. Pertama, hukuman fisik dengan cambuk sebanyak seratus kali tentu saja sangat menyakitkan tubuh. Kedua, pelaksanaan hukuman tersebut disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Ketentuan ini sangat memberatkan, karena orang harus menanggung berat atas perbuatannya.
2) Tindak Pidana Pencurian
Salah satu maqashid syariah itu adalah menjaga harta. Islam melindungi hak orang lain, dengan memberikan ketentuan hukuman yang keras terhadap pencurian. Maka untuk menjaga kemaslahatan tersebut, Allah berfirman dalam Q.S Al-Maidah: 38.
3) Perampokan
Perampokan lebih mengerikan daripada pencurian, karena korban akan melihat secara langsung hak miliknya diambil secara paksa. Selain itu seringkali perampokan ini menjurus pada penganiayaan terhadap korban. A. Wardi Muslich (1986) merujuk Q.S Al-Maidah: 33, sebagai ayat yang melandasi hukum pidana untuk perampokan.
4) Pembunuhan dan Penganiayaan
Al-Qur’an mengabadikan konsekuensi hukuman ini pada Q.S Al-Baqarah: 178. Hukuman untuk pembunuhan dan penganiayaan ini agar berbeda dengan hukuman untuk hukum pidana yang di atas. Dalam konteks ini, apabila pihak keluarga korban memaafkan perbuatan tersebut, maka si pembunuh akan bebas dari balasan hukuman mati. Di sini kelihatan bahwa hukum Islam lebih luwes dari hukuman mati yang berlaku di beberapa negara yang tidak mengacu pada hukum Islam.
Efektivitas Hukum Pidana Islam: Kacamata Psikologi Sosial
Beberapa ahli kriminologi dan psikologi sosial berpendapat bahwa suatu tindak kejahatan yang dapat dikenakan hukuman pidana adalah suatu perbuatan yang telah diperhitungkan secara rasional. Dalam salah satu hadits Nabi dikatakan bahwa, “suatu perbuatan harus dinilai dari niat yang melandasi perbuatan tersebut.”
Menurut John S. Carrol (1982), suatu tindak kejahatan adalah suatu perbuatan yang telah diperhitungkan secara rasional. Faktor-faktor yang diperhitungkan di dalam pengambilan keputusan untuk melakukan suatu tindakan pidana dirumuskan Carrol sebagai berikut:
SU= {p(S) x G} – {p(F) x L}
SU= Subjective Utility. Sebagai pertimbangan si pelaku tindak kejahatan, apakah dia akan melaksanakan atau tidak melaksanakan tindakan kejahatan yang telah direncanakan. Maka keputusannya ada dua, apakah akan dilaksanakan atau tidak.
p(S)= Probability of Success. p(S) adalah pertimbangan si pelaku tindak kejahatan tentang sejauh mana dia melihat tindakannya akan berhasil/sukses di dalam pelaksanaannya.
G= Gain. Pertimbangan besar dan kecilnya keuntungan yang akan diperoleh dari suatu tindak kejahatan yang direncanakan. Keuntungan di sini bisa dipahami keuntungan materi seperti barang berharga atau uang, bahkan bisa juga keuntungan psikologis seperti kepuasan jiwa karena telah melakukan tindakan kejahatan itu.
p(F)= Probability of Failure. Pertimbangan si pelaku tentang besar kecilnya kemungkinan gagal, misalnya tindakannya diketahui dan ditangkap pihak berwenang.
L= Loss. L ialah besar kecilnya apabila si pelaku kejahatan tertangkap di dalam melaksanakan tindak kejahatan. Kerugian di sini bisa dilihat berupa lamanya masa yang dijalani dalam penjara, kehilangan nyawa karena hukuman mati, kerugian psikologis karena berpisah dari orang yang dicintai (anak, istri, dll).
Faktor Mendorong Kejahatan
Lebih jauh, sebetulnya banyak sekali faktor yang mempengaruhi terjadi atau tidak terjadinya suatu tindakan kejahatan. Faktor p(S) dan p(F) misalnya, sangat tergantung pada tingkat keamanan, keaktifan para petugas, kesungguhan hati petugas keamanan dalam melaksanakan tugas, dan termasuk sikap masyarakat untuk melaporkan tindakan kejahatan.
