Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung halaman, kembali pada gegap gempita suasana kota. Namun spirit yang selama satu bulan ditanamkan melalui madrasah Ramadhan tak boleh usai, justru jika kita mengibaratkan Ramadhan sebagai madrasah untuk penggemblengan iman, maka sebelas bulan sisanya adalah masa ujian untuk mengimplementasikan hasil pendadaran selama Ramadhan.
Ramadhan dengan puasanya telah melatih kita untuk menahan nafsu, namun bagaimanapun ketat sebuah pelatihan tidak akan memberikan dampak yang nyata jika tidak dibarengi dengan ketelatenan dan keistiqamahan untuk melanjutkan pelatihan tersebut secara mandiri. Untuk itu Rasulullah Saw mengajarkan puasa sunah enam hari di bulan Syawal sebagai bentuk transisi dan pelengkap pelatihan menahan nafsu di bulan Ramadhan.
Rasulullah bersabda dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Ayub Al-Anshari r.a., “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka seakan-akan ia puasa sepanjang tahun.” Imam Nawawi menerangkan dalam Syarah Sahih Muslimnya bahwa hadis ini menjadi dalil yang sangat jelas untuk sunahnya puasa enam Syawal.
Imam Qarafi dalam Adz-Dzakirah mengatakan, “Jika satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh, maka satu bulan (puasa) layaknya sepuluh bulan, kemudian ditambah enam hari (puasa Syawal) bagaikan 60 hari atau dua bulan, sehingga sempurnalah satu tahun.” Lantas bagaimana tata cara pelaksanaan puasa sunah Syawal ini?
Puasa Enam Hari Beruntun atau Tidak?
Puasa sunah enam hari bulan Syawal bisa dilaksanakan di seluruh hari bulan Syawal, kecuali tanggal satu yang merupakan hari raya. Puasa Syawal bisa dilaksanakan secara berurutan atau enam hari bersambung, dan bisa juga dilaksanakan tidak berurutan selama masih dalam bulan Syawal. Tidak ada keharusan puasa Syawal dilakukan dari tanggal 2 sampai 7 Syawal atau enam hari awal setelah Idul Fitri. Selama enam hari puasa masih dilaksanakan dalam bulan Syawal, maka dianggap sah dan akan dihitung sebagai pahala sunah puasa Syawal.
Adapun perbedaan pendapat antar ulama adalah tentang afdhaliyah atau mana yang lebih utama, apakah bersambung di awal bulan ataukah melonggarkan waktunya selama bulan Syawal. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa puasa Syawal yang dilaksanakan bersambung setelah lebaran lebih utama, sebab lebih utama untuk menyegerakan ibadah dan kebaikan daripada mengakhirkannya.
Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?
Sudah maklum menjadi pertanyaan setiap kali bulan Syawal, dilema antara mengambil sunah puasa enam hari atau membayar hutang puasa Ramadhan terlebih dahulu? hal ini tidak menjadi masalah jika kita tidak memiliki hutang puasa wajib, baik puasa nadzar maupun puasa Ramadhan. Dalam kondisi ini, kita bisa berniat puasa Syawal baik secara beruntun maupun terpisah-pisah.
Kondisi berikutnya adalah ketika ada hutang puasa Ramadhan dengan sebab-sebab khusus perempuan seperti haid, hamil dan menyusui, maupun udzur syar’i lain yang membolehkan tidak berpuasa seperti sakit dan safar. Bolehkah puasa Syawal yang hukumnya sunah didahulukan atas qadha’ puasa Ramadhan yang berhukum wajib?
Lebih utama puasa qadha’ dilaksanakan terlebih dahulu baru kemudian sunah puasa enam hari bulan Syawal. Tapi bukan berarti mengerjakan sebaliknya tidak diperbolehkan. Memang secara hukum, yang wajib harus didahulukan daripada yang sunah. Seperti halnya memaksakan diri untuk qiyamul lail dalam kondisi lelah dan melewatkan shalat subuh karena tertidur. Pada kasus ini, lebih baik mengambil istirahat dan meninggalkan sunah qiyamul lail agar bisa melaksanakan shalat subuh. Namun kasus perbandingan antara puasa qadha’ atau puasa Syawal berbeda.
Kewajiban membayar hutang puasa Ramadhan merupakan wajib muwassa’, wajib yang dilonggarkan waktunya sepanjang tahun sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Sedangkan sunah puasa Syawal terbatas hanya pada bulan Syawal saja. Sehingga diperbolehkan melaksanakan puasa Syawal terlebih dahulu baru kemudian qadha’ hutang puasa Ramadhan. Jadi puasa Syawal boleh dilaksanakan sebelum qadha’, namun lebih utama mendahulukan qadha’ puasa.
Niat Qadha’ Sekaligus Puasa Syawal, Bolehkah?
Ulama Syafi’iyah membolehkan memasukkan niat puasa sunnah dalam puasa qadha’ yang wajib. Perempuan yang membayar hutang puasanya di bulan Syawal dan mengiringi niat qadha’ dengan niat puasa Syawal, maka terhitung telah menunaikan kewajiban dan mendapatkan pahala sunah.
As-Suyuthi dalam Asybah wa Nadzair mengatakan, “Jika puasa (wajib) untuk membayar hutang puasa ataupun menunaikan nadzar dilaksanakan pada hari arafah, dan diiringi dengan niat puasa arafah, Al-Barizi berfatwa bahwa kedua niat puasa sah dan akan mendapat pahala.”
Jika dari sini kemudian kita berfikir bahwa melaksanakan puasa qadha’ sekaligus sunah Syawal lebih menguntungkan, maka hal tersebut kurang tepat. Karena dengan melaksanakan qadha’ dan sunah Syawal secara terpisah, maka kebaikan yang didapat juga lebih besar.
Hal ini bisa kita analogikan dengan keutamaan orang berpuasa. Selama berpuasa aroma mulut seorang hamba di mata Allah layaknya aroma kasturi, semakin banyak hari yang diisi dengan puasa maka semakin banyak dan sempurna pula kebaikan yang dilimpahkan Allah pada kita.
Bisa kita simpulkan jika diurutkan menurut keutamaannya atau afdhaliyah, cara melaksanakan puasa Syawal adalah enam hari beruntun setelah Idul Fitri. Namun jika memiliki hutang puasa, maka lebih utama qadha’ puasa dilaksanakan lebih dahulu. Jika hari puasa yang harus di-qadha’ terlampau banyak, sehingga dikhawatirkan bulan syawal akan habis, maka lebih baik puasa Syawal didahulukan dan qadha’ puasa dilaksanakan sampai sebelum masuk Ramadhan berikutnya.
Apabila jika tidak memungkinkan atau sulit melaksanakan qadha’ dan sunah Syawal secara terpisah, maka diperbolehkan memasukkan niat sunah Syawal dalam qadha’ puasa Ramadhan, selama masih dilaksanakan dalam bulan Syawal. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh