Manifesto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan sebagai pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang atau suatu kelompok. Istilah manifesto menjadi familiar terutama setelah diterbitkannya buku yang ditulis Karl Marx dengan judul Manifesto Partai Komunis. Buku tersebut banyak mempengaruhi warga komunis di dunia, terutama warga komunis di Indonesia pada masa silam sejarah Indonesia.
Penulis menggunakan kata manifesto untuk menyampaikan ide tentang moderasi beragama. Manifesto moderasi beragama adalah pernyataan atau pandangan secara terbuka berkaitan dengan keinginan untuk mewujudkan kehidupan moderat dalam beragama. kehidupan moderat yang bertujuan untuk menjadikan agama masing-masing sebagai wadah berbuat kebaikan secara benar, baik, dan seimbang (proporsional).
Ajaran Kebenaran dalam Agama
Setiap umat beragama selalu memiliki keyakinan yang tidak bisa ditawar-tawar terkait dengan keyakinannya masing-masing. Karena rasa yakin terhadap ajaran agama yang dianutnya tersebut akan membuat penganutnya taat dan patuh terhadap ajarannya. Seperti disebutkan dalam buku Wawasan Agama Madani, yang ditulis oleh Dadang Kahmad (2017), bahwa keyakinan agama yang dianut sebagai yang benar tersebut merupakan daya tarik simbolik yang akan membuat suatu agama tetap bertahan dan eksis.
Memang benar, di saat agama tidak mengajarkan tentang kebenaran agamanya, maka di saat itu pula suatu agama kehilangan daya tariknya. Juga kemungkinan besar, akan ditinggalkan penganutnya sendiri. Pada saat keyakinan beragama memuncak, akan ada potensi untuk menyalahkan yang lain (the other). kondisi tersebut yang menurut beberapa pengamat umat beragama akan sangat rawan dan berpotensi menjadi konflik berdarah-darah.
Konteks Moderasi Beragama
Kemunculan kelompok-kelompok beragama yang bersikap ekstrem dan keras, lahir karena tidak bisa mengontrol dirinya terhadap apa yang diperintahkan agamanya menyangkut ayat-ayat tentang kebenaran versi agamanya. Penulis berpandangan bahwa ayat-ayat kebenaran versinya tersebut merupakan alat legitimasi untuk menyerang keyakinan agama lain. Sehingga, kecenderungan kelompok keras beragama tersebut selalu menempatkan umat agama lain dalam relasi subjek-objek bukannya subjek-subjek.
Dalam relasi subjek-objek, berarti menganggap dirinya sebagai subjek dan umat agama lain sebagai objek bagi kelompoknya yang harus mutlak menerima ajarannya. Akibatnya adalah, mereka selalu memaksakan kebenaran agamanya pada agama lain. Berbeda halnya bila bergeser pada relasi subjek-subjek yang berarti tidak menjadikan agama lain sebagai objek buta bagi ajaran agamannya.
Dalam relasi subjek-subjek, bukan berarti tidak boleh mendakwahkan agama masing-masing pada agama lain. Tapi dalam prosesnya, tetap mengutamakan asas “laa ikraaha fi ad-diin” atau tidak ada paksaan dalam beragama. Terserah pada subjek agama tersebut mau menerima atau tidak dakwah yang disampaikan oleh subjek yang lain..
Dalam konteks seperti itu, maka moderasi beragama yang dimaksud penulis, mendesak untuk dinyatakan dan menjadi sebuah pandangan terbuka yang harus diarusutamakan. Dalam dunia Islam, diskursus-diskursus moderasi beragama menguat terutama setelah meledaknya gedung World Trade Center (WTC) di Amerika. Ketika itu, umat Islam tertuduh sebagai aktor di balik serangan tersebut. Peristiwa itu memang sangat menampar wajah Islam yang mayoritas tidak bersalah dan berkarakter moderat.
Prinsip Moderasi Beragama
Berdasarkan peristiwa di atas, maka salah satu prinsip pokok moderasi beragama adalah sikap anti terhadap segala bentuk kekerasan. Pemeluk agama di seluruh dunia mesti memperkuat agenda-agenda anti-kekerasan dan sebaliknya. Yaitu harus menyuburkan narasi-narasi tentang perdamaian. Seperti meningkatkan lagi kegiatan-kegiatan lintas agama supaya satu sama lain saling mengerti dan menghormati.
Prinsip moderasi dalam beragama harus mempunyai karakter seimbang atau tawazun. Seimbang dalam beragama contohnya dalam memadukan teks dan konteks. Dalam ajaran Islam, terdapat keharusan untuk taat pada teks (Al-Qur’an dan sunah nabi) sebagai sumber ajaran Islam. Namun di sisi lain, juga harus mempertimbangkan rasionalitas akal manusia supaya timbul pemahaman dan praktik keagamaan yang relevan sesuai zaman. Oleh karena itu, terdapat konsep ijtihad di dalam ajaran Islam. Seperti ijtihad tentang bentuk negara dan hukum di Indonesia yang merupakan buah pikir para pendiri bangsa ini.
Prinsip lainnya dalam moderasi beragama yaitu bersifat terbuka (inklusif) terhadap perbedaan yang ada. Banyak para tokoh yang berulang kali mengatakan bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan sudah menjadi sunnatullah. Gerakan ekstrem-radikal dalam beragama terulang-ulang karena anti dengan dialog dan perbedaan. Karena tumbuhnya nalar eksklusif (nalar homogenitas) yang senantiasa menyelimuti dirinya dari interaksi dengan umat agama lain.
Menyuarakan Manifesto Moderasi Beragama
Manifesto moderasi beragama harus menempati ruang-ruang publik dengan jangkauan yang luas hingga ke tingkat akar rumput (grass root) terutama di media infomasi dan komunikasi. Survey yang menunjukkan bahwa wacana beragama berpaham radikal lebih mendominasi di media-media massa, merupakan suatu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Manifesto ini harus tersuarakan oleh arus Islam utama yang berkarakter moderat-inklusif.
Bila manifesto moderasi beragama ini konsisten disuarakan, konflik dan kekerasan akan sedikit tertanggulangi dimulai oleh umat Islam sebagai agama mayoritas di Republik ini. Narasi-narasi kekerasan dan intoleransi yang disuarakan atas nama agama harus segera dikahiri dengan narasi-narasi perdamaian dan toleransi. Karena secara fitrah (god spot) kekerasan itu tidak ingin terjadi pada diri kita bukan?
Editor: Yahya FR