Falsafah

Manhaj Akademis KH. Ahmad Dahlan

3 Mins read

Membaca Muhammadiyah harus dari berbagai sisi. Setiap sisinya unik dan menarik. Melihat Muhammadiyah hanya dari sisi purifikasi agama saja akan berkesimpulan bahwa gerakan dakwah ini adalah gerakan Islam ortodoks (ortodhox Islamic movement).

Menurut Ahmad Jainuri dalam disertasinya menyebutkan bahwa beberapa peneliti hanya menilai Muhammadiyah dari sisi purifikasi agama dengan agenda memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat. Tak heran jika kemudian label ortodoks tersemat di Muhammadiyah. Peneliti sekelas Howard Federspiel pun tak ketinggalan di tahun 1970 menulis The Muhammadiyah: A study of an Ortodhox Islamic Movement in Indonesia.

Berangkat dari anggapan sebagai pembawa ortodoksi agama, Muhammadiyah sering dituduh sebagai anti budaya Jawa. Padahal sikap para tokoh Muhammadiyah generasi awal terhadap budaya Jawa cukup memberikan ruang penerimaan. Penolakan lebih diarahkan kepada praktik-praktik budaya Jawa yang tidak selaras dengan nilai-nilai Islam.

Sama halnya jika menilai Muhammadiyah hanya dari sisi penerimaan dan penggunaan akal dalam memahami agama. Mungkin akan disimpulkan Muhammadiyah adalah Neo-Muktazilah. Padahal penggunaan akal tersebut bukan dalam ranah menempatkan akal di atas dalil naqli (Al-Qur’an dan sunah). Namun, lebih kepada rasionalitas dalam memahami kebenaran agama atau yang dikenal dengan nalar burhani. Hal inilah yang diajarkan KH. Ahmad Dahlan dalam falsafah ajarannya.

Akal dan Pendidikan

KH. Ahmad Dahlan membuat analogi antara akal dan benih tanaman dengan menyatakan:

“Akal itu seperti benih yang ditanam di tanah, dan agar ia bisa tumbuh menjadi pohon yang besar ia harus disiram secara rutin. Demikian pula dengan akal manusia; ia tidak akan tumbuh sempurna jika tidak disirami dengan pengetahuan. Namun, usaha menyiram akal dengan pengetahuan harus sesuai dengan kehendak Tuhan.

KH. Ahmad Dahlan menyadari bahwa akal harus disemai melalui pendidikan. Pendidikan yang baik akan membawa umat Islam menjadi umat yang mandiri dan bermartabat.

Baca Juga  Tiga Pemikiran Ekonomi Islam Menurut Muhammad Iqbal

Salah satu ijtihad dalam bidang pendidikan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan pada waktu itu adalah dengan mendirikan Sekolah Kiai. Sebuah institusi pendidikan yang menggabungkan antara ilmu umum dan ilmu agama. Tujuannya adalah untuk mencerdaskan kehidupan umat Islam di Indonesia. Di mana pada waktu itu, ada sebagian umat Islam dan beberapa kiai yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan umum itu tidak penting, yang penting hanyalah ilmu agama saja.

Tidak hanya sampai di situ, beliau juga mengajak wanita-wanita muslimah di sekitar Kauman untuk ikut serta belajar di sekolah-sekolah umum, mempelajari ilmu keperawatan dan kebidanan. Tujuannya agar ketika ada wanita muslimah yang sakit atau hendak melahirkan ada tenaga medis khusus perempuan. Sehingga aurat wanita muslimah tersebut tetap terjaga dan tidak terlihat oleh dokter pria yang bukan mahram-nya.

Sayangnya gagasan KH. Ahmad Dahlan ini disalahpahami oleh beberapa kiai lain. Sampai kemudian KH. Ahmad Dahlan dituduh hendak merusak wanita-wanita muslimah karena memerintahkan mereka untuk keluar rumah dan pergi ke sekolah.