Jika menggunakan permisalan yang terjadi dalam film Batman, terdapat satu kota yang penuh dengan angka kriminalitas, Gotham City. Kondisi tata kota dan sistem pengamanannya sangat menentukan kemungkinan sukses atau gagalnya suatu tindak kejahatan. Bilamana suatu kota sistem keteraturannya kacau maka kemungkinan akan semakin besar peluang terjadinya tindak kejahatan.
Adapun faktor L (loss) sangat bergantung pada besar kecilnya hukuman atau akibat lain yang diperoleh dari kegagalan (bisa jadi tertangkap) ketika melaksanakan tindakan kejahatan. Semakin berat hukuman dan semakin pasti hukuman itu berlaku, maka semakin kecil keberanian orang untuk melakukan suatu tindakan kejahatan.
Kesimpulannya, interaksi antara p(S) x G dan p(F) x L akan menentukan terjadinya kejahatan. Semakin besar kemungkinan untuk sukses, maka semakin besar kemungkinan ada dorongan untuk melakukan tindakan kejahatan. Sebaliknya, semakin besar kemungkinan untuk gagal dan semakin berat hukuman karena kegagalan tersebut, maka semakin kecil kemungkinan orang untuk melakukan suatu tindakan kejahatan.
Keunggulan Sistem Hukum Pidana Islam
Melihat keunggulan dari sistem hukum Islam, dapat terlihat ketika dihubungkan dengan komponen tindak kejahatan yang diajukan John S. Carrol. Sistem Islam dapat mempengaruhi p(S) (kemungkinan sukses) dan p(F) (kemungkinan gagal) suatu tindak kejahatan. Setiap muslim diwajibkan untuk beramar ma’ruf (berbuat kebajikan) dan nahi munkar (mencegah kejahatan) seperti yang ditulis dalam QS Ali Imran ayat 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Pada hakikatnya setiap muslim diwajibkan melaporkan kejahatan yang terjadi, tidak untuk mendiamkannya, pun pelaku kejahatan itu adalah anak, istri, sanak famili dan teman terdekat. Kesaksian dirinya pun perlu diungkapkan ketika melihat ketidakadilan atau kemunkaran, walaupun merugikan dirinya sendiri. Dalam beberapa hadits pun sudah tertera yang namanya crime watch, yaitu kewajiban untuk melaporkan kejahatan, salah satunya dalam kesaksian zina.
Pengaruh Hukum Syariah Islam
Dari sini bisa ditarik benang merahnya, bahwa hukuman pidana Islam yang dianggap sangat berat berpengaruh terhadap L (loss). Semakin berat hukuman akan semakin kecil kemungkinan orang melakukan suatu tindakan kejahatan. Ditinjau dari ilmu psikologi, hukum pidana Islam yang berat ini memiliki fungsi penjeraan (deterrence), baik pada si pelaku kejahatan maupun pada orang lain yang berniat untuk melakukan tindak kejahatan (Leiser, 1973).
Hukuman potong tangan untuk mereka yang mencuri selain berfungsi sebagai penjeraan juga memiliki fungsi perlindungan bagi masyarakat (protection of society). Mereka yang sudah dipotong tangannya tentu akan lebih sulit untuk melakukan tindakan kejahatan di masa-masa yang akan datang.
Sebagai bahan yang dapat dijadikan bukti adalah laporan yang ditulis Charles Mitchell (1985) tentang pengaruh penerapan hukum syariah Islam di negara Sudan terhadap penurunan angka kriminalitas.
Charles Mitchell melaporkan bahwa sejak berlakunya hukum Islam di Sudan sejak September 1983 sampai tahun 1984 dilaporkan terjadi penurunan angka kriminalitas yang sangat drastis. Kasus pembunuhan turun sebanyak 71%, perampokan dan pencurian turun 55%. Selama periode tersebut terdapat 9 orang mati terkena hukum gantung di muka umum, 70 orang dihukum potong tangan karena pencurian, dan beberapa ratus kasus hukum dera dengan cambuk karena minum alkohol.
Solusinya, untuk menghilangkan kesan-kesan bahwa hukuman tersebut tidak manusiawi, maka sebagai permisalan potong tangan tidak lagi dilakukan di tempat umum tetapi di rumah sakit yang dilakukan oleh dokter bedah dengan lebih dulu diberikan anestesi supaya si terhukum tidak terlalu merasakan kesakitan.

