IBTimes.ID – Ketegangan menyelimuti Dhaka pada Senin (17/11/25) pagi ketika Pengadilan Kejahatan Internasional Bangladesh menjatuhkan putusan paling dramatis dalam sejarah politik negeri itu: hukuman mati bagi mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina. Vonis ini dibacakan secara in absentia, menyusul pelarian Hasina ke India sejak Agustus tahun lalu.
Putusan tersebut menjadi puncak dari proses pengadilan berbulan-bulan yang menelusuri kembali gelombang kekerasan politik tahun 2024.
Pemberontakan massal pro-demokrasi yang berawal dari gerakan mahasiswa menolak kebijakan kuota pekerjaan, lalu berkembang menjadi gerakan nasional yang mengguncang kekuasaan Hasina yang telah berumur 15 tahun. Pemberontakan itu kini dikenal dengan sebutan “Revolusi Juli Bangladesh”.
Kejahatan Kemanusiaan Hasina
Majelis hakim yang dipimpin Hakim Md Golam Mortuza Mozumder menyatakan bahwa Hasina bertanggung jawab sebagai “komandan tertinggi atas seluruh kekejaman” yang terjadi selama penumpasan demonstrasi tersebut.
Dalam putusan setebal 453 halaman, pengadilan menilai Hasina melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan melalui perintah penggunaan drone, helikopter, dan senjata mematikan terhadap warga sipil.
Hasina dijerat tuduhan hasutan, perintah pembunuhan, serta gagal mencegah aparat di bawahnya melakukan penyiksaan dan pembunuhan.
Organisasi hak asasi manusia dan kantor HAM PBB sebelumnya mendokumentasikan berbagai pelanggaran dalam operasi keamanan itu, termasuk penggunaan peluru tajam terhadap massa. Perkiraan korban tewas mencapai 1.400 orang. Dimana itu merupakan kekerasan politik terburuk di Bangladesh sejak perang kemerdekaan 1971.
Suasana Pengadilan yang Mencekam
Sejak pagi, Dhaka berubah menjadi kota yang dijaga ketat menjelang keputusan tersebut. Polisi, tentara, dan paramiliter mengepung kawasan tribunal. Perintah tembak di tempat dikeluarkan jika ada yang kedapatan melempar bom rakitan atau membakar kendaraan.
Pada Senin pagi, ledakan kecil yang terjadi tak jauh dari gedung pengadilan sempat memicu kepanikan, mempertegas betapa sensitifnya situasi politik negara itu.
Di ruang sidang, tangis pecah dari keluarga korban yang hadir. Mereka memeluk foto kerabat yang tewas dalam demonstrasi tahun lalu, menunggu lama untuk melihat pertanggungjawaban hukum atas kematian orang-orang yang mereka cintai.
Selain Hasina, mantan Menteri Dalam Negeri Asaduzzaman Khan juga dijatuhi hukuman mati sebagai terdakwa bersama dalam kasus yang sama.
Hasina Tetap Menantang dalam Pengasingan
Politisi berusia 78 tahun itu melarikan diri ke India pada puncak demonstrasi anti-pemerintah 5 Agustus 2024. Sejak itu ia tinggal dalam perlindungan otoritas India, yang sejauh ini mengabaikan permintaan ekstradisi dari Dhaka.
Dalam pesan audio yang direkam menjelang putusan, Sheikh Hasina terdengar tetap menantang.
“Biarkan mereka mengumumkan putusan apapun yang mereka inginkan. Itu tidak berarti apa-apa bagi saya,” ujarnya. “Tuhan memberi saya kehidupan ini dan hanya Dia yang dapat mengakhirinya. Saya akan tetap melayani rakyat saya,” ucapnya sebagaimana dikutip dari The Guardian.
Akhir dari Era 15 Tahun Kekuasaan
Selama lebih dari satu dekade memimpin Bangladesh, Hasina dikenal sebagai tokoh dominan politik negeri itu. Namun masa kekuasaannya dipandang oleh banyak orang di Bangladesh sebagai masa teror, yang diwarnai tuduhan korupsi, penghilangan paksa, penyiksaan politik, hingga kontrol ketat atas oposisi. Gelombang protes mahasiswa pada 2024 menjadi awal dari runtuhnya pemerintahan Liga Awami yang ia pimpin.
Kini, dengan vonis hukuman mati yang dijatuhkan pada Sheikh Hasina, masa depan politik Hasina dan stabilitas Bangladesh memasuki babak baru. Sebuah fase penuh ketidakpastian di negara yang mencoba bangkit dari salah satu periode politik paling gelap dalam sejarah modernnya.
(MS)