Ahmad Dahlan Bukan Kiai Anti-Antian

KH. Ahmad Dahlan bukan tipikal ulama yang senang dengan sikap “anti-antian” tanpa terlebih dahulu menelaah dengan seksama objek yang akan dikaji dan diperbincangkan. Beliau lebih mengedepankan sikap objektif dan rasional. Sikap rasional beliau tunjukkan dalam sebuah pertemuan Aisyiyah dengan memberikan kesempatan kepada perwakilan ISDV (Indish Sociaal Demokratische Partij) yang berhaluan komunis.

Waktu itu, perwakilan ISDV yang diberikan kesempatan berbicara di podium adalah Darsono dan Semaun. Mereka menyampaikan pidato menentang kebijakan represif pemerintah kolonial Belanda dan mengkampanyekan ide-ide sosialismenya.

Imbasnya, Muhammadiyah sempat dituding mendukung perjuangan ISDV yang komunis. Ada sebuah pertanyaan disini, “Kenapa KH. Ahmad Dahlan mengizinkan orang-orang komunis berbicara dan mengkampanyekan idenya di forum Muhammadiyah? Apakah beliau tidak anti dengan komunis?”.

Baca Juga  KHA Dahlan itu Radikal: Rajin, Terdidik, dan Berakal

Bisa jadi tujuan di balik sikap KH. Ahmad Dahlan tersebut adalah untuk menggali secara langsung ide dan gagasan komunisme dari tokoh-tokoh utamanya di Indonesia. Sehingga, jika suatu saat akan menilai dan membangun sikap anti-komunis, Muhammadiyah memiliki landasan argumentasi yang mapan karena langsung mendengar pernyataan dari para tokohnya. Bukan sebatas “anti ini dan anti itu”, tapi miskin pondasi argumen keilmuan. Sikap inilah yang juga diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam pelajaran kelima falsafah ajarannya.

Beliau menyampaikan bahwa upaya mendapatkan kebenaran yang harus ditempuh oleh seseorang adalah setelah melakukan pengkajian yang mendalam, diskusi yang produktif, dan membaca banyak buku. Dari sinilah seseorang akan terhindar dari sikap taklid buta (taqlid al-a’ma).

Ketika Ahmad Dahlan Dituduh

Pada kesempatan lain, KH. Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai Kristen alus. Salah satu penyebabnya adalah beliau sering melakukan diskusi dengan pendeta-pendeta Kristen.

Pada konteks masa lalu, diskusi seperti ini merupakan hal yang tabu dilakukan oleh seorang ulama. Perkumpulannya juga dituduh sebagai perkumpulan kafir. Penyebabnya sederhana, hanya karena para anggota Muhammadiyah pada waktu itu senang memakai jas dan celana pentalon serta berbicara dengan bahasa Belanda. Semua ciri tersebut identik dengan ciri khas Belanda yang notabene bukan orang Islam.

Namun, seberapa banyak tuduhan yang dilontarkan kepada KH. Ahmad Dahlan dan organisasi yang didirikannya saat itu, tetap saja Muhammadiyah eksis melayani umat dari waktu ke waktu dan membangun negeri dengan semangat Islam berkemajuannya.

Bahan bacaan:

Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. 2002. (Surabaya: LPAM).

Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. 2000. (Yogyakarta: Tarawang).

Baca Juga  Dalam Beragama, Menghafal itu (Tidak) Penting?

K.R.H. Hadjid, Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan. Tanpa Tahun. (Yogyakarta: Siaran)

Solichin Salam, KH. Ahmad Dahlan: Reformer Islam Indonesia.1963. (Djakarta: Djajamurni).

Editor: Yahya FR

Muhammad Fikri Hidayattullah
7 posts

About author
Dosen Artificial Intelligence Politeknik Harapan Bersama dan Koordinator Madrasah Fiqih Sumber Ilmu
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds